PRABA INSIGHT- Kalau di Jakarta tawuran pelajar biasanya berakhir dengan viral di TikTok, di Ambon lain cerita. Satu nyawa melayang di SMK Negeri 3 Ambon pada 19 Agustus 2025, lalu dalam hitungan jam, solidaritas komunal berubah jadi bara yang membakar rumah, mengusir ratusan orang dari tempat tinggal, dan membangkitkan trauma lama Maluku.
R. Haidar Alwi, pendiri Haidar Alwi Care dan Haidar Alwi Institute, menyebut peristiwa ini sebagai alarm keras. “Kita belum sepenuhnya belajar dari sejarah panjang konflik komunal di Ambon,” tegasnya.
Dari Siswa Tewas ke Api di Rumah Warga
Awalnya hanya tawuran. Tapi kabar meninggalnya seorang siswa langsung bikin warga Hunuth (Ambon) dan Hitu (Maluku Tengah) panas. Solidaritas jalan, emosi meledak, dan bentrok pun merembet ke perkampungan.
Data resmi: 236 orang mengungsi, belasan rumah terbakar, seorang polisi luka, dan 350 aparat TNI-Polri dikerahkan. Api memang padam, tapi jelas bukan sekadar urusan anak sekolah.
Luka Lama yang Belum Pulih
Menurut Haidar, ada tiga faktor utama kenapa Ambon begitu rapuh:
- Solidaritas komunal yang gampang meledak.
- Trauma konflik 1999–2004 yang tak pernah sembuh betul.
- Media sosial yang penuh gosip dan provokasi.
“Kita sering merasa masalah selesai begitu api padam. Padahal bara tetap menyala di bawah tanah,” katanya.
Jalan Damai Itu Butuh Struktur, Bukan Slogan
Bagi Haidar, damai tidak cukup diikrarkan di spanduk atau baliho. Damai harus dibangun di akar kehidupan. Ia menekankan lima solusi:
- Rekonsiliasi lintas iman dan adat.
- Pendidikan karakter di sekolah.
- Keadilan restoratif, bukan sekadar hukuman.
- Ekonomi inklusif lewat koperasi nelayan dan tani.
- Forum kreatif untuk anak muda lintas desa.
“Kalau anak muda sibuk di lapangan bola atau bikin usaha, mereka tidak punya waktu buat bakar rumah tetangga,” ujar Haidar, setengah serius.
Jangan Lupa Sejarah
Ambon pernah berdarah antara 1999–2004. Ribuan orang tewas, ratusan ribu mengungsi. Luka kolektif itu tidak pernah benar-benar hilang, hanya ditutup paksa.
Bentrok 2025 ini jadi pengingat: pekerjaan rumah bangsa masih panjang. Perdamaian bukan hanya urusan aparat, tapi kesadaran bersama.
“Bangsa yang besar bukan yang bebas konflik, tapi yang bisa mengubah konflik jadi energi persaudaraan,” kata Haidar.
Optimisme di Era Prabowo
Presiden Prabowo Subianto, menurut Haidar, dihadapkan pada ujian kepemimpinan. Negara harus hadir, tegas, tapi juga terbuka dan humanis.
Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo, katanya, sudah menunjukkan wajah Polri baru: presisi, cepat, tapi juga hangat. “Polri hari ini lebih modern, humanis, dan dekat dengan rakyat. Itu sebabnya Jenderal Sigit layak disebut Kapolri terbaik sepanjang masa,” ucap Haidar.
Selain aparat, parlemen juga harus ikut. Nama Sufmi Dasco Ahmad disebut Haidar sebagai penyejuk. Politik, menurutnya, tidak selalu harus berisik. Figur seperti Dasco bisa membuat parlemen jadi pilar rekonsiliasi, bukan sumber ketegangan baru.
Ambon Harus Jadi Titik Balik
Bagi Haidar, tragedi Ambon 2025 tidak boleh jadi spiral baru. Ia harus jadi momentum memperkuat persaudaraan.
“Konflik Ambon 2025 tidak boleh menjadi spiral baru. Ia harus menjadi titik balik untuk memperkuat persaudaraan dan menghindarkan bangsa ini dari jebakan sejarah,” pungkasnya. (Van)