Kolom Angker – Di sebuah terminal tua yang sudah lama ditinggalkan aroma solar dan doa pengantar perjalanan, ada satu bus yang tak pernah benar-benar mati — bus malam jurusan Jogja–Surabaya. Catnya terkelupas, kaca depannya retak seperti saraf tegang yang siap pecah, dan klaksonnya kadang berbunyi sendiri di tengah malam tanpa ada yang menyentuh. Orang-orang di sekitar menyebutnya Bus Malam Terakhir.
Konon, siapa pun yang menaikinya… tak pernah sampai ke tujuan.
Malam itu, hujan menetes seperti air mata langit yang malas berhenti. Seorang mahasiswa bernama Joko tiba di terminal yang hampir gelap total. Lampu-lampu remang berkelip seperti napas terakhir lilin. Semua bus sudah berangkat kecuali satu. Bus tua berwarna biru pudar berdiri di sudut terminal, dengan tulisan “Jogja–Surabaya” yang huruf-hurufnya nyaris hilang ditelan karat.
“Mas, masih ada kursi kosong,” suara serak seorang kondektur tua memecah keheningan. Senyumnya aneh, seperti orang yang sudah lama lupa bagaimana caranya bahagia.
Tanpa curiga, Joko naik. Tapi begitu melangkah masuk, napasnya tertahan. Dari luar bus itu tampak kosong, tapi di dalam… penuh penumpang. Mereka duduk kaku, wajah pucat, sebagian menunduk, sebagian memandang lurus ke depan dengan mata kaca mati. Tidak ada suara. Tidak ada napas. Hanya bunyi mesin bus yang menggeram pelan seperti binatang lapar.
Di kursi sebelah, seorang wanita muda bergaun putih menatap Joko tanpa berkedip. Rambutnya basah, meneteskan air ke lantai. Ketika Joko berusaha berkenalan, wanita itu hanya tersenyum kaku dan berbisik,
“Jangan turun sebelum halte terakhir…”
Bisikannya dingin, seperti hembusan napas dari liang kubur.
Bus mulai melaju menembus hujan dan kabut. Di luar, jalanan kosong; di dalam, udara mendadak membeku. Kaca jendela berembun, dan dari kursi belakang terdengar suara tangisan anak kecil, disusul tawa cekikikan yang menyeret panjang. Joko menoleh—dan seketika darahnya berhenti mengalir.
Para penumpang mulai berubah.
Wajah mereka melepuh, mata membelalak, tubuh bolong penuh luka bakar. Ada yang kepalanya terbelah, ada pula yang menggenggam setir bus seolah masih menuntut hidup yang direnggut kecelakaan. Mereka semua menatap Joko bersamaan, dengan tatapan kosong namun tajam seperti paku dingin di dada.
Bus berhenti tiba-tiba di sebuah halte kecil. Joko, gemetar, hendak turun. Tapi tangan kondektur mencengkeram lengannya — dingin, keras, dan tak bernyawa.
“Belum sampai tujuanmu, Nak…” katanya lirih, matanya menatap jauh ke luar jendela.
Dan ketika Joko melirik ke luar, jantungnya hampir copot — halte itu bukan halte, melainkan kompleks pemakaman. Deretan nisan menatap dari balik kabut, seolah mengucap selamat datang.
Bus kembali melaju. Hutan hitam menganga di kanan-kiri jalan, dan kabut menutup semua arah. Di dalam, penumpang-penumpang mulai bernyanyi pelan lagu anak-anak dengan nada sumbang dan suara serak seperti dari tenggorokan tanpa paru-paru.
Ketika bus akhirnya berhenti di terminal yang asing, Joko sadar: tempat itu bukan di dunia yang ia kenal. Terminal itu ramai, tapi oleh makhluk-makhluk busuk, rusak, dan hancur. Mereka menyambut bus itu… dan menatap Joko seolah menunggu rekan baru.
Wanita bergaun putih menoleh, senyumnya kini retak seperti kaca, matanya berlinang darah.
“Sudah sampai… ini halte terakhirmu.”
Keesokan paginya, warga menemukan kartu mahasiswa Joko di dekat kuburan tua di pinggir jalan. Di sampingnya, secarik tiket bus yang gosong di tepinya, masih bertuliskan samar:
Jogja–Surabaya, keberangkatan pukul 23.45.
Dan setiap malam Jumat, bus itu masih muncul di terminal yang sama. Mesin tuanya meraung, pintunya terbuka pelan, dan kondektur tua berdiri di depan pintu sambil berkata,
“Masih ada kursi kosong…”
Penulis : Ris Tanto