Menu

Mode Gelap
Prabowo Muncul di Expo 2025 Osaka, Netizen Heboh Sambut Unggahan di X Pejabat dan “Tot Tot Wuk Wuk”: Netizen Gerah, Istana Sampai Ikut Angkat Suara Dari Jepang ke Amerika, Lanjut Kanada dan Belanda: Diplomasi Marathon Prabowo HANTU Sumsel Desak Kejaksaan Agung Periksa Walikota Palembang Ratu Dewa soal Fee Rp 84 Miliar Sandri Rumanama Ingatkan, Reformasi Polri Tak Cukup Struktural Tanpa Perubahan Kultur Potongan Mencekik, Bonus PHP: Driver Online Ngadu ke DPR

Kolom Angker

Mister Gepeng: Teror dari Balik Telepon dan Toilet Sekolah

badge-check


					Foto : ilustrasi (Ist) Perbesar

Foto : ilustrasi (Ist)

Bagian 1:

Telepon Tengah Malam

Namaku Andi. Tahun 1997, aku masih duduk di bangku SMP kelas dua. Waktu itu, hampir semua anak sekolah di Jakarta pernah mendengar kisah Mister Gepeng. Sosok hantu pipih, berlumuran darah, katanya mati terjepit lift.

Cerita itu terus bergema di ruang kelas, kantin, bahkan di jalanan sepulang sekolah. Ada yang bilang ia menghantui toilet, ada yang bilang ia bisa dipanggil lewat telepon dengan menekan nomor 7777777.

Awalnya aku tak percaya. Hingga suatu malam, aku nekat mencobanya.

Jam dinding menunjukkan pukul 12 tepat. Rumah sudah sepi, hanya suara detik jarum jam yang terdengar. Dengan tangan gemetar, aku mengangkat gagang telepon hitam di ruang tamu.

Aku tekan angka tujuh.

Sekali. Dua kali. Tiga kali. Sampai tujuh kali.

7…7…7…7…7…7…7.

Nada sambung terdengar sebentar, lalu hening. Aku hampir menutup telepon saat tiba-tiba ada suara napas berat di ujung sana. Serak. Panjang. Seperti orang yang paru-parunya hancur.

Jantungku berhenti sejenak. Lalu suara itu berkata lirih:

“Aku… datang…”

Aku terjatuh, hampir menjatuhkan gagang telepon. Dengan panik aku menutupnya dan berlari ke kamar. Malam itu aku tak bisa tidur.

Esok paginya, sesuatu membuat bulu kudukku berdiri. Di meja belajarku, ada beberapa koin berkarat. Basah. Lengket. Seperti berlumuran darah.

Bagian 2:

Toilet Sekolah

Hari-hari berikutnya aku diliputi rasa takut. Tapi anehnya, rasa penasaran justru semakin kuat.

Di sekolah, gosip tentang Mister Gepeng makin sering terdengar. Banyak teman sekelasku mengaku mendengar suara ketukan dari bilik kosong. Ada yang melihat noda merah di cermin toilet, meski sebelumnya bersih.

Suatu siang, aku memberanikan diri masuk toilet sendirian. Bau pesing bercampur lembap menyengat hidungku. Aku melangkah ke depan cermin tua yang sudah retak di sudutnya.

Aku menatap pantulan wajahku sendiri. Sekilas, di belakangku, aku melihat bayangan tipis berdiri. Tubuhnya rata, wajahnya rata. Darah menetes dari matanya.

Aku menoleh cepat. Kosong. Tak ada siapa-siapa. Tapi jantungku serasa berhenti.

“Kalau kau menatap cermin terlalu lama, dia akan muncul di belakangmu,” kata seorang kakak kelas, beberapa hari sebelumnya.

Kini aku tahu ia tidak berbohong.

Bagian 3:

Ritual Terlarang

Rian, kakak kelasku, menantangku ikut dalam ritual pemanggilan Mister Gepeng. Katanya, kalau benar-benar ingin membuktikan, kami harus datang ke toilet sekolah pukul 11 malam, mengetuk pintu bilik tiga kali, lalu menyebut namanya.

Aku ingin menolak. Tapi rasa penasaran lebih besar dari rasa takut. Malam itu, aku, Rian, dan Bimo menyelinap masuk lewat pintu samping sekolah.

Toilet gelap. Lampu di dalamnya redup berkelip. Bau lembap bercampur amis memenuhi udara.

Rian melangkah ke bilik paling ujung. Tangannya terangkat, lalu ia mengetuk pintu.

Tok!

Tok!

Tok!

Sesaat hening. Lalu dari celah bawah pintu keluar cairan merah pekat. Lampu di atas kepala berkelip cepat, lalu padam.

Dalam gelap, terdengar suara napas berat. Panjang. Serak. Dekat sekali, seakan ada seseorang berdiri tepat di sampingku.

Tiba-tiba pintu bilik berderit terbuka perlahan. Dari dalam, keluar sosok pipih. Tubuhnya rata, wajahnya tanpa bentuk, penuh darah. Tangannya menempel di dinding, meninggalkan jejak merah.

Aku menoleh ke cermin. Sosok itu berdiri di belakang kami bertiga. Matanya hitam kosong, menatap langsung ke arahku.

Aku ingin menjerit, tapi suaraku hilang. Kakiku tak bisa digerakkan. Seolah sesuatu menahanku di tempat.

Rian menarik tanganku dengan paksa. Kami bertiga berlari keluar secepat mungkin. Nafas kami tersengal, jantung seakan ingin meledak.

