PRABA INSIGHT- Kampung yang Tak Bisa Kupeluk Sudah dua kali aku menginjakkan kaki di Stasiun Tugu hari ini. Pertama, ketika turun dari kereta yang membawaku dari Jakarta, kota yang menelan separuh hidupku.
Kedua, setelah mengitari Malioboro tanpa arah, sekadar mengulur waktu sebelum masuk ke hotel. Aku berjalan perlahan di peron, menikmati aroma gerbong tua dan suara gesekan roda besi yang membangkitkan ingatan. Tapi aku tahu, Jogja yang aku rindukan sudah tak lagi ada.
Dulu, pulang berarti rumah dengan halaman berdebu dan pohon mangga tempat aku biasa duduk sepulang sekolah. Pulang berarti suara Mbah Uti dari dapur, wangi bawang goreng, dan Mbah Kakung yang sibuk menjemur kopi di teras. Tapi kini rumah itu kosong. Dijual atau entah berpindah tangan ke siapa. Adik-adikku sudah pergi jauh, masing-masing membawa luka yang mereka sembunyikan dalam tawa basa-basi di WhatsApp.
Aku berjalan ke hotel di sudut kota, bukan karena tak tahu arah rumah, tapi karena rumah itu tak ada lagi untukku. Sejak keluarga tercerai-berai, Jogja hanya menjadi sebuah tempat, bukan lagi rumah.
Aku menyewa kamar yang menghadap ke jalan kecil, menyalakan lampu temaram, lalu duduk di balkon menatap senja. Rinduku menggenang, tapi kepada siapa ia harus aku sampaikan?
Aku berjalan di gang-gang sempit Kotagede esok paginya, berharap bisa menemukan bayang-bayang masa kecilku di sana. Tapi wajah-wajah yang kutemui asing. Warung langgananku dulu sudah berganti dengan kedai kopi modern.
Lapangan tempat aku bermain bola kini jadi kompleks pertokoan. Aku duduk di bangku kayu depan sebuah rumah tua, memandangi anak-anak kecil yang berlarian. Aku ingin bertanya apakah mereka tahu nama teman-temanku dulu, apakah ada jejak tertinggal di sini selain kenangan yang kubawa sendiri.
Siang itu, aku pergi ke sungai kecil di dekat sekolah dasar tempat aku belajar dulu. Batu-batu yang biasa kujadikan tempat duduk masih ada, tapi airnya keruh, tak sejernih yang kuingat.
Aku ingat bagaimana dulu kami biasa berlarian, menyusuri pinggiran sungai, melempar batu sambil bercanda. Sekarang aku hanya sendiri, duduk di sana, membayangkan tawa yang tak lagi bisa kudengar.
Malam harinya, aku kembali ke hotel dengan langkah yang lebih lambat. Ada yang mengendap di dadaku—kesedihan yang tak bisa kutunjukkan pada siapa pun. Aku memesan kopi, menyesapnya pelan, membiarkan pahitnya menenangkan sedikit kekosongan di dada.
Jogja masih sama dalam peta, masih ada di antara sungai, gunung, dan laut. Tapi Jogja yang aku kenal telah menghilang. Kini ia hanya tinggal dalam ingatanku, dalam lorong-lorong sempit yang berisi bayangan masa lalu yang tak bisa lagi kugenggam.
Aku sadar, aku bukan lagi milik Jogja. Atau mungkin, Jogja yang dulu kucintai sudah lama berhenti menjadi milikku.