Menu

Mode Gelap
Tarif Ojol Mandek Tiga Tahun, SePOI Desak DPR Segera Tuntaskan UU Transportasi Online Harga Robot Remote Polisi Milyaran Rupiah Jadi Sorotan, ICW minta Informasi Harga di buka ke publik “Bukan Cuma Ditangkap, Aset Koruptor Harus Disikat Habis! Gemira Gaspol Dukung RUU Perampasan Aset” “Keji! Israel Bom RS Indonesia, Dokternya Tewas: Dunia Marah, Tapi Bom Tetap Meledak Tiap Hari” Dibalik Cerita Legenda Hantu Sumala: Teriakan Terakhir dari Dasar Sumur “Ngaku Foodies? Buktiin di Rumah Indofood Jakarta Fair 2026: Ada Duel Masak Dadakan Sampai Warmindo Terluas!”

Cerpen

Galau ini Dia Kumpulan Puisi Patah Hati, yang Bikin Kamu Baper

badge-check


					Gambar ilustrasi (Praba/Ai) Perbesar

Gambar ilustrasi (Praba/Ai)

Terkadang perpisahan adalah sebuah makna, tentang waktu bersama orang-orang yang kita cintai atau bahkan kita hanya sebagai second Choice yang mengisi kekosongan seseorang, ingat setiap masa ada orang baru, dan setiap orang baru ada masanya…

Berikut pilihan kumpulan Puisi tentang makna perpisahan yang di tulis oleh Irfan.

 

1. “Kau Pergi Karena Aku Tak Bisa Membeli Sebuah Kata: “Nanti”

Kau tahu,…

aku mencintaimu sejak hari pertama

bukan karena kau cantik

tapi karena kau duduk di hadapanku

dan menatap dunia seperti ingin diselamatkan

dan aku bodoh,…

mencoba jadi penyelamat

dengan tangan kosong

dan mimpi yang belum lunas dibayar

kau bertahan cukup lama

dalam ruang sempit yang kita sebut rencana

dengan dapur kecil,

kasur tua,

dan angan-angan yang terus kutambal

dengan janji yang kian hari kian robek

aku melihat matamu mulai lelah

bukan pada cinta

tapi pada hidup yang tak kunjung berpihak

dan pada aku

yang tak pernah punya cukup untuk membuatmu tenang

lalu datang dia…

dengan senyum yakin

dengan mobil bersih

dan meja makan yang tak pernah kosong

dan kau..

yang hatinya rapuh oleh lelah,

akhirnya menyerah pada logika yang lebih terang

“aku tetap mencintaimu,” katamu

tapi cinta, katamu,

butuh tempat tinggal,

butuh lampu yang menyala saat malam jatuh

butuh kepastian yang bisa dicicil tiap bulan

aku tak menjawab…

aku hanya menatap punggungmu yang pergi

seperti melihat hujan menghapus jejak di jalan tanah

dan aku tahu,

aku tidak akan bisa mengejarmu

karena bukan cinta yang harus kuperbaiki

tapi hidupku sendiri

aku menangis…

tidak keras

tidak dramatis

hanya pelan

seperti langit senja yang tak ingin dilihat jatuhnya

aku mencoba rela…

tapi setiap kali kupandangi cermin,

yang kulihat adalah laki-laki

yang gagal menyeberangkan cinta

ke seberang masa depan

aku menunggumu….

bukan karena berharap kau kembali

tapi karena aku belum bisa memaafkan diriku sendiri

yang mencintaimu dengan sepenuh hati

tapi tak cukup kuat untuk memintamu bertahan

kau pergi …karena aku tak bisa membeli sebuah kata: nanti

dan aku tinggal di sini,

bersama hari-hari yang tak pernah lupa

menyebut namamu

dalam sepi yang makin pandai bercerita

 

2. Aku Belajar Menghapusmu

‎pada suatu sore yang tak sempat kupeluk,

‎kau berjalan menjauh dengan senyum yang bukan untukku.

‎langkahmu ringan,

‎seolah tak pernah ada tangis yang kutitipkan di dadamu.

‎aku belajar diam seperti hujan,

‎yang turun tanpa pernah ditanya

‎apakah daun-daun siap kehilangan.

‎aku belajar tabah dari angin,

‎yang tak pernah menggugat ketika pintu ditutup diam-diam.

‎kau memilih yang lain,

‎dengan alasan yang tak kau ucapkan

‎dan tak ingin kutahu,

‎karena hatiku sudah tahu lebih dulu,

‎bahwa cinta kadang kalah oleh yang lebih mudah didekati.

‎sejak itu aku menulis namamu di air,

‎agar bisa kuhapus setiap kali mataku berkaca.

‎aku menyimpan suaramu dalam sunyi,

‎tempat paling jauh dari kenangan.

‎jika kau bahagia,

‎jangan kabarkan padaku.

‎cukup biar senyummu itu

‎menjadi musim gugur di dadaku

‎yang tak kunjung selesai.

‎aku masih di sini,

‎mengumpulkan puing-puing kata

‎yang kau tinggalkan

‎tanpa pamit.

 

3. Aku Pernah Menjadi Payung di Dadamu

Aku pernah menjadi payung di dadamu,

melindungi luka-luka kecil yang tak sempat kau beri nama.

tapi kau memilih angin lain,

yang membawamu ke dermaga

tanpa sempat menoleh pada hujan

yang rela kuyup demi langkahmu.

 

di meja itu, cangkir teh yang dulu kita bagi,

masih menyisakan jejak bibirmu—

yang kini mungkin singgah di gelas orang lain,

dengan tawa yang bukan untukku.

aku memunguti bayangmu dari dinding,

menyusunnya jadi doa

yang tak pernah sampai.

