PRABA INSIGHT – Kota Semarang, Jumat Kliwon, pukul 23.55 WIB.
Udara malam terasa berat dan lembap, seperti baru saja turun hujan di dalam tanah. Angin berembus pelan, membawa aroma daun kering, debu, dan sesuatu yang lebih tua lebih purba dari waktu.
Kota itu tampak tertidur, tapi di jantungnya, tepat di antara jalan Pemuda dan rel kereta yang tua, berdiri satu bangunan yang tak pernah benar-benar tidur.
Lawang Sewu.
Bangunan tua peninggalan Belanda itu tak pernah kehabisan cerita. Tapi ada satu yang tak pernah dicetak media, tak pernah dimasukkan ke dalam tur wisata, dan hanya dibisikkan pelan oleh warga lokal tentang satu pintu besi, di ruang bawah tanah, yang tak pernah boleh dibuka.
Aku tahu cerita itu. Tapi aku tak menyangka akan menyaksikannya sendiri.
Anya, si Pencari Kebenaran
Namaku Dimas. Aku fotografer dokumenter kelahiran Semarang. Setahun lalu, sepupuku Anya datang dari Jakarta.
Ia jurnalis investigasi, ambisius, penuh semangat, dan kadang… terlalu nekat.
Ia datang membawa proyek: “Urban Legend Paling Menyeramkan di Indonesia.” Target pertamanya: Lawang Sewu.
“Di sana katanya ada satu pintu yang nggak boleh dibuka. Aku pengen tahu, Mas. Siapa tahu bisa jadi tulisan viral,” katanya sambil tersenyum penuh semangat.
Aku menolak. Tapi Anya tak bisa dicegah. Akhirnya, dengan kenalan lama, aku mencarikan akses tur malam ke ruang bawah tanah Lawang Sewu.
Kami ditemani pemandu khusus: Pak Wiryo, mantan penjaga bangunan yang kini lebih banyak diam daripada bicara.
Sebelum turun ke ruang bawah tanah, Pak Wiryo menghentikan langkah kami. Wajahnya gelap, matanya sayu menatap langit-langit bangunan tua itu.
“Nak… kalau kalian nanti lihat pintu besi warna hijau di lorong paling ujung, jangan sekali-kali kalian dekati.
Jangan disentuh. Jangan difoto. Jangan dibuka. Pintu itu bukan milik manusia.”
Anya tertawa pelan. “Itu pasti cuma buat nambah suasana horor ya, Pak?”
Pak Wiryo menatapnya dalam. “Saya sudah kehilangan dua orang di sana. Dan tidak ada yang percaya.
Mereka pikir saya gila. Tapi yang pernah dengar pintu itu… mereka tak akan pernah bisa tidur tenang lagi.”
Turun ke Perut Gelap
Ruang bawah tanah itu seperti liang kubur. Lantai basah, dinding lembap, dan bau jamur yang menusuk hidung.
Langkah kami bergema pelan, diiringi bunyi tetes air dari langit-langit dan desir angin entah dari mana datangnya.
Saat kami sampai di lorong terakhir, aku langsung tahu mana pintu yang dimaksud. Ia berdiri mencolok besi tua kehijauan, dengan bercak karat seperti luka. Tidak ada pegangan.
Hanya celah kecil di bagian bawah, seperti pernah digunakan… atau dilewati.
Anya melangkah pelan. Ia menyalakan ponselnya, mengaktifkan kamera, lalu berkata:
“Kalau memang ada yang tinggal di balik pintu ini, ayo tunjukkan dirimu…”
Aku panik. “Nya, jangan. Kita balik aja.”
Tapi belum sempat aku menarik tangannya, pintu itu terbuka sendiri. Tanpa suara. Tanpa angin. Perlahan. Dan di baliknya…
Gelap.
Tapi bukan gelap biasa. Bukan ketiadaan cahaya.
Melainkan ketiadaan segala hal.
Seperti menatap lubang hitam yang hidup. Udara mendadak beku. Napas terhenti.
Dan lalu suara itu muncul.
“Akhirnya kau datang kembali…”
Suara itu tak terdengar oleh telinga, tapi langsung masuk ke kepala. Berat. Dingin.
Seperti seseorang berbicara dari dasar liang kubur. Anya terpaku. Matanya kosong. Langkahnya pelan masuk ke balik pintu.
Aku menjerit. Kutarik tangannya. Tapi dia tak bergeming.
“Mas… suara itu bilang aku harus masuk. Dia sudah menungguku. Mungkin… aku memang ditakdirkan untuk ini.”
“APA MAKSUDMU?!”
Anya menatapku. Senyumnya aneh. Sedih… tapi juga tenang.
“Aku dengar suara Ibu, Mas. Dari balik sana. Dia bilang dia belum bisa pergi. Aku harus bantu dia.”
Aku berteriak. Aku memeluknya. Tapi saat pintu itu kembali tertutup dengan dentuman pelan..lalu..Anya menghilang.
Hari-Hari Tanpa Jawaban
Kami mencarinya. Polisi turun tangan. Media mulai memberitakan. Tapi tidak ada jejak. Tidak satu pun bukti Anya pernah berada di sana.
CCTV mati. Jejak kaki hilang. Semua saksi termasuk Pak Wiryo dianggap tidak kredibel.
Mereka menyebut ini gangguan psikologis.
Delusi traumatis.
Skema pelarian diri.
Mereka tak tahu apa yang kami lihat malam itu.
Selama berbulan-bulan, aku dihantui mimpi. Mimpi tentang lorong panjang. Tentang suara tangisan.
Tentang Anya yang berdiri di balik pintu, kulitnya pucat, matanya sayu, tangannya mengetuk dari dalam.
“Mas… buka pintunya. Aku kedinginan. Mereka tidak membiarkanku tidur.”
Sekarang, Satu Tahun Kemudian
Lawang Sewu tetap dibuka untuk umum. Tur malam tetap berjalan. Tapi kini ada satu lorong yang ditutup rapat, katanya karena renovasi.
Pak Wiryo sudah meninggal. Tiga hari setelah ulang tahun Anya.
Ia ditemukan meninggal di rumahnya. Di tangannya tergenggam foto… pintu besi itu.
Dan aku?
Aku masih menulis. Masih mencoba tidur. Masih mencari jawaban.
Karena setiap malam Jumat Kliwon, aku mendengar ketukan pelan dari mimpiku.
Tok… tok… tok…
“Mas… buka pintunya.”
EPILOG
Jika kau mengunjungi Lawang Sewu suatu malam dan menemukan satu pintu besi tua yang tampak tak penting jangan dekati.
Karena beberapa pintu…
Bukan untuk dibuka.
Tapi untuk disimpan oleh waktu.
Dan siapa tahu… ada yang menunggumu di balik sana.