PRABA INSIGHT- Ternyata, kalau ribuan driver ojek online (ojol) kompak mogok satu hari saja, ekonomi digital kita bisa langsung kering kerontang.
Bukan hoaks. Berdasarkan riset dari Institute for Demographic and Affluence Studies (IDEAS), aksi off bid nasional para ojol pada 20 Mei 2025 itu bikin potensi kerugian tembus Rp188 miliar.
Sekali lagi: Rp188 miliar. Itu baru sehari. Belum seminggu. Belum sebulan.
Bayangkan kalau mereka mogok terus, mungkin aplikatornya yang bakal off bid selamanya.
Off Bid: Aksi Diam yang Bikin Dompet Nangis
IDEAS mencatat, transaksi harian di sektor ride hailing biasanya nyentuh angka Rp375,89 miliar. Ketika para driver memutuskan angkat kaki dari aplikasi selama 24 jam, setengah dari uang itu sekitar Rp188 miliar ikut menguap.
“Dan itu baru dampak langsung. Belum termasuk kerugian di sektor lain,” kata Peneliti IDEAS, Muhammad Anwar.
Artinya, satu hari tanpa ojol bisa bikin banyak orang kelimpungan. Bahkan dompet negara pun ikut deg-degan.
Empat Sektor yang Ketar-Ketir
Menurut Anwar, ada empat sektor yang kena getahnya dari aksi damai nan mematikan ini.
Pertama, tentu saja UMKM kuliner yang hidup dari pesanan GoFood dan GrabFood.
Warung makan, kedai pecel lele, sampai resto kekinian mendadak sepi order.
Kalau biasanya rame kayak antre BTS Meal, sekarang malah kayak buka puasa di bulan Safar.
Kedua, masyarakat urban yang biasanya ngandelin ojol buat berangkat kerja atau kuliah.
Tanpa ojol, banyak yang harus bangun lebih pagi dan berdesakan naik angkot. Trauma masa kecil nunggu metro mini bisa muncul lagi.
Ketiga, pengusaha logistik kecil, terutama yang biasa kirim dokumen atau barang lewat GoSend dan GrabExpress. Paket enggak jalan, toko online pun ikut macet.
Keempat, dan ini yang paling berbahaya buat jangka panjang: reputasi perusahaan platform ikut goyang.
Kalau para driver udah enggak percaya dan merasa dieksploitasi, bisa-bisa mereka cari rejeki ke platform lain atau bikin sendiri.
Kerja Kayak Karyawan, Perlindungan Ala Freelancer
Demo nasional ini bukan semata soal duit. Tapi tentang kesenjangan relasi kuasa antara perusahaan aplikator dengan para pengemudi.
Anwar menilai para driver ojol dipaksa kerja layaknya pegawai tetap dengan target, sanksi, dan jam kerja panjang tapi tak diberi status formal apalagi jaminan sosial.
“Tanpa regulasi yang adil, digitalisasi hanya jadi bungkus baru dari eksploitasi gaya lama,” ujarnya.
Duit Triliunan, Tapi yang Nganggur Driver
IDEAS juga mengungkap angka fantastis lain: total Gross Transaction Value (GTV) dari semua aplikator ride hailing di Indonesia mencapai Rp135,32 triliun per tahun.
Gojek: Rp63,04 triliun
Grab: Rp58,75 triliun
Aplikator lainnya: Rp13,53 triliun
Artinya, duitnya ada. Banyak. Tapi tetap saja, para pengemudi masih berjuang untuk sekadar minta potongan komisi yang lebih manusiawi.
Janji Pemerintah: Ditampung Dulu, Diselesaikan Entar
Di Jakarta, perwakilan para driver akhirnya diterima oleh Dirjen Perhubungan Darat, Aan Suhanan. Tapi hasilnya? Yah, seperti biasa: “Akan ditindaklanjuti.”
Salah satu tuntutan utama adalah agar potongan komisi aplikasi dibatasi maksimal 10 persen. Tapi belum ada keputusan resmi. Masih proses, katanya.
Jadi, sementara para aplikator sibuk hitung kerugian, dan pemerintah sibuk menyusun wacana, para driver ojol tetap jadi tulang punggung yang belum tahu kapan bisa berdiri tegak.
Penulis : Andi Ramadhan