OPINI
Ditulis Oleh: E.S. Hartono
Pada awal tahun 2025, sebuah keputusan penting diluncurkan dari Istana Negara. Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2025, yang mengamanatkan efisiensi penggunaan anggaran negara, membawa implikasi luas.
Tujuannya mulia: memperketat pengeluaran negara demi stabilitas fiskal. Namun di baliknya, gelombang dampak mulai terasa di salah satu sektor yang paling sensitif terhadap belanja pemerintah: industri perhotelan dan pariwisata.
Sebagian menyebutnya badai sunyi. Tanpa banyak sorotan kamera, hotel-hotel di kota besar dan kecil tiba-tiba menyaksikan pembatalan demi pembatalan.
Ruang-ruang konferensi yang biasanya sibuk mendadak lengang. Pemesanan kamar dari kementerian dan lembaga daerah lenyap dalam sekejap.
Di Bandung, menurut laporan PHRI (Persatuan Hotel dan Restoran Indonesia) Jawa Barat, angka kerugian akibat pembatalan kegiatan pemerintah mencapai lebih dari Rp12 miliar hanya dalam hitungan minggu.
Bagi banyak hotel, terutama bintang tiga ke bawah yang bergantung pada pasar MICE (Meetings, Incentives, Conferences, and Exhibitions) dari pemerintah, situasi ini menekan ke titik nadir.
“Okupansi kami jatuh hingga di bawah 30 persen. Bahkan akhir pekan pun tidak mampu menutup biaya operasional,” ujar salah satu manajer hotel di Bogor yang enggan disebut namanya.
Efisiensi vs Multiplier Effect
Efisiensi anggaran tentu bukan sebuah kesalahan. Tetapi dalam konteks ekonomi lokal, belanja pemerintah khususnya dalam bentuk pelatihan, seminar, dan pertemuan selama ini justru menjadi penggerak vital. Di luar sektor formal, kegiatan MICE turut menghidupkan UMKM: katering lokal, penyedia dekorasi, pengemudi transportasi wisata, hingga pemilik warung di sekitar hotel.
Apa yang terjadi kini adalah paradoks. Di satu sisi negara ingin berhemat, di sisi lain pengurangan belanja tersebut mengempiskan denyut ekonomi riil yang baru saja mulai pulih pasca-pandemi. Efisiensi yang tidak disertai pendekatan smart spending justru bisa memperlambat pemulihan sektor-sektor kunci.
Adaptasi: Jalan Menuju Nafas Panjang
Namun seperti lazimnya sektor jasa di Indonesia, dunia perhotelan tidak tinggal diam. Di sejumlah daerah, hotel mulai mencari pasar baru. Beberapa beralih menjadi ruang kerja bersama, membuka paket wedding mini, atau menyasar komunitas hobi.
Di Bandung, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata bersama PHRI menggelar event “Bandung Food Rally” dan fun bike sebagai pengganti agenda pemerintah yang tertunda.
Digitalisasi pun terus didorong. Mulai dari pemesanan otomatis, promosi daring, hingga kampanye staycation bertema kesehatan, budaya, dan edukasi.
Bahkan sejumlah hotel kini menyiapkan paket wisata edukatif bagi sekolah dan komunitas, sebagai diversifikasi pendapatan.
Namun semua upaya ini belum cukup tanpa dukungan kebijakan. “Kami berharap ada solusi transisi, bukan pemotongan mendadak. Misalnya dengan relaksasi aturan penggunaan anggaran daerah agar tetap bisa menggunakan fasilitas lokal,” kata Ketua PHRI Kota Yogyakarta.
Menanti Keberpihakan
Dalam banyak kesempatan, Menteri Pariwisata Widiyanti Putri Wardhana menegaskan komitmen pemerintah terhadap kebangkitan pariwisata. Namun, sinyal keberpihakan itu perlu diperkuat dengan langkah konkret: insentif pajak, pembukaan akses pembiayaan lunak untuk hotel kecil, atau perluasan dana promosi daerah yang melibatkan pelaku hotel lokal.
Efisiensi fiskal dan pemulihan ekonomi semestinya tidak bertolak belakang. Bila dijalankan dengan keseimbangan dan partisipatif, efisiensi dapat diarahkan untuk memperkuat sektor strategis dan menumbuhkan ekonomi mikro.
Optimisme yang Harus Dijaga
Sejarah mencatat, industri pariwisata Indonesia memiliki ketahanan tinggi. Dari krisis moneter 1998, tragedi bom Bali, hingga pandemi COVID-19, sektor ini selalu berhasil bangkit dengan catatan, dukungan kebijakan dan inovasi terus berjalan berdampingan.
Kini, kita kembali di persimpangan. Apakah kebijakan efisiensi akan mendorong transformasi atau justru mematikan pelaku di lapisan bawah? Jawabannya tergantung pada seberapa cepat dan tepat semua pihak bergerak.
Untuk para pelaku hotel dan pariwisata, inilah saatnya untuk tidak hanya bertahan, tapi juga berinovasi dan berkolaborasi. Sebab pada akhirnya, industri ini bukan hanya soal bisnis kamar dan makanan tetapi denyut nadi ekonomi lokal yang menjadi wajah Indonesia di mata dunia.