Sejak malam itu, hidupku tak pernah sama.

Telepon rumahku sering berdering tengah malam, meski tak ada suara saat kuangkat. Kadang aku mendengar ketukan di pintu kamar, tok… tok… tok…. Kadang, saat bercermin, aku merasa ada seseorang berdiri di belakangku.

Mister Gepeng bukan sekadar cerita anak-anak sekolah. Ia nyata. Ia ada.

Dan sampai hari ini, aku masih bisa mendengar napas berat itu… setiap kali aku sendirian.

Bagian 4:

Teror di Rumah

Sejak malam ritual itu, aku merasa tidak pernah benar-benar sendirian.

Rumahku sederhana, hanya dua kamar dan satu ruang tamu. Tapi sejak kejadian itu, setiap sudut rumah terasa berbeda. Malam-malam menjadi lebih dingin, lebih sunyi, dan kadang… terlalu sunyi.

Malam pertama setelah ritual, aku mencoba tidur. Jam menunjukkan pukul 01.00 dini hari ketika aku terbangun karena suara tok… tok… tok… di pintu kamarku.

Aku memanggil ibu, tapi tak ada jawaban. Dengan jantung berdegup, aku perlahan mendekati pintu dan menempelkan telinga. Dari balik pintu, terdengar napas berat. Panjang. Serak. Sama persis seperti yang kudengar dari telepon malam itu.

Aku mundur ketakutan, lalu menyembunyikan diri di balik selimut. Aku tak ingat kapan akhirnya aku tertidur, tapi ketika bangun pagi, pintu kamarku terbuka sedikit.

Dan di lantai, ada uang koin berkarat, basah, lengket, berlumuran merah.

Bayangan di Cermin

Hari-hari berikutnya, rasa takut semakin nyata. Aku tak lagi bisa bercermin.

Suatu sore, aku masuk kamar mandi untuk mencuci muka. Saat menengadah ke cermin, bukan hanya wajahku yang kulihat. Ada bayangan lain, berdiri tepat di belakangku. Pipih, berlumuran darah, wajahnya rata tanpa hidung, tanpa mulut.

Aku berteriak dan memecahkan cermin itu dengan tangan kosong. Darah mengalir dari jariku. Ayahku marah besar, tapi aku tak sanggup menjelaskan apa yang kulihat.

Sejak hari itu, aku menolak masuk kamar mandi sendirian.

Telepon Tak Pernah Berhenti

Teror terbesar datang dari telepon. Hampir setiap malam, telepon rumahku berdering tepat pukul 12.

Awalnya ayahku yang mengangkat. Tapi ia marah karena tak ada suara di ujung sana. Lama-lama, hanya aku yang tahu… suara itu selalu ada.

Ketika aku yang mengangkat, suara napas berat itu terdengar lagi. Kadang disertai bisikan lirih:

“Aku… di belakangmu…”

Tanganku gemetar, mataku tak berani menoleh. Karena setiap kali aku menoleh, aku yakin sosok pipih itu ada di sana.

Malam Terburuk

Malam terburuk datang ketika listrik di rumahku padam. Ruang tamu gelap, hanya cahaya lilin yang redup. Aku duduk di kamar, mencoba menenangkan diri.

Tiba-tiba pintu kamarku berderit terbuka perlahan. Dari celah pintu, aku melihat sesuatu merayap masuk. Tubuhnya pipih, menyeret diri seperti lembaran kertas basah. Wajahnya rata, matanya hitam kosong menatapku.

Aku ingin menjerit, tapi suaraku tercekat. Aku hanya bisa mundur ke sudut kamar, tubuh gemetar, air mata jatuh.

Sosok itu berhenti tepat di depan kasurku. Ia menunduk, wajahnya begitu dekat dengan wajahku. Darah menetes dari matanya, jatuh ke seprai putih.

Lalu ia berbisik dengan suara parau:

“Aku… tidak akan pergi…”

Gelap. Aku pingsan.

Setelah Itu

Ketika aku sadar, pagi sudah datang. Ibu duduk di sampingku, wajahnya khawatir. Ia bilang aku pingsan semalaman, pintu kamar terkunci dari dalam, dan mereka tak bisa masuk.

Tapi aku tahu, itu bukan mimpi. Karena di seprai tempat tidurku, masih ada noda merah pekat.

Sejak malam itu, Mister Gepeng menjadi bagian dari hidupku. Telepon, pintu, cermin—semuanya jadi pengingat bahwa ia ada di sekitarku.

Dan sampai hari ini, setiap tengah malam, aku masih bisa mendengar suara itu.

Ketukan di pintu. Napas berat di telingaku.

Mister Gepeng tidak lagi hanya menghantui sekolah.

Ia sudah ikut pulang.

Penulis : Ristanto 

Baca Lainnya

Dibalik Cerita Legenda Hantu Sumala: Teriakan Terakhir dari Dasar Sumur

3 Juli 2025 - 19:56 WIB

Cerita Seram Pasar Setan Gunung Lawu dan Kain Hitam Misterius

19 Juni 2025 - 16:12 WIB

Cerita Mistis Alas Roban: “Jalan Sunyi Para Arwah”

19 Juni 2025 - 15:05 WIB

“Kisah Sari Menemui Nyi Roro Kidul dan Menukar Dirinya Demi Adiknya yang Hilang”

6 Juni 2025 - 20:28 WIB

“Rahasia Terlarang di Tanah Naga: Legenda Mistis Pulau Komodo”

29 Mei 2025 - 16:55 WIB

Trending di Kolom Angker