Menu

Mode Gelap
Luhut Umumkan Utang Kereta Cepat Diperpanjang 60 Tahun, SIAGA 98: ‘Aneh dan Tidak Lazim’ “Segala kekuatan dan kesanggupan mempertahankan Kemerdekaan yang ada pada mereka. Tidak akan surut seujung rambut pun” Bukan Cinta yang Abadi, tapi Utang Kereta Cepat Luhut Pastikan Tenornya 60 Tahun! Dedi Mulyadi Mau Cek ke BI Soal Dana Rp 4,17 Triliun: “Kalau Benar, Saya Pecat Semua Pejabat Saya!” Menkeu Purbaya Soroti Jual-Beli Jabatan di Bekasi: Reformasi Tata Kelola Daerah Belum Selesai Ribuan Orang Padati Velodrome, Haidar Alwi Tegaskan: “Polri Harus Tetap di Bawah Presiden Prabowo”

Kolom Angker

Leak Penyeneng: Cinta yang Menyala dari Api Neraka

badge-check


					Foto : Ilustrasi (Ist) Perbesar

Foto : Ilustrasi (Ist)

KOLOM ANGKER – Orang Bali selalu berkata:

“Jangan bermain dengan cinta di bawah purnama.”

Karena di antara bayangan bulan dan aroma bunga kenanga, ada sesuatu yang bernafas menunggu panggilan hati yang retak.

Sesuatu yang disebut orang-orang tua sebagai Leak Penyeneng, leak pemikat, penggoda, perayu yang menyamar dalam wujud kecantikan paling sempurna… dan paling mematikan.

I. Cinta yang Membusuk

Di Banjar Penarungan, di kaki bukit tempat kabut turun lebih cepat dari matahari, hiduplah Ni Komang Arini, gadis muda yang semua orang puja.

Setiap pagi ia menata canang sari dengan tangan lembut, dan setiap sore ia memandikan dirinya di pancuran pura, tempat daun kamboja jatuh satu per satu.

Namun senyum Arini berubah menjadi dingin ketika Wayan Surya, lelaki yang ia cintai, memilih menikahi sepupunya sendiri.

Malam-malam Arini menjadi gelap. Ia tak lagi ke pura, tak lagi bicara dengan siapa pun.

Kadang warga melihatnya duduk di tepi kuburan desa, menatap bulan, memegang bunga kenanga, berbisik pelan:

“Kalau cinta tak bisa ku miliki, biarlah dia mati bersamaku…”

Dan dari kegelapan malam itu, ada sesuatu yang mendengarkan.

II. Datangnya Balian dari Hutan

Suatu malam, ketika kabut menutupi jalan desa, seorang balian tua datang ke rumah Arini.

Wajahnya pucat, matanya cekung, dan jari-jarinya panjang seperti akar kering.

Ia membawa daun lontar gosong diikat dengan benang hitam.

“Kau memanggilku lewat air matamu,” katanya dengan suara serak.

“Cinta yang membusuk bisa kupulihkan… tapi harganya nyawa.”

Arini hanya menunduk. Ia tak peduli. Ia ingin Surya kembali, apa pun caranya.

Balian itu membuka lontar itu, di sana tertulis mantra yang tidak bisa dibaca manusia biasa.

“Ini adalah Tutur Pangelinging Tresna Sangsa Mati,” katanya.

“Kalau kau bacakan di kuburan saat bulan purnama, Leak Penyeneng akan datang.”

Lalu ia pergi, berjalan ke arah hutan, menghilang tanpa bayangan.

III. Ritual di Kuburan Tua

Malam Kajeng Kliwon tiba.

Bulan menggantung besar di langit, cahaya putihnya memantul di batu nisan yang lembab.

Arini berjalan seorang diri, membawa dupa, bunga kenanga, dan rambut Surya yang ia ambil diam-diam.

Ia menggigit jarinya sendiri hingga berdarah, meneteskan darah itu ke tanah, dan mulai membaca mantra dari lontar hitam:

“Sanghyang Penyeneng, roh dari cinta yang mati,

datanglah padaku yang patah dan terbuang,

jadikan aku wajahmu, jadikan aku suaramu…”

Tanah di bawahnya bergetar.

Dari antara kabut, muncul sosok perempuan telanjang dada, berambut panjang, matanya hitam seperti jurang.

Ia berjalan di atas tanah tanpa menyentuhnya, mendekati Arini perlahan.

“Kau memanggilku untuk cinta?”

“Aku ingin dia mencintaiku lagi,” jawab Arini, gemetar.

“Baik. Tapi cinta selalu punya harga.”

