PRABA INSIGHT – Malam-malam di Semarang, khususnya di pelosok Kabupaten Semarang, menyimpan lebih banyak rahasia daripada bintang-bintang yang berserakan di langitnya. Salah satu kisah yang kerap berbisik di antara angin dan rimbun pepohonan tua adalah tentang Sumala, seorang anak yang tidak pernah diminta hadir ke dunia, namun kehadirannya mengubah segalanya.
Kisahnya bukan sekadar dongeng pengantar tidur, tapi legenda yang terus hidup di balik gemetar lidah para warga yang mengingatnya. Sebagian bilang hanya isapan jempol.
Tapi bagi yang pernah mendekati sumur tua itu yang berdiri bisu di ujung desa kisah ini bukan sekadar cerita. Ini peringatan.
Perempuan yang Melawan Takdir
Tahun 1948. Semarang masih dibalut bayang-bayang perang dan ketakutan. Di sebuah dusun yang jauh dari gemerlap kota, hiduplah Sulastri, perempuan yang terikat dalam kesepian bertahun-tahun.
Pernikahannya sunyi tanpa tangisan bayi, tanpa suara kecil yang memanggilnya “ibu”.
Putus asa mengikis nalar. Malam itu, dengan langkah gemetar dan hati yang tak lagi peduli pada dosa, Sulastri mendatangi seorang dukun tua yang katanya bisa memanggil roh-roh penjaga garis keturunan.
“Anakmu akan datang… tapi bayarnya tidak murah,” bisik sang dukun, diiringi asap dupa yang menyesakkan dada.
Apa yang ia bayar? Tak ada yang tahu pasti. Tapi sejak malam itu, hidup Sulastri tak pernah lagi sama.
Kelahirannya Bukan Berkah, Tapi Kutukan
Beberapa bulan kemudian, Sumala lahir. Tangis pertamanya terdengar bukan seperti tangis bayi biasa lebih mirip jeritan makhluk yang baru lepas dari kegelapan purba.
Kulitnya pucat, nyaris kebiruan, dengan sepasang mata yang terlalu besar untuk wajah mungilnya. Orang-orang desa yang datang menengok hanya mampu menatap ngeri, bibir mereka komat-kamit membaca doa.
Dan sejak hari itu, desa tak lagi damai.
Ternak mati mendadak tanpa sebab.
Anak-anak hilang saat bermain sore hari.
Malam-malam dipenuhi suara tangis dari sumur tua, meski semua bayi telah tertidur di gendongan ibu mereka.
Sumala tumbuh dengan senyuman kosong dan mata yang membuat siapa pun merasa ditelanjangi hingga ke tulang. Warga berbisik: “Ia bukan manusia biasa. Ia titisan perjanjian iblis.”
Amarah Warga, Tangis Sumala
Ketakutan adalah bahan bakar dari kebencian. Dan malam itu, bahan bakar itu meledak.
Warga yang tak lagi tahan hidup dalam bayang-bayang teror akhirnya bergerak. Obor, cangkul, pisau, dan makian mereka bawa ke rumah Sulastri.
Sulastri berlutut, memohon. “Sumala hanyalah anak kecil!” teriaknya, tapi tidak ada yang mendengar.
Dalam linangan air mata dan teriakan keputusasaan, Sumala diseret ke sumur tua, tempat semua mimpi buruk desa bermuara.
Ia sempat berteriak, dan konon, suaranya berubah menjadi jeritan nyaring yang membuat bulan malam itu bersembunyi di balik awan.
Sumala jatuh. Hening.
Tapi sejak itu, ketenangan yang mereka dambakan tidak pernah benar-benar kembali.
Sumur Tua yang Menyimpan Rahasia
Bahkan hari ini, jika kau nekat melewati sumur tua itu saat malam turun, kau mungkin akan mendengar suara anak kecil menangis… atau tertawa.
Beberapa orang bersumpah melihat bayangan kecil dengan mata besar menatap dari dalam kegelapan sumur.
Benarkah Sumala masih ada? Atau hanya bayang-bayang rasa bersalah yang membusuk di hati orang-orang yang pernah mengusirnya dari dunia?
Antara Fakta dan Cerita Turun-Temurun
Tak ada catatan resmi yang membuktikan kisah ini. Polisi tak pernah mencatat nama Sumala dalam laporan mereka.
Sejarawan hanya tertawa kecil saat ditanya tentang kebenarannya. Namun, bagi sebagian warga Semarang, kisah ini lebih nyata daripada pagi dan malam yang berganti.
Ada yang percaya, Sumala hanyalah dongeng untuk menakuti perempuan-perempuan yang putus asa mencari anak.
Tapi ada juga yang yakin, kisah ini nyata, hanya saja sudah kabur oleh generasi yang terus menambahi bumbu mistis.
Sumala Naik ke Layar Lebar
Pada tahun 2024, kisah ini dihidupkan kembali lewat film horor bertajuk “Sumala”. Penonton bergidik. Bioskop penuh.
Namun sebagian warga Semarang justru gusar. Mereka merasa kisah kelam desanya dijadikan bahan hiburan, bukan pelajaran.
Di tengah sorot lampu bioskop dan tepuk tangan penonton, Sumala mungkin menangis. Atau tertawa. Kita tak pernah tahu.
Akhir yang Tak Pernah Benar-Benar Usai
Apakah Sumala sungguh ada? Atau hanya sekadar nama dalam cerita tua? Jawabannya masih terkubur bersama bisikan angin yang melewati sumur tua itu.
Namun, satu hal yang pasti: siapa pun yang pernah mendengar kisah Sumala, tak akan pernah melupakan rasa dingin yang menjalari punggungnya setiap kali melewati jalanan sunyi di tengah malam.
Malam itu masih panjang. Sumur tua itu masih ada. Dan siapa tahu, mungkin malam ini Sumala kembali memanggil namamu…
Penulis : Ristanto