PRABA INSIGHT- Merayakan Tahun Baru Islam: Antara yang Serius, yang Syubhat, dan yang Cuma Pindah Wallpaper WA
1 Muharam datang. Ada yang tiba-tiba jadi alim dadakan, upload kaligrafi ke IG Story sambil caption: “Semoga tahun ini lebih hijrah dari tahun lalu”.
Ada juga yang masih bingung: “Emang boleh ya ngerayain tahun baru Islam? Bukannya itu kayak natalan versi Islam?”
Yang lebih lucu lagi: ada yang ngerayain tahun baru Islam… dengan live dangdutan syariah. Nggak maksiat sih, tapi vibe-nya agak seperti acara resepsi yang gagal move on.
Padahal, kalau kita bongkar sejarah dan hukum-hukumnya, Tahun Baru Islam bukan cuma soal “ganti angka di kalender” atau “buat spanduk selamat tahun baru dari RT 04 RW 05”.
Sejarahnya Nggak Main-Main: Ini Bukan Kalender Warteg
Jangan salah sangka, kalender Hijriah itu bukan hasil polling netizen Arab. Ia lahir dari sebuah kebutuhan serius di zaman Umar bin Khattab: biar surat kenegaraan nggak bikin bingung staf TU Kekhalifahan.
Akhirnya Umar bin Khattab dan para sahabat senior kayak Ali bin Abi Thalib dan Utsman bin Affan mengadakan musyawarah besar (semacam Rakernas, tapi versi langitan). Mereka sepakat:
Tahun 1 Hijriah = tahun Nabi Muhammad hijrah ke Madinah (622 M)
Bulan pertama: Muharam, karena lebih logis buat mulai tahun baru
FYI, hijrahnya sendiri terjadi di bulan Rabiul Awal. Tapi karena orang Arab zaman dulu suka mutusin hal besar dengan feeling dan kebijaksanaan tradisi, ya udah: hijrah-nya di Rabiul Awal, kalendernya mulai di Muharam.
Sumber: Tarikh al-Tabari, Al-Bidayah wa al-Nihayah, Ensiklopedia Islam Kemenag RI
Pertanyaan Mendasar: Emang Boleh Dirayain?
Nah, masuk ke bagian yang selalu jadi langganan debat tiap 1 Muharam: “Ini perayaan bid’ah nggak sih?”
Jawaban Singkatnya:
Boleh, asal nggak lebay dan nggak ngaco.
Jawaban Panjangnya (berdasarkan sumber-sumber yang valid):
1. Majelis Ulama Indonesia (MUI)
✅ Hukum: Mubah (boleh)
MUI menyatakan, perayaan Tahun Baru Islam itu boleh. Tapi isi acaranya harus bernilai positif: dzikir, pengajian, muhasabah, santunan. Jangan diisi dengan tiup terompet sambil pakai baju koko glow in the dark.
💬 “Boleh-boleh saja, selama bukan sekadar seremoni. Harus jadi momentum perubahan.”
KH. Asrorun Ni’am Sholeh, Komisi Fatwa MUI
📚 Sumber: Republika, Fatwa MUI, 2021
2. Nahdlatul Ulama (NU)
✅ Hukum: Boleh dan dianjurkan secara sosial
NU bilang, Tahun Baru Islam itu bagian dari budaya Islam Nusantara yang baik. Bisa jadi ladang dakwah, sarana tafakur, dan refleksi iman. Yang penting jangan sampai jadi ajang flexing kesalehan.
💬 “Islam tak mengenal perayaan tahun baru, tapi umat Islam boleh mengisinya dengan amal shalih.”
📚 Sumber: NU Online, 2020
3. Ulama Klasik & Kontemporer (Imam Nawawi, Al-Suyuthi, KH Ali Mustafa Yaqub)
✅ Hukum: Boleh, selama niat dan praktiknya tidak melenceng
Para ulama tidak menemukan larangan dalam syariat untuk memperingati pergantian tahun. Tapi tentu, selama isinya bukan konser dangdut berselawat.
📚 Sumber: Kitab al-Majmu’, ceramah-ceramah KH. Ali Mustafa Yaqub
4. Salafi-Wahabi (Albaniy.com, IslamQA)
❌ Hukum: Tidak dianjurkan
Mereka bilang, karena Nabi nggak pernah merayakan Tahun Baru Hijriah, maka kita juga nggak perlu. Takutnya nanti jadi bid’ah. Tapi ini lebih ke tidak disarankan, bukan haram mutlak.
💬 “Setiap amalan yang tidak kami contohkan, maka itu tertolak.” narasi umum yang biasa dipakai
📚 Sumber: Islamweb, Albaniy.com
Jadi Gimana? Rayain Apa Nggak?
Kalau kamu ikut perayaan Tahun Baru Islam dengan pengajian, santunan anak yatim, atau dzikir bersama, itu sah-sah aja. Yang penting niatnya bukan cari selfie untuk konten TikTok doang.
Sebaliknya, kalau kamu nggak mau ikut karena prinsip, ya juga nggak masalah. Yang bahaya justru yang ikut-ikutan tapi nggak tahu maknanya. Mirip kayak pakai baju “hijrah squad”, tapi masih sering gibah.
Tahun Baru Islam itu momen. Momen untuk refleksi. Momen untuk sadar bahwa waktu itu berjalan, dan iman kita… kadang jalan di tempat.
Kalau tahun baru Masehi bikin orang niat diet dan nonton kembang api, maka tahun baru Hijriah bisa jadi momen niat tobat dan upgrade takwa.
Jadi, rayakan boleh. Nggak rayakan juga boleh. Yang nggak boleh adalah… terus jadi orang yang sama dan nggak berubah apa-apa.
Ringkasan Hukum Biar Nggak Pusing:
- MUI Boleh (Mubah) Asal isi acara positif
- NU Dianjurkan sosial-budaya Jadi ladang dakwah
- Ulama klasik Boleh Selama tak bertentangan syariat
- Salafi/Wahabi Tidak disarankan Karena tak ada dalil khusus dari Nabi
Penulis : Andi Ramadhan | Editor: Ivan