PRABA INSIGHT- Tanggal 23 Juli itu mirip tanggal ulang tahun mantan: dirayakan setiap tahun, tapi sering cuma jadi formalitas. Hari Anak Nasional (HAN), tiap tahun penuh kata manis di media sosial, penuh panggung acara yang temanya “Anak Bahagia, Indonesia Sejahtera”, tapi isinya… kadang lebih banyak gimmick daripada perlindungan nyata.
Jangan-jangan, Hari Anak Nasional ini cuma jadi ajang tahunan di mana bocil-bocil dijadikan background foto pejabat, terus dilupakan lagi esok harinya?
Asal-usul HAN: Warisan Soeharto yang Ternyata Bikin Kita Ngerenung
Hari Anak Nasional bukan produk PBB atau hasil rekomendasi WHO, apalagi warisan Kak Seto. Bukan. HAN ini resmi ditetapkan sejak 1984 oleh Presiden Soeharto, biar cocok-cocokan sama UU No. 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak. Jadi, kalau dibilang ini produk lokal betul banget. Bangga? Boleh. Tapi jangan lupa juga untuk jaga isinya.
Anak Terlindungi Katanya, Tapi 2025 Udah Ada 15 Ribu Kasus Kekerasan
Kita mulai dari yang pahit-pahit dulu. Berdasarkan data SIMFONI-PPA per Juli 2025, tercatat 15.992 kasus kekerasan terhadap anak di Indonesia. Belum akhir tahun, tapi angka udah bikin dahi ngedut.
Coba bayangkan: itu artinya, tiap hari ada sekitar 76 anak jadi korban kekerasan. Jenisnya macam-macam, dari kekerasan fisik, psikis, seksual, sampe yang paling sering dan paling nyesek: ditelantarkan sama orang tua kandung sendiri.
Data Komnas Perlindungan Anak juga nambahin bumbu pedasnya: dari Januari 2024 sampai Februari 2025 aja, udah ada 4.388 laporan masuk.
Yang paling dominan?
- Kekerasan seksual: 2.457 kasus
- Kekerasan fisik/psikis: 1.053 kasus
- Rebutan hak asuh: 878 kasus
Dan parahnya lagi, 60 persen pelaku kekerasan itu orang dekat: keluarga sendiri, guru, tetangga, bahkan pacar. Anak-anak jadi korban, tapi pelakunya justru mereka yang katanya “sayang”.
Eksploitasi Anak: Masih Jadi Komoditas, Bukan Prioritas
Selain kekerasan, eksploitasi anak juga masih merajalela. Menurut KPAI, sepanjang 2023 ada 2.656 kasus eksploitasi anak, dari eksploitasi ekonomi, pekerja anak, hingga eksploitasi seksual.
Di Sumatra Utara, misalnya, 4 persen anak usia sekolah masih dipaksa kerja bantu ekonomi keluarga. Di media sosial, banyak anak dipajang buat konten TikTok demi adsense, tanpa tahu hak privasinya dilanggar. Lucu buat netizen, tapi mungkin traumatik buat si anak.
Pemerintah sih udah bikin aturan baru kayak PP No. 17 Tahun 2025 soal perlindungan anak di platform digital. Tapi, siapa yang ngawasin? Dan siapa yang bisa jamin semua orang tua ngerti?
Sayangnya, realita sering ngasih plot twist. HAN dirayakan di balai kota pakai kostum badut dan lomba gambar, tapi besoknya masih ada anak yang putus sekolah, menikah di usia 14, atau masuk RS karena dianiaya orang tuanya.
Setiap Hari Anak, kita pasti lihat pejabat suapin bocah, ikut lomba mewarnai, pura-pura ngobrol akrab. Foto-foto viral, caption-nya “Anak adalah masa depan bangsa”. Tapi begitu tanggal 24 Juli, kembali ke rutinitas: bikin regulasi yang nggak ramah anak, atau bahkan diam saat kasus kekerasan muncul di wilayahnya.
Anak jadi dekorasi panggung, bukan subjek utama. Yang dibela? Reputasi, bukan masa depan mereka.
Hari Anak, Jangan Cuma Jadi Hari Upload Foto Bocah
Kalau memang cinta anak-anak, ayo serius. Bukan cuma bikin lomba nyanyi atau seminar parenting gratis.
Tapi:
Lindungi anak-anak dari kekerasan, baik di rumah, sekolah, dan internet.
Hukum pelaku kekerasan anak seberat-beratnya, tanpa kompromi.
Beri akses pendidikan dan kesehatan yang layak ke seluruh anak Indonesia, bukan cuma anak-anak di kota.
Dan yang paling penting, dengarkan suara anak-anak, bukan hanya saat HAN, tapi tiap hari.
Selamat Hari Anak Nasional, 23 Juli 2025.
Semoga tahun depan kita bisa bilang: “Anak-anak kita bukan cuma jadi maskot. Tapi benar-benar dijaga dan dihargai sebagai manusia seutuhnya.” (van)