PRABA INSIGHT– Setelah takbir berkumandang dan opor ayam habis disantap, rakyat Indonesia kembali disambut oleh kenyataan pahit bernama pengangguran.
Iya, seperti biasa, setelah euforia Idul Fitri usai, yang datang justru bukan rezeki, melainkan surat cinta dari HRD bertuliskan “pemutusan hubungan kerja”.
Kita semua tahu, yang abadi di negeri ini bukan hanya kenangan mantan, tapi juga fenomena pengangguran pasca-Lebaran.
THR Habis, Kerja Pun Ikut Menghilang
Satu hal yang lebih cepat dari suara petasan malam takbiran adalah hilangnya uang THR. Belum sempat nabung, eh udah dipanggil atasan dan dikasih kabar kalau perusahaan “sedang melakukan efisiensi”.
Data dari Kementerian Ketenagakerjaan menyebutkan, lebih dari 18 ribu orang kena PHK hanya dalam dua bulan pertama 2025.
Ini belum Lebaran, lho. Artinya, begitu Lebaran lewat, jumlah ini bisa naik kayak harga tiket mudik H-1.
Dan ya, itu bukan isapan jempol. Banyak perusahaan diam-diam “berbenah” habis Lebaran.
Kalau dulu kita takut dapat tagihan listrik, sekarang yang bikin deg-degan adalah email dari HR dengan subject: Undangan Konseling Karyawan.
Jakarta, Kota Impian dan Kegalauan
Usai Lebaran 2025, Jakarta dan kota-kota besar kembali kedatangan “rombongan baru”. Bukan turis, bukan influencer, tapi para pendatang dari kampung halaman yang nekat mengadu nasib.
Berdasarkan data terbaru Dinas Dukcapil, ada 7.243 pendatang baru masuk Jakarta, dan sekitar 21 persen di antaranya nggak punya pekerjaan tetap.
Mereka datang dengan semangat membara, membawa CV, ijazah fotokopian, dan harapan yang kadang terlalu tinggi untuk realita yang terlalu kejam.
Jakarta memang kota impian, tapi juga ibu kota patah hati, tempat di mana harapan kerja bisa berubah jadi kerja harapan.
Kelas Menengah? Turun Kelas, Bro!
Kabar baiknya, kelas menengah Indonesia makin banyak. Kabar buruknya, mereka banyak yang turun kelas.
Menurut BPS, jumlah penduduk kelas menengah turun dari 57 juta pada 2019 menjadi 47 juta di 2024.
Artinya, sekitar 9 juta orang resmi “turun pangkat” jadi kelompok rentan miskin. Dari yang tadinya bisa ngopi tiap sore, sekarang mulai hitung-hitung bubur ayam pinggir jalan.
Efeknya? Daya beli ambyar, ekonomi seret, dan lapangan kerja makin sempit. Kita hidup di zaman di mana cari kerja susah, tapi utang online gampang.
Rezeki Sudah Ada yang Ngatur, Tapi Lowongan Kerja Belum Tentu
Pemerintah bilang, pengangguran bisa ditekan sampai 4,5 persen. Tapi di lapangan, pengangguran lebih sering menekan dompet rakyat.
Niat hati ingin daftar kerja, tapi yang dibuka malah lowongan investasi bodong. Kena scam kerja di Kamboja dan pulang tinggal nama.
Sementara itu, sebagian perusahaan sibuk cari “talenta digital”, padahal mayoritas pencari kerja cuma punya pengalaman sebagai admin toko kelontong keluarga.
Selamat Tinggal Lebaran, Selamat Datang Kenyataan
Lebaran mungkin membawa kebahagiaan, tapi setelahnya, kita kembali dihadapkan pada ujian: menjadi pengangguran dengan cara elegan.
Posting “Open to Work” di LinkedIn, ikut webinar motivasi, sambil berharap panggilan interview datang sebelum cicilan motor jatuh tempo.
Karena di negeri ini, kadang kerja keras saja nggak cukup. Harus dibarengi doa, keberuntungan, dan koneksi. Dan kalau belum juga dapat kerja, ya sudahlah—minimal masih bisa bercanda di Twitter.
Irfan.