Menu

Mode Gelap
“Kisah Sari Menemui Nyi Roro Kidul dan Menukar Dirinya Demi Adiknya yang Hilang” “GBK Bergetar, Tiongkok Gemetar: Gol Romeny Cetak Sejarah Baru” MIND ID & PT Timah Gagas Tambang Timah Laut Lebih Rapi: Ada Kemitraan, Ada MCOS Sustainibox dari MIND ID: Ketika Suvenir Pameran Bisa Bikin Kamu Mikirin Masa Depan Bumi Dulu Meracik Bom, Sekarang Meracik Kopi: Perjalanan Umar Patek yang Bikin Geleng-geleng Kepala GoTo Luncurkan Sahabat Ai, Bisa Deteksi Semua Bahasa Daerah, Kerjaan Customer Service Terancam Punah

Liburan

Menyusuri Keraton Yogyakarta: Saat Sejarah Tak Hanya Diam, Tapi Berbisik Pelan-pelan

badge-check


					Foto : KERATON YOGYAKARTA (IST) Perbesar

Foto : KERATON YOGYAKARTA (IST)

PRABAINSIGHT-Jogja selalu punya cara untuk membuat siapa pun jatuh cinta. Tapi kalau cinta itu ingin dibawa ke tahap yang lebih serius yang tidak cuma angkringan dan Malioboro maka Keraton Yogyakarta adalah tempat yang wajib dilamar, eh, dikunjungi.

Bukan, ini bukan museum biasa yang penuh debu dan larangan menyentuh. Keraton Yogyakarta adalah jantungnya Jogja, tempat di mana sejarah bukan hanya dipajang, tapi dihidupi. Tempat di mana waktu seakan melambat, dan setiap detak jam terdengar seperti suara gamelan yang mengalun dari masa lalu.

Gerbang Agung: Menunduk pada Wibawa

Perjalanan saya dimulai di Regol Donopratopo, gerbang utama Keraton. Ornamen ukirannya masih asli sejak zaman Sultan Hamengkubuwono I, dengan lambang kerajaan berupa mahkota dan tulisan aksara Jawa yang menggetarkan sanubari.

Begitu melangkah masuk, terasa benar auranya. Bukan aura horor, tapi aura kewibawaan. Seolah-olah, setiap orang yang masuk ke sini harus belajar menunduk, bukan karena takut, tapi karena hormat.

Dari sini, pengunjung akan langsung diarahkan ke Bangsal Pagelaran dan Siti Hinggil Lor. Dua area terbuka ini dulunya adalah tempat para bangsawan dan prajurit berkumpul saat upacara resmi. Sekarang sih, tempat pengunjung berkumpul sambil main TikTok. Ya, peradaban memang bergeser, tapi auranya tetap.

Bangsal Kencana: Singgasana dan Detak Kebesaran

Lanjut ke dalam, kita akan bertemu dengan Bangsal Kencana. Ini adalah tempat paling sakral di Keraton karena menyimpan singgasana Sultan. Bangunannya ditopang tiang-tiang kayu jati raksasa berlapis emas dengan ukiran rumit yang bikin kepala mendongak cukup lama—dan leher pegal.

Singgasana emas itu tidak bisa disentuh, tentu saja. Tapi berdiri 3 meter di depannya saja sudah cukup bikin merinding. Konon katanya, siapa pun yang duduk di sana harus siap menanggung bukan hanya kekuasaan, tapi juga harapan ribuan rakyat.

Di sekelilingnya, tergantung foto-foto Sultan HB IX dan HB X, lengkap dengan baju kebesaran yang warnanya seperti langsung dijemur di bawah sinar wahyu ilahi. Glowing!

Museum Batik Keraton: Setiap Kain Punya Cerita

Beranjak ke sisi lain, saya memasuki Museum Batik Keraton. Tempat ini bukan cuma koleksi kain, tapi lembaran sejarah yang dijahit rapi.

Ada batik parang rusak barong yang dulunya hanya boleh dikenakan oleh Sultan. Lalu motif sido asih, simbol cinta dan kasih sayang, yang biasa dipakai saat pernikahan bangsawan. Tiap motif bukan cuma hiasan, tapi juga doa, filosofi, bahkan kadang semacam kode sosial kelas bangsawan.

