PRABA INSIGHT – Jakarta pada Senin, 25 Agustus 2025, terasa seperti menonton tiga channel TV berbeda dalam satu layar. Di Istana Negara, Presiden Prabowo Subianto tampak gagah membagikan tanda jasa dan kehormatan kepada 141 tokoh nasional. Angkanya nyaris dua kali lipat dibanding tahun lalu yang hanya 64 penerima. Ada menteri, ada purnawirawan TNI, ada peneliti. Semua rapi, semua khidmat.
Namun, di luar pagar megah Istana, suasana sama sekali tak serapi upacara. Aksi demonstrasi bertajuk “Revolusi Rakyat Indonesia” yang awalnya berlangsung di depan gedung DPR/MPR, berlanjut hingga ke malam hari dan berubah jadi kerusuhan di berbagai titik Jakarta. Gas air mata meledak, massa berhamburan, bahkan bentrokan dengan polisi masih berlangsung hingga pukul 21.15 WIB di kolong flyover Pejompongan.
Ironisnya, di saat Jakarta membara, Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo justru sedang berada ratusan kilometer dari ibu kota. Bersama Kakorlantas Polri Irjen Agus Suryonugroho, ia blusukan ke dua pesantren besar di Jawa Timur: Pesantren Shiddiqiyyah di Jombang dan Pesantren Langitan di Tuban. Menurut Listyo, kunjungan itu adalah amanat Presiden Prabowo untuk merajut sinergi antara ulama dan Polri. Minta doa restu, katanya, demi keamanan dan persatuan bangsa.
Maka lengkaplah ironi hari itu: Presiden sibuk membagi bintang kehormatan, Kapolri sibuk sowan ke kiai, sementara di jalanan Jakarta, ribuan pelajar dan warga bentrok dengan aparat. Situasi yang oleh sebagian netizen langsung dijuluki: “Jakarta Jebol.”
Seruan aksi ini sebelumnya menyebar lewat WhatsApp dan media sosial. Isunya berlapis: dari dugaan korupsi keluarga Jokowi, desakan pemakzulan Wakil Presiden Gibran, sampai soal pajak dan utang negara. Ribuan massa merespons, dengan dominasi pelajar SMK, buruh, pedagang, hingga ojol. Polisi bahkan mencatat ada puluhan pelajar ditangkap, sebagian dituduh sebagai kelompok anarko.
Hari itu, Indonesia menunjukkan tiga wajahnya sekaligus: wajah resmi penuh seremoni di Istana, wajah teduh penuh doa di pesantren Jawa Timur, dan wajah garang penuh amarah di jalanan Jakarta.
Satu negara, tiga panggung, dan publik hanya bisa geleng-geleng: “Kok bisa ya, semua terjadi di hari yang sama?”(Van)