PRABA INSIGHT- Indonesia punya banyak tradisi turun-temurun: resep sambal nenek moyang, warisan rumah joglo, sampai… kemiskinan?
Setidaknya itu yang diungkap Wakil Menteri Sosial (Wamensos) Agus Jabo Priyono saat blusukan ke SD Swasta Kresna di kawasan Cililitan, Jakarta Timur.
Dalam kunjungan itu, ia menyampaikan fakta yang mungkin bikin sebagian orang garuk-garuk kepala: 64,46 persen anak dari keluarga miskin bakal ikut miskin juga ketika dewasa.
Bukan karena kutukan. Bukan juga karena bintang lahirnya sial. Tapi karena kata Agus data Kementerian Sosial menunjukkan begitu.
“Ini bukan soal takdir,” ujarnya. “Tapi ya… kalau orang tuanya miskin, kemungkinan besar anaknya juga akan mengalami hal yang sama.”
Bukan maksudnya nyumpahin. Justru Agus ingin membuka mata semua pihak bahwa kemiskinan itu bukan sekadar persoalan dompet kempes, tapi tentang sistem yang pincang.
Sekolah Dasar: Terminal Akhir Cita-Cita?
Selain soal kemiskinan yang “turun-temurun”, Agus Jabo juga menyinggung soal pendidikan yang masih jadi lubang besar dalam peta sejahtera bangsa ini.
Dari data Kemensos, sekitar 74,51 persen masyarakat miskin cuma lulusan SD. Artinya, buat sebagian besar warga miskin, bangku sekolah cuma sebatas tempat jajan cilok dan ikut upacara Senin pagi.
“Pendidikan sangat menentukan kesejahteraan,” kata Agus. Tapi kalau akses pendidikan saja sudah timpang dari awal, ya wajar kalau mimpi anak miskin untuk jadi dokter, insinyur, atau bahkan dosen TikTok, akhirnya mentok di angan-angan.
Data Tunggal: Biar Bantuan Nggak Salah Alamat
Nah, supaya solusi bisa tepat sasaran dan nggak kayak melempar koin ke sumur harapan, Kemensos sekarang andalkan sistem satu data sosial ekonomi nasional, yang dibangun dari Instruksi Presiden Nomor 4 Tahun 2020.
Lewat sistem ini, pemerintah tahu persis siapa-siapa yang masuk kategori miskin, tinggal di mana, jumlah anggota keluarganya, sampai riwayat ekonomi dan sosialnya. Semuanya tercatat rapi by name, by address, bukan by feeling, by asumsi.
“Sekarang kita tahu detailnya. Nggak lagi pakai kira-kira. Semua ada datanya,” ujar Agus. Dengan begitu, kata dia, pemberdayaan bisa lebih tajam. Bantuan pun nggak lagi salah sasaran misalnya, masuk ke orang kaya yang pura-pura susah di Facebook.
Kemiskinan Bukan Warisan, Tapi Masalah Struktural
Lantas, apakah nasib anak-anak miskin sudah pasti suram? Ya tentu nggak. Tapi Agus Jabo menegaskan bahwa kalau negara nggak turun tangan secara serius dan berbasis data, ya jangan harap lingkaran setan kemiskinan itu bisa diputus.
Kemensos sendiri sedang menyusun program prioritas berbasis pemberdayaan.
Fokus utamanya: bantu masyarakat yang belum punya pekerjaan agar bisa mandiri secara ekonomi. Jadi bukan cuma dikasih bantuan, tapi juga peluang.
Meski begitu, pernyataan Agus bahwa kemiskinan “bisa diwariskan” tetap memicu pro-kontra. Ada yang menganggap itu terlalu men-generalisasi.
Tapi di sisi lain, pernyataan itu juga bisa dilihat sebagai ajakan buat berhenti menyalahkan nasib, dan mulai memperbaiki sistem yang bikin orang susah keluar dari kubangan kemiskinan.
Karena, ya, kalau negara memang hadir buat rakyat, jangan cuma hadir waktu pemilu. Hadirlah juga waktu dompet rakyat kosong.
Penulis : Irfan