PRABA INSIGHT-Sebelum bicara soal kerusuhan, kita perlu mundur sedikit, ke masa ketika harga Indomie masih seratus perak dan bensin belum semahal air mineral. Ya, tahun 1997.
Ekonomi Asia lagi goyang. Krisis moneter mengguncang negara-negara tetangga, dan Indonesia tak luput kena imbasnya.
Rupiah terjun bebas, nilai tukar ke dolar Amerika jatuh sejatuh-jatuhnya. Saat itu, utang luar negeri Indonesia kayak lubang tanpa dasar, dalam dan gelap.
Kondisi ekonomi yang berantakan ini bukan cuma bikin masyarakat gemas, tapi juga geram. Apalagi ketika tahu bahwa di balik kerusakan ekonomi itu, ada praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme yang subur di era Orde Baru.
Ibarat mie instan yang sudah kedaluwarsa tapi tetap dimakan, pemerintah Orde Baru tetap dijalankan meski aroma busuknya sudah tercium dari jauh.
Di kampus-kampus besar, mahasiswa mulai gerah. Demonstrasi menyeruak di mana-mana. Tuntutannya satu: Reformasi.
Mundur Soeharto, buka ruang demokrasi, dan benahi ekonomi. Tapi, pemerintah waktu itu seperti bapak-bapak yang lagi asyik nonton bola, dicerewetin istri suruh tidur cepat tetap saja tidak bergeming.
Kronologi Kerusuhan
- 12 Mei 1998: Tragedi Trisakti
Ini adalah puncak dari segala amarah. Mahasiswa Universitas Trisakti Jakarta menggelar demonstrasi. Tuntutannya simpel: Reformasi dan Soeharto turun. Tapi yang datang bukan perubahan, melainkan peluru. Empat mahasiswa gugur—Elang, Hafidin, Hendriawan, dan Hery. Nama mereka abadi dalam ingatan sejarah. Tragedi Trisakti menyulut kemarahan yang selama ini dipendam. - 13–15 Mei 1998: Jakarta Terbakar Amarah
Bukan sekadar metafora, Jakarta benar-benar terbakar. Toko-toko dijarah, mobil-mobil dibakar, dan gedung-gedung dihancurkan. Yang jadi sasaran utama? Properti milik warga keturunan Tionghoa. Provokasi menyebar cepat, dan entah dari mana asalnya, kerusuhan makin tak terkendali. - Kerusakan dan Korban
Menurut data Komnas HAM, sekitar 1.000 orang tewas, ribuan properti rusak, dan banyak korban pelecehan seksual. Kerusakan ekonomi mencapai triliunan rupiah. Jakarta kala itu lebih mirip zona perang dibandingkan ibukota negara. Gedung perkantoran dan pusat perbelanjaan berubah jadi puing-puing. Dan lebih miris lagi, banyak korban terjebak di gedung-gedung yang dibakar. - 18 Mei 1998: Gedung DPR Diserbu Mahasiswa
Ratusan ribu mahasiswa bergerak menuju Gedung DPR/MPR. Kali ini, bukan sekadar orasi. Mereka menduduki gedung, berteriak lantang: “Reformasi!” Pemandangan itu seolah jadi simbol perlawanan terhadap rezim yang sudah 32 tahun bercokol tanpa bisa digoyang. - 21 Mei 1998: Soeharto Mundur
Sejarah tercipta. Setelah tekanan bertubi-tubi, Soeharto akhirnya mundur. Era Orde Baru resmi berakhir, dan B.J. Habibie menggantikannya sebagai Presiden. Mahasiswa bersorak, masyarakat bernapas lega. Tapi, PR besar menanti di depan mata.
Aktor dan Tanggung Jawab
Siapa yang salah? Siapa yang bertanggung jawab? Pertanyaan itu masih mengambang hingga hari ini. Pemerintah, militer, atau ada aktor lain yang bermain di balik layar? Satu yang pasti, korban tak pernah benar-benar mendapatkan keadilan.
Tragedi Trisakti, kerusuhan massal, dan kekerasan terhadap warga Tionghoa masih jadi luka yang menganga tanpa obat penyembuh.
Dampak Pasca Kerusuhan
Kerusuhan Mei 1998 membuka jalan bagi Reformasi. Orde Baru tumbang, demokrasi mulai bertunas. Media lebih bebas, kritik lebih terbuka, dan rakyat lebih berani bersuara.
Tapi jangan senang dulu, masalah korupsi tetap eksis. Penuntasan kasus HAM? Ah, itu ibarat menunggu kucing bertanduk.
Kerusuhan Mei 1998 bukan sekadar kenangan pahit, tapi pengingat bahwa perubahan tak pernah gratis. Terkadang, harga yang harus dibayar adalah nyawa dan rasa aman.
Dan itu, sampai hari ini, masih jadi utang sejarah yang belum lunas.