PRABA INSIGHT- Hari itu, 11 Maret 2025, di dalam gedung parlemen yang dinginnya bisa bikin keringat batal keluar, pemerintah menyerahkan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) RUU TNI ke DPR. Sekilas, ini cuma tumpukan dokumen biasa. Tapi buat mereka yang paham sejarah, ini semacam dejavu.

Di luar, Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan sudah pasang kuda-kuda. Mereka nggak asal ribut, tapi benar-benar khawatir.

 Bagi mereka, revisi ini bukan sekadar perbaikan, tapi jalan tol menuju kembalinya dwi fungsi TNI—hal yang dulu mati-matian dihapus di era reformasi.

TNI di Jabatan Sipil: Emang Perlu?

Salah satu yang bikin rame adalah aturan soal perwira aktif yang bisa nongkrong di jabatan sipil. Misalnya, di Kejaksaan Agung dan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP). Kalau dipikir-pikir, apa hubungannya militer sama jaksa? Atau sama ikan-ikan di laut?

“Militer itu tugasnya pertahanan negara, bukan penegak hukum atau pengelola sumber daya laut,” ujar perwakilan koalisi, mungkin sambil geleng-geleng kepala.

Masalahnya, selama ini memang sudah ada Jampidmil (Jaksa Agung Muda Pidana Militer), tapi fungsinya sebatas menangani perkara koneksitas alias kasus yang melibatkan militer dan sipil. Nah, RUU ini malah bikin jabatan itu permanen. Koalisi protes keras. Mereka bilang, kalau memang perlu, kenapa nggak bentuk tim ad hoc aja buat kasus per kasus?

Di KKP pun sama. Logikanya, kementerian ini urusannya sipil banget. Jadi, kalau ada prajurit TNI yang ditempatkan di sana, ya aneh. Lebih aneh lagi kalau dia masih aktif sebagai tentara. Harusnya mundur dulu, biar nggak setengah-setengah.

Perang Lawan Narkotika: Solusi atau Bikin Masalah Baru?

RUU ini juga bakal bikin TNI bisa ikut campur dalam operasi militer selain perang, termasuk dalam pemberantasan narkotika. Kesan yang muncul? Indonesia siap mengadopsi model “war on drugs” ala Amerika Latin.

Kedengarannya tegas, tapi masalahnya, pendekatan ini lebih sering bikin kisruh ketimbang solusi. “Ini bukan kriminal biasa, tapi urusan hukum dan kesehatan,” kata koalisi. Kalau TNI sampai turun tangan, ada kemungkinan pendekatan represif malah bikin situasi makin runyam.

Yang lebih bikin ngeri, keputusan soal keterlibatan TNI dalam operasi semacam ini nantinya nggak perlu persetujuan DPR. Artinya, keputusan bisa dibuat cepat, tanpa banyak debat di parlemen. Efektif? Mungkin. Tapi kalau nggak ada kontrol, siapa yang bisa menjamin nggak ada penyalahgunaan wewenang?

Fokusnya Harusnya ke Mana?

Koalisi Masyarakat Sipil tegas menolak DIM RUU TNI ini. Mereka nggak mau reformasi yang sudah susah payah dijaga malah mundur lagi ke zaman dwi fungsi.

Daripada sibuk ngotak-atik aturan yang bisa bikin batas sipil-militer makin kabur, mereka punya usulan lain: fokus ke modernisasi alutsista tanpa korupsi dan peningkatan kesejahteraan prajurit.

Debat soal ini masih panjang, dan keputusannya ada di tangan DPR. Tapi satu yang pasti, kalau nggak ada yang kritis dan peduli, bukan nggak mungkin kita bakal balik ke era di mana tentara bisa ada di mana-mana. Dan kalau itu kejadian, ya selamat datang di masa lalu.