Terkadang perpisahan adalah sebuah makna, tentang waktu bersama orang-orang yang kita cintai atau bahkan kita hanya sebagai second Choice yang mengisi kekosongan seseorang, ingat setiap masa ada orang baru, dan setiap orang baru ada masanya…
Berikut pilihan kumpulan Puisi tentang makna perpisahan yang di tulis oleh Irfan.
1. “Kau Pergi Karena Aku Tak Bisa Membeli Sebuah Kata: “Nanti”
Kau tahu,…
aku mencintaimu sejak hari pertama
bukan karena kau cantik
tapi karena kau duduk di hadapanku
dan menatap dunia seperti ingin diselamatkan
dan aku bodoh,…
mencoba jadi penyelamat
dengan tangan kosong
dan mimpi yang belum lunas dibayar
kau bertahan cukup lama
dalam ruang sempit yang kita sebut rencana
dengan dapur kecil,
kasur tua,
dan angan-angan yang terus kutambal
dengan janji yang kian hari kian robek
aku melihat matamu mulai lelah
bukan pada cinta
tapi pada hidup yang tak kunjung berpihak
dan pada aku
yang tak pernah punya cukup untuk membuatmu tenang
lalu datang dia…
dengan senyum yakin
dengan mobil bersih
dan meja makan yang tak pernah kosong
dan kau..
yang hatinya rapuh oleh lelah,
akhirnya menyerah pada logika yang lebih terang
“aku tetap mencintaimu,” katamu
tapi cinta, katamu,
butuh tempat tinggal,
butuh lampu yang menyala saat malam jatuh
butuh kepastian yang bisa dicicil tiap bulan
aku tak menjawab…
aku hanya menatap punggungmu yang pergi
seperti melihat hujan menghapus jejak di jalan tanah
dan aku tahu,
aku tidak akan bisa mengejarmu
karena bukan cinta yang harus kuperbaiki
tapi hidupku sendiri
aku menangis…
tidak keras
tidak dramatis
hanya pelan
seperti langit senja yang tak ingin dilihat jatuhnya
aku mencoba rela…
tapi setiap kali kupandangi cermin,
yang kulihat adalah laki-laki
yang gagal menyeberangkan cinta
ke seberang masa depan
aku menunggumu….
bukan karena berharap kau kembali
tapi karena aku belum bisa memaafkan diriku sendiri
yang mencintaimu dengan sepenuh hati
tapi tak cukup kuat untuk memintamu bertahan
kau pergi …karena aku tak bisa membeli sebuah kata: nanti
dan aku tinggal di sini,
bersama hari-hari yang tak pernah lupa
menyebut namamu
dalam sepi yang makin pandai bercerita
2. Aku Belajar Menghapusmu
pada suatu sore yang tak sempat kupeluk,
kau berjalan menjauh dengan senyum yang bukan untukku.
langkahmu ringan,
seolah tak pernah ada tangis yang kutitipkan di dadamu.
aku belajar diam seperti hujan,
yang turun tanpa pernah ditanya
apakah daun-daun siap kehilangan.
aku belajar tabah dari angin,
yang tak pernah menggugat ketika pintu ditutup diam-diam.
kau memilih yang lain,
dengan alasan yang tak kau ucapkan
dan tak ingin kutahu,
karena hatiku sudah tahu lebih dulu,
bahwa cinta kadang kalah oleh yang lebih mudah didekati.
sejak itu aku menulis namamu di air,
agar bisa kuhapus setiap kali mataku berkaca.
aku menyimpan suaramu dalam sunyi,
tempat paling jauh dari kenangan.
jika kau bahagia,
jangan kabarkan padaku.
cukup biar senyummu itu
menjadi musim gugur di dadaku
yang tak kunjung selesai.
aku masih di sini,
mengumpulkan puing-puing kata
yang kau tinggalkan
tanpa pamit.
3. Aku Pernah Menjadi Payung di Dadamu
Aku pernah menjadi payung di dadamu,
melindungi luka-luka kecil yang tak sempat kau beri nama.
tapi kau memilih angin lain,
yang membawamu ke dermaga
tanpa sempat menoleh pada hujan
yang rela kuyup demi langkahmu.
di meja itu, cangkir teh yang dulu kita bagi,
masih menyisakan jejak bibirmu—
yang kini mungkin singgah di gelas orang lain,
dengan tawa yang bukan untukku.
aku memunguti bayangmu dari dinding,
menyusunnya jadi doa
yang tak pernah sampai.
kau tahu, laut adalah tempat segala kehilangan.
dan aku menjatuhkan diriku ke dalamnya
tanpa pelampung,
tanpa alamat pulang.
