Menu

Mode Gelap
Polisi: Diplomat Arya Daru Tak Dibunuh, Tapi Luka-Luka di Tubuhnya Bikin Merinding ‘Kenali, Pahami, Empati’: Album Baru SIVIA yang Dibumbui Amarah dan Proses Menjadi Manusia Kenalkan Padel dan Sepatu Baru, Begini Strategi ASICS Garap Pasar Anak Muda Indonesia Vanenburg Dicoret dari SEA Games 2025, PSSI Ungkap Alasannya QRS Travel Ungkap Dirugikan Rp1,2 Miliar oleh PB HMI, Sebut Tak Ada Itikad Baik “Fakta Kelam di Balik Hari Anak Nasional: 15 Ribu Anak Jadi Korban Kekerasan Sepanjang 2025”

Prabers

Tragedi Kerusuhan Mei 1998: Kronologi, Fakta, dan Tanggung Jawab

badge-check


					foto ilustrasi kerusuhan 1998 (ist) Perbesar

foto ilustrasi kerusuhan 1998 (ist)

PRABA INSIGHT-Sebelum bicara soal kerusuhan, kita perlu mundur sedikit, ke masa ketika harga Indomie masih seratus perak dan bensin belum semahal air mineral. Ya, tahun 1997.

Ekonomi Asia lagi goyang. Krisis moneter mengguncang negara-negara tetangga, dan Indonesia tak luput kena imbasnya.

Rupiah terjun bebas, nilai tukar ke dolar Amerika jatuh sejatuh-jatuhnya. Saat itu, utang luar negeri Indonesia kayak lubang tanpa dasar, dalam dan gelap.

Kondisi ekonomi yang berantakan ini bukan cuma bikin masyarakat gemas, tapi juga geram. Apalagi ketika tahu bahwa di balik kerusakan ekonomi itu, ada praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme yang subur di era Orde Baru.

Ibarat mie instan yang sudah kedaluwarsa tapi tetap dimakan, pemerintah Orde Baru tetap dijalankan meski aroma busuknya sudah tercium dari jauh.

Di kampus-kampus besar, mahasiswa mulai gerah. Demonstrasi menyeruak di mana-mana. Tuntutannya satu: Reformasi.

Mundur Soeharto, buka ruang demokrasi, dan benahi ekonomi. Tapi, pemerintah waktu itu seperti bapak-bapak yang lagi asyik nonton bola, dicerewetin istri suruh tidur cepat tetap saja tidak bergeming.

Kronologi Kerusuhan

  1. 12 Mei 1998: Tragedi Trisakti
    Ini adalah puncak dari segala amarah. Mahasiswa Universitas Trisakti Jakarta menggelar demonstrasi. Tuntutannya simpel: Reformasi dan Soeharto turun. Tapi yang datang bukan perubahan, melainkan peluru. Empat mahasiswa gugur—Elang, Hafidin, Hendriawan, dan Hery. Nama mereka abadi dalam ingatan sejarah. Tragedi Trisakti menyulut kemarahan yang selama ini dipendam.
  2. 13–15 Mei 1998: Jakarta Terbakar Amarah
    Bukan sekadar metafora, Jakarta benar-benar terbakar. Toko-toko dijarah, mobil-mobil dibakar, dan gedung-gedung dihancurkan. Yang jadi sasaran utama? Properti milik warga keturunan Tionghoa. Provokasi menyebar cepat, dan entah dari mana asalnya, kerusuhan makin tak terkendali.
  3. Kerusakan dan Korban
    Menurut data Komnas HAM, sekitar 1.000 orang tewas, ribuan properti rusak, dan banyak korban pelecehan seksual. Kerusakan ekonomi mencapai triliunan rupiah. Jakarta kala itu lebih mirip zona perang dibandingkan ibukota negara. Gedung perkantoran dan pusat perbelanjaan berubah jadi puing-puing. Dan lebih miris lagi, banyak korban terjebak di gedung-gedung yang dibakar.
  4. 18 Mei 1998: Gedung DPR Diserbu Mahasiswa
    Ratusan ribu mahasiswa bergerak menuju Gedung DPR/MPR. Kali ini, bukan sekadar orasi. Mereka menduduki gedung, berteriak lantang: “Reformasi!” Pemandangan itu seolah jadi simbol perlawanan terhadap rezim yang sudah 32 tahun bercokol tanpa bisa digoyang.
  5. 21 Mei 1998: Soeharto Mundur
    Sejarah tercipta. Setelah tekanan bertubi-tubi, Soeharto akhirnya mundur. Era Orde Baru resmi berakhir, dan B.J. Habibie menggantikannya sebagai Presiden. Mahasiswa bersorak, masyarakat bernapas lega. Tapi, PR besar menanti di depan mata.

Aktor dan Tanggung Jawab

Siapa yang salah? Siapa yang bertanggung jawab? Pertanyaan itu masih mengambang hingga hari ini. Pemerintah, militer, atau ada aktor lain yang bermain di balik layar? Satu yang pasti, korban tak pernah benar-benar mendapatkan keadilan.

Tragedi Trisakti, kerusuhan massal, dan kekerasan terhadap warga Tionghoa masih jadi luka yang menganga tanpa obat penyembuh.

Dampak Pasca Kerusuhan

Kerusuhan Mei 1998 membuka jalan bagi Reformasi. Orde Baru tumbang, demokrasi mulai bertunas. Media lebih bebas, kritik lebih terbuka, dan rakyat lebih berani bersuara.

Tapi jangan senang dulu, masalah korupsi tetap eksis. Penuntasan kasus HAM? Ah, itu ibarat menunggu kucing bertanduk.

Kerusuhan Mei 1998 bukan sekadar kenangan pahit, tapi pengingat bahwa perubahan tak pernah gratis. Terkadang, harga yang harus dibayar adalah nyawa dan rasa aman.

Dan itu, sampai hari ini, masih jadi utang sejarah yang belum lunas.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Baca Lainnya

Capek, Lihat Pemimpin Cuma Jago Webinar? Akademi SaDaya Hadir Bikin Pemimpin Sosial yang Mau Kerja, Bukan Cuma Ceramah

8 Juli 2025 - 06:01 WIB

“Ngaku Foodies? Buktiin di Rumah Indofood Jakarta Fair 2026: Ada Duel Masak Dadakan Sampai Warmindo Terluas!”

3 Juli 2025 - 19:07 WIB

“Sejarah Tahun Baru Islam: Dari Umar bin Khattab, Bid’ah, Berkah, dan Caption Galau Hijrah”

28 Juni 2025 - 14:26 WIB

“Pak Prabowo, Saatnya Cabut Kabel Sistem Lama: Jangan Biarkan Indonesia Jadi Negara Kaya Rasa Miskin”

28 Juni 2025 - 08:38 WIB

Hotel Dalam Bayang Efisiensi: Antara Tekanan dan Harapan

27 Juni 2025 - 07:30 WIB

Trending di Prabers