Salah satu batik paling tua di sana adalah koleksi dari masa HB II, yang warnanya mulai memudar tapi pesonanya tetap menyala. Saya sempat berpikir, “Kalau kain aja bisa abadi begini, kenapa cinta saya nggak?” Tapi ya sudah lah.

Museum Kereta: Saat Kendaraan Masih Punya Nama dan Martabat

Saya kemudian berpindah ke Museum Kereta Keraton. Jangan bayangkan kereta api ya, ini kereta kuda beroda empat yang dulunya cuma bisa dipakai keluarga kerajaan.

Kereta Kyai Garuda Yaksa, misalnya. Warnanya emas menyala, roda-roda besi tuanya masih kokoh, dan interiornya? Lebih mewah dari kamar hotel bintang lima. Setiap kereta punya nama: Kyai Jetayu, Kyai Manik Retno, dan lain-lain. Seolah-olah mereka bukan sekadar kendaraan, tapi sahabat setia Sultan dalam perjalanan spiritual dan kenegaraan.

Dan tahu tidak? Beberapa kereta ini masih digunakan dalam upacara tradisional seperti Grebeg Syawal. Dipakai beneran, bukan cuma dipajang. Jadi kalau kamu datang saat hari-hari besar Islam, bisa lihat prosesi lengkapnya.

Pusaka dan Gamelan: Bunyi Masa Lalu yang Masih Hidup

Di salah satu bangunan yang agak tersembunyi, saya menemukan ruang penyimpanan pusaka keraton. Ada keris, tombak, hingga gamelan kuno. Salah satunya, Gamelan Sekaten, hanya dibunyikan saat perayaan Maulid Nabi.

Yang bikin bulu kuduk berdiri bukan hanya bentuknya yang anggun dan menakutkan, tapi juga cerita mistis di baliknya. Abdi dalem yang menjaga bilang, beberapa pusaka itu hanya bisa “bangun” kalau dipanggil dengan doa tertentu. Bahkan ada jadwal dimandikannya, lengkap dengan bunga tujuh rupa dan air dari tujuh sumur keramat.

Saya menatap keris yang katanya bisa “bergerak” jika tidak dihormati dengan benar. Sejenak saya berpikir, “Kalau benda aja bisa marah kalau nggak dihormati, apalagi mantan.”

Abdi Dalem: Penjaga Tradisi yang Tidak Pernah Lelah

Hal paling menyentuh dari kunjungan saya adalah saat berbincang dengan para abdi dalem. Mereka ini adalah orang-orang yang mengabdi sepenuh hati pada Keraton, tanpa gaji besar, tanpa pamrih.

Salah satunya adalah Pak Karyo, 68 tahun, abdi dalem sejak zaman HB IX. Dengan busana lurik, blangkon, dan bahasa Jawa halus yang nyaris seperti nyanyian, beliau bercerita tentang hidup yang sederhana tapi penuh makna.

“Ngabdi neng keraton iku dudu mung kerja, tapi kawajiban jiwa, Mas,” katanya. (Mengabdi di Keraton itu bukan cuma pekerjaan, tapi panggilan jiwa.)

Keraton, Tempat Sejarah Menolak Pensiun

Kunjungan ke Keraton Yogyakarta bukan sekadar wisata. Ini perjalanan masuk ke dalam jantung budaya Jawa. Di setiap dindingnya, terpahat cerita. Di setiap lantainya, tertinggal jejak para raja. Dan di setiap abdi dalemnya, hidup semangat yang tak pernah padam.

Jadi kalau kamu ke Jogja dan cuma mampir ke Malioboro tanpa menengok Keraton, rasanya seperti ke Paris tapi cuma ke McDonald’s.

Keraton Yogyakarta bukan hanya tempat bersejarah. Ia adalah saksi, penjaga, dan juga guru. Yang mengajari kita bahwa budaya, meski tua, tak pernah benar-benar usang.


 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Baca Lainnya

Libur Panjang? Ini 4 Tempat Paling Recommended di Jakarta, Bogor, Bandung, dan Jogja yang Bikin Pikiran Auto Seger

9 Mei 2025 - 19:16 WIB

Alun-Alun Kidul Jogja: Tempat di Mana Mitos, Cinta, dan Lampu LED Bertabrakan

8 April 2025 - 06:23 WIB

Trending di Cerpen