PRABA INSIGHT – Di lereng Gunung Slamet, ada sebuah desa kecil bernama Karangjati, wilayah Kemranjen, Banyumas. Dari kejauhan, desa ini tampak tenang: angin mengusap rumpun bambu, dan bisikan samar seolah mengikuti langkah siapa saja yang melintas.
Namun di tengah desa berdiri sebuah bangunan tua peninggalan Belanda—bekas rumah penjaga pabrik gula. Kini berfungsi sebagai Balai RW 03. Biasa dipakai rapat warga, arisan, atau pos ronda. Tapi ada satu ruangan yang tak pernah dibuka: ruang arsip.
Warga menamainya “kamar mati.” Konon, tiap malam Satu Suro terdengar ketukan dari balik pintu berkarat itu, seperti ada yang meminta keluar.
Kotak Kayu Jati
Saat Ketua RW baru, Pak Tirta, seorang pensiunan tentara yang keras dan skeptis, memutuskan untuk membereskan ruang itu, hawa dingin langsung menyergap begitu pintu terbuka. Padahal siang itu matahari Juli menyengat kejam.
Di sudut ruangan, ia menemukan sebuah kotak kayu jati dengan segel kertas merah bertuliskan aksara Jawa:
“Aja nganti ilang jenenge.”
(Jangan sampai namanya hilang).
Saat dibuka, bulu kuduk Pak Tirta berdiri. Di dalam kotak itu ada lima surat undangan tahlil, berkop resmi RW 03 Karangjati, dengan tinta tangan.
Yang mengerikan, nama-nama penerimanya adalah orang yang masih hidup.
Dan di bawahnya tertulis jelas:
Darmo, Ketua RW 03 (1980–2006).
Padahal semua orang tahu, Mbah Darmo sudah meninggal 17 tahun lalu, setelah tiga hari kerasukan dan berpulang tepat pada malam Jumat Kliwon.
Undangan Pertama: Mbok Warsini
Undangan pertama ditujukan ke Mbok Warsini, penjual jamu gendong di tepi makam desa. Jadwal tahlil: Rabu Wage, 12 Juli 2023, pukul 19.00 WIB—di rumahnya sendiri.
Awalnya dianggap lelucon. Tapi malam itu, pukul 19.02 WIB, Warsini ditemukan meninggal. Kepalanya terbentur sumur, namun posisi tubuhnya duduk bersila seakan menyambut tamu.
Di tangannya masih tergenggam daun sirih dan surat undangan yang mulai basah oleh air.
Undangan Kedua: Mas Badrun
Minggu berikutnya, giliran Mas Badrun, tukang servis elektronik. Ia malah mengunggah foto undangan ke grup WhatsApp warga dengan caption bercanda:
“Mungkin Mbah Darmo buka jasa undangan dari alam.”
Sejak itu, lampu tokonya mati-hidup tanpa sebab. Suara solder menyala sendiri tiap tengah malam. Hingga 19 Juli 2023, Badrun ditemukan tewas di kursinya, lehernya tertekuk, mata melotot ke langit-langit.
Di meja kerjanya, surat undangan kembali muncul utuh, tanpa noda.
Undangan Ketiga: Pak Gino
Korban berikutnya, Pak Gino, mantan jagabaya yang terkenal keras kepala. Ia membakar surat undangan yang datang padanya. Namun sejak malam itu, ia mulai meracau di pos ronda, menyebut nama-nama warga satu per satu, seperti sedang mengabsen arwah.
Tanggal pada suratnya: 24 Juli 2023.
Hari itu, Pak Gino ditemukan tewas. Tubuhnya hangus menghitam, seakan terbakar dari dalam, padahal tak ada api di sekitarnya. Bau kemenyan dan rambut gosong masih tercium hingga berhari-hari.
Buku Harian Mbah Darmo
Ketakutan makin menjadi ketika Pak Tirta menemukan buku harian Mbah Darmo di laci arsip. Halaman terakhir berisi tulisan tebal tinta hitam:
“Mereka bukan datang untuk menjemput. Tapi minta dipulangkan. Mereka tak dimakamkan dengan doa. Maka harus ada yang ditukar, agar pintu itu bisa dibuka.”
Dalam catatan itu juga tercantum 17 nama asing. Setelah ditelusuri, ternyata mereka adalah korban kebakaran pondok transmigran tahun 1986. Semua hangus bersama arsip desa. Tidak pernah didata. Tidak pernah ditahlilkan.
Mereka adalah arwah yang dilupakan.
Undangan Keempat: Bu Sarmi
Surat berikutnya untuk Bu Sarmi, mantan kader posyandu. Namun surat itu tak pernah terlihat.
Yang terjadi: Bu Sarmi mendadak kesurupan saat pengajian. Dengan suara berat yang bukan miliknya, ia berkata:
“Kami belum menyeberang. Kami hanya ingin satu malam. Satu tahlil. Tapi doa yang datang palsu. Maka kami ambil gantinya.”
Lalu ia menyebut nama anaknya yang berusia 12 tahun. Malam itu, bocah itu hilang tanpa jejak. Hanya ada cap tangan berdebu di dinding dan bau kemenyan basah yang menusuk hidung.
Undangan Terakhir: Pak Tirta
Puncaknya, 30 Juli 2023, jam lima pagi. Di pagar rumah Pak Tirta tergantung sebuah map pribadi. Isinya: satu surat terakhir.
Tanpa tanggal. Tanpa nama acara.
Hanya satu kalimat:
“Terima kasih, Pak Tirta. Giliranmu menyambung doa. Jangan lupa kunci kotaknya.”
Ditandatangani:
Darmo (Ketua RW 03 Karangjati, 1980–2006)
Tahlil untuk yang Terlupakan
Warga panik. Mereka memanggil paranormal dari Purwokerto, Ki Mangun Reksa. Menurutnya, ruang arsip itu adalah “simpul pengingatan jiwa”—tempat di mana sejarah yang terputus menagih balasan.
Jika 17 nama tanpa nisan itu tidak ditahlilkan, maka akan terus ada “surat kehidupan” yang harus dibayar dengan nyawa.
Akhirnya, di kuburan lama desa, digelar tahlil akbar untuk nama-nama yang hilang dari catatan. Sejak itu, tak ada lagi surat misterius yang muncul.
Kotak kayu jati kini disimpan dalam lemari kaca Balai Desa, dililit kain kafan putih, terkunci rapat. Di atasnya tertulis:
“Jangan dibuka sebelum ada yang dilupakan lagi.”
Namun warga Karangjati bersumpah, tiap malam Jumat Kliwon, dari balik lemari itu masih terdengar suara lirih… menyebut nama-nama… satu demi satu… pelan… tanpa henti.
Jika kau membaca ini dan merinding, bayangkan bagaimana rasanya tinggal di Karangjati desa yang setiap bulan masih menunggu, siapa yang akan menerima surat undangan berikutnya.
Penulis : Ristanto