PRABA INSIGHT – Jakarta – Kabar tentang pergantian Kapolri kembali merebak. Media menulis Presiden dikabarkan mengirim surat ke DPR berisi nama calon Kapolri baru. Namun, pimpinan DPR dan Komisi III serentak membantah: tak ada dokumen yang mereka terima.
Kebingungan publik pun kian besar. Rumor berseliweran, spekulasi liar berkembang. Situasi ini, jika dibiarkan, bisa berbalik menjadi krisis politik.
“Istana jangan diam. Kita hidup di era post-truth, isu bisa lebih berbahaya daripada fakta. Ini ancaman serius bagi stabilitas negara,” ujar Direktur Haidar Alwi Institut (HAI), Sandri Rumanama.
Kapolri, Lebih dari Sekadar Jabatan
Sandri menegaskan posisi Kapolri bukan kursi biasa. Ia simbol hukum, keamanan, sekaligus stabilitas nasional. Karena itu, setiap isu pergantian di pucuk pimpinan Polri pasti mengguncang banyak aspek—dari psikologi politik, moral aparat, hingga legitimasi pemerintah.
“Dampaknya bisa berlapis. Aparat goyah, politik gaduh, publik meragukan Presiden,” katanya.
Diam Bisa Berakibat Fatal
Menurut Sandri, bungkamnya Istana justru memberi ruang isu berkembang liar. Publik bisa menilai Presiden gamang, bahkan dikendalikan kepentingan politik tertentu.
“Fatal jika Istana membisu. Presiden bisa dipersepsikan tersandera kekuatan politik,” ucapnya.
Sandri menyebut risiko lain: kepercayaan publik tergerus, soliditas internal Polri melemah, dan agenda reformasi kepolisian rawan terseret ke pusaran drama politik.
Klarifikasi Jadi Jalan Keluar
Sandri menegaskan satu hal: klarifikasi Presiden sangat diperlukan. Penjelasan singkat, apakah isu benar atau sekadar rumor, sudah cukup untuk menghentikan spekulasi.
“Klarifikasi bukan hanya menenangkan publik, tapi juga menguatkan wibawa kepemimpinan nasional,” ujarnya.
Bagi Sandri, diam justru lebih berbahaya ketimbang masalah aslinya. Dalam politik, rumor yang tak ditepis bisa menjelma krisis.(van)