Sebelum Arini sempat bertanya, roh itu menyusup ke tubuhnya secepat kilat, seperti kabut yang masuk ke paru-paru.

Teriakannya memecah malam, membuat ayam berkokok dan anjing melolong.

IV. Pengantin Neraka

Keesokan harinya, Arini tampak berbeda.

Wajahnya lebih cantik, matanya bersinar, senyumnya lembut tapi dingin.

Dan entah bagaimana, Surya datang ke rumahnya, menangis di hadapannya, memohon agar mereka menikah.

Upacara berlangsung sederhana.

Namun saat malam tiba, ketika semua tamu pulang, Surya mulai merasa aneh.

Udara di kamarnya menjadi berat, dingin seperti di dasar sumur.

Arini berdiri di pojok ruangan, memandangi Surya.

“Aku mencintaimu,” katanya pelan.

“Aku juga,” jawab Surya.

Arini tersenyum… lalu sesuatu berubah.

Kulitnya memucat, matanya memerah, rambutnya terurai panjang dan mengembang seperti kabut.

Tiba-tiba ruangan berbau busuk, campuran bunga kenanga dan daging terbakar.

“Sekarang cintai aku… sepenuhnya,” katanya.

Teriakan Surya memecah malam.

Ketika warga datang, pintu kamar terkunci dari dalam.

Saat dibuka, Surya sudah tak bernyawa — tubuhnya kaku, wajahnya membeku dengan senyum mengerikan.

Di dadanya tertinggal bekas tangan perempuan, terbakar hitam.

V. Kutukan Menurun

Warga menyalahkan Arini, tapi ia hanya duduk di lantai, menatap kosong, tertawa perlahan sambil menyisir rambutnya yang kini seluruhnya memutih.

Ketika jero mangku mencoba membacakan mantra pembersihan, Arini tiba-tiba menjerit, suaranya berubah bukan suara manusia.

“Kau tak bisa usir aku! Aku sudah menyatu dengannya!

Cinta ini tak akan mati…”

Asap hitam keluar dari mulutnya, menembus atap rumah, terbang ke arah hutan.

Dan tubuh Arini… rubuh, membatu, dingin seperti patung.

Mereka menguburkannya di tepi sungai. Tapi setiap purnama, kuburan itu memancarkan cahaya merah samar, seperti bara di bawah tanah.

VI. Suara dari Kabut

Tahun demi tahun berlalu.

Namun setiap malam Kajeng Kliwon, warga Banjar Penarungan masih mencium aroma kenanga terbakar dari arah kuburan.

Kadang terdengar tawa lembut perempuan, kadang bisikan nama-nama lelaki muda.

Beberapa pemuda mengaku melihat perempuan cantik menunggu di tepi sungai.

Wajahnya lembut, tapi matanya kosong.

Ketika mereka mendekat, udara di sekitar jadi dingin, dan semua suara menghilang.

Satu per satu mereka hilang tanpa jejak.

Yang ditemukan hanya jejak kaki basah di tanah, berhenti tepat di depan sungai… lalu lenyap.

VII. Penutup yang Tak Pernah Selesai

Konon lontar Tutur Pangelinging Tresna Sangsa Mati kini disimpan di pura tua, dikurung dalam peti kayu cendana, dililit benang hitam tujuh lapis.

Tak ada yang berani membacanya lagi.

Namun setiap kali purnama muncul di langit, anjing-anjing di Banjar Penarungan menggonggong tanpa henti,

dan angin membawa suara lembut dari arah hutan:

“Dekatlah…

Aku hanya ingin dicintai…”

Dan jika kau mencium aroma kenanga yang terbakar malam ini,

jangan menoleh.

Karena mungkin, dia sudah berdiri di belakangmu tersenyum dengan wajah yang tak lagi manusia.

Penulis : Ris Tanto | Editor : Ivan

”Tulisan dan cerita diatas bukan merupakan  produk jurnalistik, hanya cerita fiktif dan urban legend yang berkembang di masyarakat PRABA INSIGHT selalu mendukung dan mengedepankan Informasi yang berimbang dan terpercaya”

Baca Lainnya

Bus Malam Terakhir: Tiket Sekali Jalan ke Dunia Arwah

9 Oktober 2025 - 16:11 WIB

URBAN LEGEND: Teror Kuyang di Tanah Kalimantan

2 Oktober 2025 - 17:55 WIB

Bis Terakhir Menuju Kegelapan

2 Oktober 2025 - 17:44 WIB

Surat Undangan dari Kamar Mati Karangjati

26 September 2025 - 02:02 WIB

Mister Gepeng: Teror dari Balik Telepon dan Toilet Sekolah

18 September 2025 - 16:21 WIB

Trending di Kolom Angker