kau memilih dia
yang mungkin tak tahu,
kau pernah mencintai seseorang
dengan air mata yang kau sembunyikan di balik senyuman.
seseorang yang kini menulis puisi
dengan tangan gemetar,
karena terlalu lama menggenggam
nama yang tak lagi boleh disebut.
aku menyimpanmu dalam jam tangan rusak
yang tetap kupakai ke mana-mana,
sebagai cara tubuhku mengingat:
waktu tak pernah benar-benar bergerak
sejak kau pergi.
jika suatu hari kau menemukan catatan ini
terhanyut di rak toko buku murah,
jangan menangis.
cukup buka halaman paling belakang,
di sana kutulis satu kalimat
yang tak sempat kuucapkan waktu itu:
aku melepaskanmu,
karena tak mungkin memeluk bayangan
yang memilih jadi kenangan.
4.Di Stasiun Itu, Aku Menunggumu yang Tak Akan Pulang
Senja jatuh perlahan,
seperti caramu menghilang dari hidupku
tanpa suara,
tanpa salam,
tanpa sisa wangi tubuhmu di udara.
aku masih di stasiun itu,
tempat kita pernah sepakat
bahwa pulang bukan sekadar kembali—
tapi tentang siapa yang tetap menunggu.
dan lihatlah, aku masih duduk di bangku kayu
yang dinginnya menembus tulang,
sambil menggenggam tiket yang tak pernah kau ambil.
kau memilih seseorang
yang katanya lebih paham arah mata angin.
sementara aku,
hanya tahu bagaimana caranya menjadi kompas
yang selalu menunjuk ke arahmu.
aku mencium aroma hujan
di lipatan surat yang tak pernah terkirim.
kata-katanya lembab,
huruf-hurufnya luntur oleh penyesalan.
aku menulisnya sambil gemetar,
karena malam itu kau berkata:
“aku mencintaimu, tapi tak bisa bersamamu.”
sejak itu aku belajar
bahwa cinta tak selalu menang,
kadang ia hanyalah bunga
yang tumbuh di ladang orang lain—
dan kita hanya kebetulan lewat,
jatuh hati pada kelopaknya,
lalu diusir sebelum sempat menyentuh akar.
kau pergi,
membawa serta segala yang tak bisa kutahan:
senyummu,
detak jam dinding yang kita beli di pasar loak,
dan separuh diriku yang tak lagi tahu harus tinggal di mana.
aku masih menunggumu,
di antara orang-orang yang pulang dan berpelukan.
namun kau tak lagi penumpang keretaku,
hanya bayang-bayang
yang terus berdiri
di ujung peron kenanganku.
dan jika suatu hari kau rindu,
ingatlah:
ada seseorang yang pernah rela menjadi hujan,
hanya agar kau tak basah saat pergi
meninggalkannya.
5.Doa yang Tak Lagi Disebut Namamu
Malam ini langit terlalu tenang,
seolah bintang pun tahu
bahwa namamu tak lagi kusebut dalam doa.
aku bersujud bukan lagi untuk meminta kembalimu,
aku hanya ingin Allah tahu
aku sedang belajar mengikhlaskan
tanpa membenci.
kau tinggalkan aku untuk seseorang
yang lebih rajin tersenyum,
lebih mudah diajak bicara soal masa depan.
dan aku?
aku tinggal di antara puing-puing harapan
yang bahkan tak sanggup lagi kupungut satu per satu.
aku pernah menyebutmu dalam tahajud,
dengan air mata paling jujur
yang mengalir di sajadah.
aku pernah meminta agar kita satu,
tapi tak pernah kutahu
bahwa cinta juga punya nasib
yang tak bisa dipaksakan.
sejak itu aku mencintaimu dengan cara yang sunyi:
mendoakanmu,
tanpa ingin kembali.
menyayangimu,
tanpa ingin mengganggu rumah barumu.
aku belajar pasrah dari langit,
yang membiarkan hujan jatuh ke bumi
meski tahu tak semua tanah ingin disiram.
aku belajar dari pohon,
yang tetap berakar
meski musim selalu berubah.
kau tak salah memilih dia.
aku pun tak salah mencintaimu.
mungkin kita hanya salah waktu,
salah takdir,
atau memang tak ditakdirkan untuk saling sampai.
di ruang doa yang paling sepi,
aku berkata pada Tuhan,
“jika ia bahagia bersamanya,
biarkan aku cukup menjadi kenangan yang baik,
yang ia ingat saat tak ada lagi yang bisa diingat.”
dan malam pun diam,
seperti hatiku
yang akhirnya berhenti berdebar
setiap mendengar namamu.