PRABA INSIGHT – Ada guru honorer dipukuli, tapi penanganan kasusnya malah lelet kayak sinyal 3G di tengah hutan. Korban, berinisial FCR (52), sudah lapor ke Polsek Kemayoran sejak Maret 2025.
Tapi sampai sekarang? Belum ada tersangka, belum ada titik terang, yang ada cuma titik-titik dan tarik napas panjang.
Padahal, menurut kuasa hukum korban, Fajar Kurniawan, S.H., M.H. dari kantor hukum CAMUFA and Partner, semua bukti sudah clear and clean.
Ada pengakuan dari pelaku, ada saksi, ada visum. Bahkan pasal hukumnya pun sudah jelas: Pasal 170 KUHP, ancaman hukuman lebih dari 5 tahun. Tapi entah kenapa, polisi belum juga menetapkan tersangka.
“Apa lagi yang ditunggu? Bukti ada, saksi ada, visum ada. Ini bukan soal drama, ini soal nyawa dan keadilan,” ujar Fajar dalam keterangan tertulisnya, Minggu, (15/06).
Dan bukan cuma itu. Fajar juga mengingatkan bahwa menurut Putusan Mahkamah Konstitusi No. 21/PUU-XII/2014, penetapan tersangka cukup pakai dua alat bukti yang sah dan bukti permulaan yang cukup. Tapi, penyidik tampaknya lebih suka mode slow motion.
Alih-alih gerak cepat seperti pasukan elit di film laga, penyidik Polsek Kemayoran malah dinilai gerak seperti kasir Indomaret yang kehabisan kembalian receh: bingung dan lama.
Sementara itu, FCR yang hidupnya sehari-hari mendidik anak bangsa dengan gaji pas-pasan sebagai guru honorer harus menanggung trauma fisik dan mental.
Orang yang seharusnya jadi contoh ditengah masyarakat, justru harus memperjuangkan keadilan dengan darah dan air mata.
“Kalau begini terus, kami akan bawa ini ke Propam, Kompolnas, bahkan Komnas HAM. Biar semua tahu, bahwa ketidakadilan terhadap rakyat kecil masih terjadi di 2025,” tambah Fajar, makin geram.
Keluarga korban pun makin muak. Mereka menduga lambannya proses ini bisa bikin pelaku lari duluan sebelum dijemput hukum. Ironisnya, ini justru merusak kepercayaan publik terhadap aparat penegak hukum yang seharusnya jadi harapan terakhir orang biasa macam guru honorer.
Penulis : Deny Darmono| Editor: Ivan