PRABA INSIGHT – JAKARTA – Kalau dulu kita cuma takut sama macet, sekarang warga Jakarta punya dua momok baru: tanah yang terus turun dan air laut yang makin naik. Dua-duanya nggak bisa diajak kompromi, dan dua-duanya bikin sebagian wilayah ibu kota seperti kolam dadakan tiap kali air pasang datang.
Hal ini jadi topik panas dalam Diskusi Publik LPBINU DKI Jakarta bertajuk “Ancaman Air Tanah, Rob, dan Masa Depan Jakarta: Tanggung Jawab Siapa?” yang digelar di Aula PWNU DKI Jakarta, Rabu (15/10). Acara ini ngumpulin para ahli lingkungan, akademisi, sampai perwakilan lembaga pemerintah pokoknya lengkap, kayak Avengers-nya para pejuang lingkungan.
“Rob Sekarang Sudah Bukan Musim, Tapi Kebiasaan”
Ketua LPBINU DKI Jakarta, Laode Kamaluddin, buka diskusi dengan kalimat yang bikin bulu kuduk berdiri:
“Banjir rob kini bukan lagi fenomena musiman, tetapi terjadi semakin rutin dan meluas. Kerusakan infrastruktur, terganggunya aktivitas ekonomi, dan menurunnya kualitas hidup masyarakat pesisir adalah dampak nyata yang kita saksikan hari ini.”
Laode juga mengingatkan kalau penurunan tanah di Jakarta udah kelewatan batas. Beberapa daerah bahkan amblas sampai 10 sentimeter per tahun cukup bikin pusing insinyur, apalagi warga yang rumahnya ikut “tenggelam pelan-pelan.”
“Jika tidak ditangani serius, sebagian area berpotensi tenggelam permanen,” tegasnya.
“Jakarta Nggak Sendiri, Tapi Tetap yang Paling Parah”
Dari sisi riset, Joko Widodo (peneliti BRIN) menjelaskan bahwa penurunan tanah bukan cuma masalah Jakarta. Wilayah pesisir seperti Pantura, Demak, Tangerang, dan Bekasi juga mengalami hal serupa. Tapi, ya harus diakui, Jakarta tetap juaranya dalam hal penurunan tanah tercepat.
“Beberapa titik di Jakarta Utara dan Barat mengalami penurunan paling signifikan. Ini turut meningkatkan ancaman banjir rob setiap tahun,” jelasnya.
Joko juga bilang BRIN udah pakai teknologi canggih, Synthetic Aperture Radar (SAR), buat memantau pergerakan tanah secara akurat.
Selain teknologi, ia menegaskan pentingnya solusi ekologis dan kebijakan nyata:
“Penanaman mangrove dan penerapan zona bebas air tanah bisa jadi langkah awal memperlambat penurunan tanah,” katanya.
“Air Tanah Kita Udah ‘Capek’”
Farizan Radhiya Yahya, akademisi dari Universitas Indonesia, ikut menyoroti pencemaran air tanah di Jakarta Barat yang udah masuk kategori mengkhawatirkan.
“Berdasarkan indeks mutu air, pencemaran paling signifikan terjadi di Jakarta Barat dan wilayah pesisir. Ini memperburuk kondisi lingkungan dan kesehatan masyarakat,” ujarnya.
Farizan menekankan pentingnya pemantauan rutin dan kerja sama lintas sektor.
“Kerja sama akademisi, pemerintah, dan masyarakat itu wajib, biar pengelolaan air tanah bisa berkelanjutan,” tambahnya.
“Bukan Cuma Masalah Lingkungan, Tapi Masalah Sosial dan Iman Juga”
KH. Bahauddin, dari Baznas Bazis DKI Jakarta dan juga pengurus PWNU DKI, mengingatkan bahwa krisis ini bukan cuma urusan teknis, tapi juga sosial dan moral.
“Sebanyak 118 kelurahan di Jakarta Utara sudah terdampak penurunan tanah yang serius akibat ekstraksi air tanah berlebihan,” jelasnya.
Beliau juga mengajak lembaga keagamaan buat turun tangan dalam edukasi publik.
“Baznas Bazis siap kerja sama dengan LPBINU untuk sosialisasi dan edukasi agar masyarakat paham risiko rob dan langkah mitigasinya,” tegasnya.
“Kalau Mau Selamat, Harus Gotong Royong, Bukan Salahan”
Mohamad Yohan, Kepala Pusat Data dan Informasi Kebencanaan BPBD DKI Jakarta, menyebut bahwa penyebab banjir di Jakarta itu nggak cuma satu.
“Ada banjir kiriman, banjir rob, dan banjir lokal. Jadi penanganannya harus kolaboratif melalui konsep pentahelix melibatkan pemerintah, masyarakat, akademisi, dan organisasi lingkungan,” jelasnya.
Intinya, kalau masih saling tunjuk siapa yang salah, airnya keburu naik duluan.
“Mitigasi banjir cuma bisa berhasil lewat gerakan bersama lintas sektor,” tambah Yohan.
“SDA Udah Pasang Tanggul, Tapi Kita Harus Pasang Kesadaran Juga”
Menutup diskusi, Ika Agustin Ningrum, Kepala Dinas Sumber Daya Air DKI Jakarta, memaparkan langkah konkret yang udah dijalankan pemerintah.
“Di Muara Angke, penurunan tanah cukup ekstrem. Kami bangun tanggul pantai, giant sea wall, dan lakukan pembersihan rutin untuk mengurangi dampak rob,” ujarnya.
Selain infrastruktur, SDA juga bikin inovasi digital bernama SINARJI platform pemantauan banjir rob real-time yang bisa mendeteksi kenaikan air secara cepat.
“Dengan SINARJI, mitigasi bisa dilakukan lebih cepat dan akurat,” tambahnya.