PRABA INSIGHT- Hari Selasa (15/4) di Yogyakarta mendadak penuh drama. Bukan karena skripsi mahasiswa yang belum kelar, tapi karena ratusan orang mendatangi kampus Universitas Gadjah Mada (UGM).
Tujuannya jelas: mempertanyakan keaslian ijazah Mantan Presiden Joko Widodo.
Dan yang jadi kambing hitam? Bukan rektor, bukan dosen, tapi… font Times New Roman.
Yup, font yang selama ini jadi penyelamat mahasiswa saat nulis skripsi itu kini dituduh jadi bukti ketidakberesan. Tudingan ini datang dari Rismon Hasiholan Sianipar, dosen Universitas Mataram sekaligus alumni UGM.
Menurutnya, ijazah dan skripsi Jokowi mencurigakan karena menggunakan font yang katanya belum eksis di era 1980-an. Langsung deh, massa bergerak.
Demo digelar. Spanduk dibentang. Teriakan “Buka data, jangan drama!” menggema di halaman kampus.
Pihak kampus tentu nggak tinggal diam. Rektor UGM, Ova Emilia, menegaskan bahwa mantan Presiden Jokowi benar-benar lulusan Fakultas Kehutanan tahun 1985.
Dokumen akademiknya? Resmi, sah, dan lengkap. “Semuanya sesuai prosedur,” tegasnya, seakan ingin bilang, “Please, ini kampus, bukan tempat jual ijazah kiloan.”
Tapi ya namanya juga sudah viral, klarifikasi nggak langsung memadamkan api. Massa tetap ingin bukti fisik, transparansi mutlak.
Sebagian bahkan mendesak agar dokumen Jokowi diperiksa dengan forensik font, kalau perlu pakai aplikasi pendeteksi tipografi ala detektif digital.
Netizen pun ikut nimbrung. Ada yang serius, ada yang nyinyir, ada juga yang iseng bikin meme: “Kalau Times New Roman salah, Arial jangan sampai kena getahnya.”
Terlepas dari semua keramaian ini, satu hal yang jelas: polemik ijazah ini bukan cuma soal dokumen, tapi juga soal trust publik. Apalagi di tengah suasana politik yang makin panas.
Dan yang paling mencengangkan? Font, yang biasanya cuma jadi syarat teknis skripsi, kini bisa jadi alasan demo besar-besaran.
Siapa sangka, Times New Roman yang tadinya dianggap biasa saja, kini malah dianggap terlalu futuristic buat tahun 1980-an?