 

kau tahu, laut adalah tempat segala kehilangan.

dan aku menjatuhkan diriku ke dalamnya

tanpa pelampung,

tanpa alamat pulang.

 

kau memilih dia

yang mungkin tak tahu,

kau pernah mencintai seseorang

dengan air mata yang kau sembunyikan di balik senyuman.

seseorang yang kini menulis puisi

dengan tangan gemetar,

karena terlalu lama menggenggam

nama yang tak lagi boleh disebut.

 

aku menyimpanmu dalam jam tangan rusak

yang tetap kupakai ke mana-mana,

sebagai cara tubuhku mengingat:

waktu tak pernah benar-benar bergerak

sejak kau pergi.

 

jika suatu hari kau menemukan catatan ini

terhanyut di rak toko buku murah,

jangan menangis.

cukup buka halaman paling belakang,

di sana kutulis satu kalimat

yang tak sempat kuucapkan waktu itu:

 

aku melepaskanmu,

karena tak mungkin memeluk bayangan

yang memilih jadi kenangan.

 

4.Di Stasiun Itu, Aku Menunggumu yang Tak Akan Pulang

Senja jatuh perlahan,

seperti caramu menghilang dari hidupku

tanpa suara,

tanpa salam,

tanpa sisa wangi tubuhmu di udara.

 

aku masih di stasiun itu,

tempat kita pernah sepakat

bahwa pulang bukan sekadar kembali—

tapi tentang siapa yang tetap menunggu.

dan lihatlah, aku masih duduk di bangku kayu

yang dinginnya menembus tulang,

sambil menggenggam tiket yang tak pernah kau ambil.

 

kau memilih seseorang

yang katanya lebih paham arah mata angin.

sementara aku,

hanya tahu bagaimana caranya menjadi kompas

yang selalu menunjuk ke arahmu.

 

aku mencium aroma hujan

di lipatan surat yang tak pernah terkirim.

kata-katanya lembab,

huruf-hurufnya luntur oleh penyesalan.

aku menulisnya sambil gemetar,

karena malam itu kau berkata:

“aku mencintaimu, tapi tak bisa bersamamu.”

 

sejak itu aku belajar

bahwa cinta tak selalu menang,

kadang ia hanyalah bunga

yang tumbuh di ladang orang lain—

dan kita hanya kebetulan lewat,

jatuh hati pada kelopaknya,

lalu diusir sebelum sempat menyentuh akar.

 

kau pergi,

membawa serta segala yang tak bisa kutahan:

senyummu,

detak jam dinding yang kita beli di pasar loak,

dan separuh diriku yang tak lagi tahu harus tinggal di mana.

 

aku masih menunggumu,

di antara orang-orang yang pulang dan berpelukan.

namun kau tak lagi penumpang keretaku,

hanya bayang-bayang

yang terus berdiri

di ujung peron kenanganku.

 

dan jika suatu hari kau rindu,

ingatlah:

ada seseorang yang pernah rela menjadi hujan,

hanya agar kau tak basah saat pergi

meninggalkannya.

 

‎5.Doa yang Tak Lagi Disebut Namamu

Malam ini langit terlalu tenang,

seolah bintang pun tahu

bahwa namamu tak lagi kusebut dalam doa.

 

aku bersujud bukan lagi untuk meminta kembalimu,

aku hanya ingin Allah tahu

aku sedang belajar mengikhlaskan

tanpa membenci.

 

kau tinggalkan aku untuk seseorang

yang lebih rajin tersenyum,

lebih mudah diajak bicara soal masa depan.

dan aku?

aku tinggal di antara puing-puing harapan

yang bahkan tak sanggup lagi kupungut satu per satu.

 

aku pernah menyebutmu dalam tahajud,

dengan air mata paling jujur

yang mengalir di sajadah.

aku pernah meminta agar kita satu,

tapi tak pernah kutahu

bahwa cinta juga punya nasib

yang tak bisa dipaksakan.

 

sejak itu aku mencintaimu dengan cara yang sunyi:

mendoakanmu,

tanpa ingin kembali.

menyayangimu,

tanpa ingin mengganggu rumah barumu.

 

aku belajar pasrah dari langit,

yang membiarkan hujan jatuh ke bumi

meski tahu tak semua tanah ingin disiram.

aku belajar dari pohon,

yang tetap berakar

meski musim selalu berubah.

 

kau tak salah memilih dia.

aku pun tak salah mencintaimu.

mungkin kita hanya salah waktu,

salah takdir,

atau memang tak ditakdirkan untuk saling sampai.

 

di ruang doa yang paling sepi,

aku berkata pada Tuhan,

“jika ia bahagia bersamanya,

biarkan aku cukup menjadi kenangan yang baik,

yang ia ingat saat tak ada lagi yang bisa diingat.”

 

dan malam pun diam,

seperti hatiku

yang akhirnya berhenti berdebar

setiap mendengar namamu.

 

 

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Baca Lainnya

Alun-Alun Kidul Jogja: Tempat di Mana Mitos, Cinta, dan Lampu LED Bertabrakan

8 April 2025 - 06:23 WIB

Trend Mudik 2025: Antara Fomo dan Pulang Kampung

28 Maret 2025 - 09:06 WIB

“Darma: Kuli Bangunan yang Terjebak Janji Kota dan Rindu yang Tak Terbayar”

25 Maret 2025 - 04:38 WIB

“Jogja yang Kutempuh, Tapi Tak Kutuju”

21 Maret 2025 - 22:02 WIB

“Hujan Terakhir di Pelupuk Cinta”

15 Maret 2025 - 12:58 WIB

Trending di Cerpen