I. Jalur yang Membisu
Pagi belum menyentuh pucuk Gunung Lawu. Kabut tebal turun lebih cepat dari biasanya, menyelimuti jalur pendakian Cemoro Sewu dengan putih pekat yang seperti kapas busuk.
Raka, pendaki pemula berusia 27 tahun, memutuskan naik lebih dulu dari teman-temannya.
“Gue ngejar sunrise di Hargo Dumilah. Kalian nyusul aja pelan-pelan,” katanya di Pos 3 sambil mengatur tas carrier.
Tidak ada yang terlalu mempermasalahkan. Raka memang tipikal yang selalu merasa kuat, percaya bahwa tubuh mudanya mampu menaklukkan medan sekeras apa pun.
Langkah-langkahnya pelan tapi konsisten. Tapi sejak melewati Pos 4, suasana berubah drastis.
Tidak ada suara burung. Tidak ada gesekan ranting. Hening. Seolah Gunung Lawu berhenti bernafas.
Di situlah Raka melihatnya pintu kayu tua berdiri di tengah jalur, menjulang tanpa tiang, tanpa bangunan, tanpa alasan.
Logikanya menolak, tapi rasa ingin tahu menang.
II. Gerbang Tak Kasat Mata
Ketika ia menyentuh gagang pintu itu, hawa hangat seperti membungkus tubuhnya. Raka melangkah masuk dan dunia berganti.
Ia berada di pasar. Tapi bukan pasar dalam pengertian biasa. Lapaknya tersebar tanpa pola.
Udara terasa berat. Obor tua menggantung dari langit-langit yang tidak kelihatan.
Bau dupa dan besi karatan memenuhi udara. Ada suara, tapi bukan percakapan. Lebih seperti bisikan samar yang diputar ulang terus-menerus.
“Beli… beli… beli… beli…”
Sosok-sosok tinggi, kurus, dengan punggung membungkuk dan kepala menyentuh dada berjalan mondar-mandir.
Mereka membawa keranjang rotan yang kosong tapi terasa berat. Tidak ada mata di wajah mereka.
Hanya rongga kosong dan senyum tipis yang tak pernah luruh.
Raka mulai panik.
Tapi kakinya seolah menancap di tanah.
Tidak bisa berbalik. Tidak bisa lari…
III. Penjaja yang Setengah Terbakar
Dari sela kerumunan, muncullah seorang wanita berkebaya kusam. Wajahnya separuh cantik, separuh lagi hitam seperti terbakar dan membusuk.
“Le, kau tamu di sini. Semua tamu harus beli.”
“Aku cuma nyasar,” suara Raka hampir hilang.
“Tak ada yang nyasar ke sini. Yang datang, pasti sudah diundang.”
Ia menghamparkan kain hitam. Isinya aneh: seperti koin dari era kerajaan Majapahit, kalung janin, dan…
serpihan kuku dengan noda darah kering.
“Bayar dengan apa saja. Tapi jangan uangmu sendiri. Jangan sekali pun.”
Raka gemetar. Ia mengaduk saku jaketnya, lalu menemukan satu permen jahe. Itu pemberian penjaga warung di basecamp.
Permen itu ia letakkan di atas kain.
Seketika, suara pasar meledak jadi jeritan. Lapak-lapak lenyap. Sosok-sosok tinggi menoleh serempak.
Mata mereka menyala merah, lidah menjulur panjang hingga menyentuh tanah.
Dan Raka…
Jatuh.
IV. Bangun di Dunia Lama
Ia terbangun di antara semak, dekat jalur Cemoro Sewu. Hari sudah pagi. Teman-temannya panik.
Raka hilang hampir tujuh jam. Padahal ia merasa hanya sebentar.
Tangannya menggenggam sesuatu. Sebuah koin kuno berkarat dan rambut panjang, basah, dengan ujung terbakar.
V. Bayangan yang Tak Pernah Pergi
Setelah pulang ke Jogja, hidup Raka berubah. Ia sering terbangun pukul 03.17 dini hari waktu yang sama saat ia menemukan pintu itu.
Kadang, kain hitam muncul di dapurnya, di kamar mandinya, bahkan di dalam tas kerjanya. Isinya selalu berbeda kadang kepala ayam, kadang gigi susu, kadang sepucuk surat yang bertuliskan:
“Belum lunas.”
Raka mencoba membakar koin itu, mengubur rambut itu, memanggil orang pintar, tapi semua sia-sia.
Ia tak bisa tidur nyenyak. Tak bisa makan tenang. Ia mulai bicara sendiri. Mulai kehilangan arah.
Dan pada suatu malam, tetangganya melaporkann kepada polisi suara jeritan dari dalam rumah Raka.
Polisi menemukan rumah kosong. Tidak ada jejak pemiliknya. Hanya satu barang yang tertinggal di ruang tamu: kain hitam, dengan permen jahe di atasnya, dan tulisan menyeringai di dinding:
“Sekali masuk pasar, kau tak akan benar-benar keluar.”
Gunung Lawu bukan sekadar jalur pendakian. Ia rumah bagi legenda, tempat batas logika runtuh. Dan Pasar Setan adalah gerbangnya.
Jika saat mendaki kau mencium bau pasar, mendengar suara tawar-menawar, atau melihat pintu berdiri sendiri jangan dekati. Jangan jawab. Jangan buka.
Karena yang ada di baliknya, menunggu.
Dan pasar itu…
Masih buka.
Penulis: Wahyu Septiadi