PRABA INSIGHT- JAKARTA – Di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta Utara, Selasa pagi (14/10), suasananya bukan cuma ramai truk dan kontainer. Ada satu pemandangan yang agak beda: 25 ribu botol sarang burung walet olahan siap dikirim ke Vietnam. Nilainya? Sekitar Rp1 miliar.
Bukan main. Dari sarang kecil di langit-langit rumah, kini jadi botol bernilai ekspor.
Langkah ini dilakukan Badan Karantina Indonesia (Barantin) lewat Balai Karantina Hewan, Ikan, dan Tumbuhan DKI Jakarta. Mereka menyebutnya sebagai bagian dari program Akselerasi Go Ekspor—yang intinya, Indonesia nggak mau lagi cuma jual bahan mentah, tapi juga produk olahan yang punya nilai tambah.
Simpelnya begini: kalau dulu kita cuma jual sarang mentah, sekarang kita kirim versi botolan yang sudah dikemas rapi dan siap minum.
Kalau dulu cuma jual bahan, sekarang jual cerita tentang kerja keras, inovasi, dan hilirisasi.
Prabowo Punya Mimpi, Barantin Jalanin Aksinya
Kepala Barantin, Sahat Manaor Panggabean, bilang kalau ini bukan cuma soal ekspor, tapi bagian dari Asta Cita Presiden Prabowo Subianto.
“Badan Karantina Indonesia berperan penting memastikan produk ekspor Indonesia memenuhi standar dan protokol negara tujuan. Kami terus melakukan edukasi kepada pelaku usaha agar proses ekspor berjalan lancar dan berkelanjutan,” kata Sahat.
Kalau diterjemahkan ke bahasa nongkrong: Barantin ini semacam penjaga gerbang sekaligus pelatih tim nasional ekspor Indonesia.
Mereka pastikan semua produk yang keluar dari Indonesia bukan cuma bagus di dalam negeri, tapi juga standar internasional. Jadi kalau dikirim ke luar negeri, nggak ditolak cuma karena hal sepele kayak label salah cetak atau dokumen kurang cap.
Ekspor Zaman Now: Serba Digital, Serba Cepat
Nah, bagian paling keren dari cerita ini ada di sistem digital bernama BEST TRUST.
Menurut Amir Hasanuddin, Kepala Balai Besar Karantina Hewan, Ikan, dan Tumbuhan DKI Jakarta, lewat sistem ini proses sertifikasi ekspor bisa dilakukan dari daerah asal produk.
“Dengan sistem ini, waktu dan biaya logistik bisa ditekan. Karantina tak hanya menjaga keamanan hayati, tapi juga memastikan produk ekspor punya nilai tambah tinggi,” kata Amir.
Jadi sekarang, pelaku usaha nggak perlu mondar-mandir ke pelabuhan cuma buat ngurus sertifikat. Semuanya bisa lewat sistem digital. Cepat, efisien, dan yang paling penting nggak bikin pusing.
Kalau dulu ekspor itu kayak maraton birokrasi, sekarang kayak lari sprint.
Dan ini jelas sejalan dengan semangat pemerintah: birokrasi dipangkas, pelayanan dipercepat, ekonomi digenjot.
Sarang Burung Walet: Dari Gua ke Dunia
Sarang burung walet (SBW) mungkin terdengar remeh bagi sebagian orang. Tapi di dunia ekspor, nilainya bisa bikin mata melotot.
Indonesia mengekspor produk ini ke Tiongkok, Hong Kong, Vietnam, Makau, Singapura, Malaysia, Amerika Serikat, Jepang, dan Korea Selatan.
Data BEST TRUST mencatat, sepanjang Januari-September 2025, ekspor SBW mencapai 894,86 ton.
Ada 3.800 rumah walet teregistrasi yang memastikan kualitas produk dari hulu ke hilir. Di Pulau Jawa, industri pengolahannya tumbuh pesat.
Efeknya? Tenaga kerja terserap, ekonomi daerah naik, dan kontribusi ke PDRB makin nyata.
Siapa sangka, suara “ciap-ciap” di langit-langit rumah bisa jadi sumber devisa negara?
Sinergi, Bukan Sekadar Slogan
Pelepasan ekspor ini dihadiri 50 peserta dari unsur pemerintah, pelaku usaha, dan unit karantina wilayah Jawa. Amir bilang, sinergi seperti ini penting banget.
“Sinergi seperti ini menjadi kunci percepatan ekspor komoditas unggulan, khususnya produk bernilai tinggi seperti sarang burung walet olahan,” ujarnya.
Dan memang, semua ini nggak bisa dikerjakan sendirian. Dari peternak walet di daerah sampai petugas karantina di pelabuhan, semuanya punya peran. Pemerintah tinggal memastikan sistemnya jalan, supaya nilai tambahnya balik ke rakyat.
Sederhana tapi penting: kalau Indonesia mau naik kelas, ekspornya juga harus naik nilai. (Van)