Menu

Mode Gelap
“Segala kekuatan dan kesanggupan mempertahankan Kemerdekaan yang ada pada mereka. Tidak akan surut seujung rambut pun” Bukan Cinta yang Abadi, tapi Utang Kereta Cepat Luhut Pastikan Tenornya 60 Tahun! Dedi Mulyadi Mau Cek ke BI Soal Dana Rp 4,17 Triliun: “Kalau Benar, Saya Pecat Semua Pejabat Saya!” Menkeu Purbaya Soroti Jual-Beli Jabatan di Bekasi: Reformasi Tata Kelola Daerah Belum Selesai Ribuan Orang Padati Velodrome, Haidar Alwi Tegaskan: “Polri Harus Tetap di Bawah Presiden Prabowo” Kenapa Sejumlah Pensiunan TNI Bersemangat Mendesak Reformasi Polri?

Kolom Angker

Bus Malam Terakhir: Tiket Sekali Jalan ke Dunia Arwah

badge-check


					Foto : ilustrasi Perbesar

Foto : ilustrasi

Kolom Angker – Di sebuah terminal tua yang sudah lama ditinggalkan aroma solar dan doa pengantar perjalanan, ada satu bus yang tak pernah benar-benar mati — bus malam jurusan Jogja–Surabaya. Catnya terkelupas, kaca depannya retak seperti saraf tegang yang siap pecah, dan klaksonnya kadang berbunyi sendiri di tengah malam tanpa ada yang menyentuh. Orang-orang di sekitar menyebutnya Bus Malam Terakhir.

Konon, siapa pun yang menaikinya… tak pernah sampai ke tujuan.

Malam itu, hujan menetes seperti air mata langit yang malas berhenti. Seorang mahasiswa bernama Joko tiba di terminal yang hampir gelap total. Lampu-lampu remang berkelip seperti napas terakhir lilin. Semua bus sudah berangkat  kecuali satu. Bus tua berwarna biru pudar berdiri di sudut terminal, dengan tulisan “Jogja–Surabaya” yang huruf-hurufnya nyaris hilang ditelan karat.

“Mas, masih ada kursi kosong,” suara serak seorang kondektur tua memecah keheningan. Senyumnya aneh, seperti orang yang sudah lama lupa bagaimana caranya bahagia.

Tanpa curiga, Joko naik. Tapi begitu melangkah masuk, napasnya tertahan. Dari luar bus itu tampak kosong, tapi di dalam… penuh penumpang. Mereka duduk kaku, wajah pucat, sebagian menunduk, sebagian memandang lurus ke depan dengan mata kaca mati. Tidak ada suara. Tidak ada napas. Hanya bunyi mesin bus yang menggeram pelan seperti binatang lapar.

Di kursi sebelah, seorang wanita muda bergaun putih menatap Joko tanpa berkedip. Rambutnya basah, meneteskan air ke lantai. Ketika Joko berusaha berkenalan, wanita itu hanya tersenyum kaku dan berbisik,

“Jangan turun sebelum halte terakhir…”

Bisikannya dingin, seperti hembusan napas dari liang kubur.

Bus mulai melaju menembus hujan dan kabut. Di luar, jalanan kosong; di dalam, udara mendadak membeku. Kaca jendela berembun, dan dari kursi belakang terdengar suara tangisan anak kecil, disusul tawa cekikikan yang menyeret panjang. Joko menoleh—dan seketika darahnya berhenti mengalir.

Para penumpang mulai berubah.

Wajah mereka melepuh, mata membelalak, tubuh bolong penuh luka bakar. Ada yang kepalanya terbelah, ada pula yang menggenggam setir bus seolah masih menuntut hidup yang direnggut kecelakaan. Mereka semua menatap Joko bersamaan, dengan tatapan kosong namun tajam seperti paku dingin di dada.

Bus berhenti tiba-tiba di sebuah halte kecil. Joko, gemetar, hendak turun. Tapi tangan kondektur mencengkeram lengannya — dingin, keras, dan tak bernyawa.

“Belum sampai tujuanmu, Nak…” katanya lirih, matanya menatap jauh ke luar jendela.

Dan ketika Joko melirik ke luar, jantungnya hampir copot — halte itu bukan halte, melainkan kompleks pemakaman. Deretan nisan menatap dari balik kabut, seolah mengucap selamat datang.

Bus kembali melaju. Hutan hitam menganga di kanan-kiri jalan, dan kabut menutup semua arah. Di dalam, penumpang-penumpang mulai bernyanyi pelan  lagu anak-anak dengan nada sumbang dan suara serak seperti dari tenggorokan tanpa paru-paru.

Ketika bus akhirnya berhenti di terminal yang asing, Joko sadar: tempat itu bukan di dunia yang ia kenal. Terminal itu ramai, tapi oleh makhluk-makhluk busuk, rusak, dan hancur. Mereka menyambut bus itu… dan menatap Joko seolah menunggu rekan baru.

Wanita bergaun putih menoleh, senyumnya kini retak seperti kaca, matanya berlinang darah.

“Sudah sampai… ini halte terakhirmu.”

Keesokan paginya, warga menemukan kartu mahasiswa Joko di dekat kuburan tua di pinggir jalan. Di sampingnya, secarik tiket bus yang gosong di tepinya, masih bertuliskan samar:

Jogja–Surabaya, keberangkatan pukul 23.45.

Dan setiap malam Jumat, bus itu masih muncul di terminal yang sama. Mesin tuanya meraung, pintunya terbuka pelan, dan kondektur tua berdiri di depan pintu sambil berkata,

“Masih ada kursi kosong…”

Penulis : Ris Tanto 

Baca Lainnya

Leak Penyeneng: Cinta yang Menyala dari Api Neraka

16 Oktober 2025 - 17:52 WIB

URBAN LEGEND: Teror Kuyang di Tanah Kalimantan

2 Oktober 2025 - 17:55 WIB

Bis Terakhir Menuju Kegelapan

2 Oktober 2025 - 17:44 WIB

Surat Undangan dari Kamar Mati Karangjati

26 September 2025 - 02:02 WIB

Mister Gepeng: Teror dari Balik Telepon dan Toilet Sekolah

18 September 2025 - 16:21 WIB

Trending di Kolom Angker