Menu

Mode Gelap
“Kisah Sari Menemui Nyi Roro Kidul dan Menukar Dirinya Demi Adiknya yang Hilang” “GBK Bergetar, Tiongkok Gemetar: Gol Romeny Cetak Sejarah Baru” MIND ID & PT Timah Gagas Tambang Timah Laut Lebih Rapi: Ada Kemitraan, Ada MCOS Sustainibox dari MIND ID: Ketika Suvenir Pameran Bisa Bikin Kamu Mikirin Masa Depan Bumi Dulu Meracik Bom, Sekarang Meracik Kopi: Perjalanan Umar Patek yang Bikin Geleng-geleng Kepala GoTo Luncurkan Sahabat Ai, Bisa Deteksi Semua Bahasa Daerah, Kerjaan Customer Service Terancam Punah

Prabers

“Mitra Ojol: Budak Digital di Era Goodwill”

badge-check


					SAGU AGUSTINUS.S.H.
PEMERHATI PERTAHANAN DIGITAL (foto: doc.pribadi/Praba) Perbesar

SAGU AGUSTINUS.S.H. PEMERHATI PERTAHANAN DIGITAL (foto: doc.pribadi/Praba)

PRABA INSIGHT- Perkembangan teknologi telah melahirkan model ekonomi digital yang mengubah pola hubungan kerja konvensional menjadi hubungan yang berbasis pada algoritma dan platform digital.

Salah satu sektor yang mengalami transformasi signifikan adalah transportasi, khususnya dengan kehadiran platform transportasi online.

Di balik kemudahan dan aksesibilitas yang ditawarkan, terdapat ketimpangan sistemik yang menjadikan mitra pengemudi sebagai “budak goodwill” bagi para tuan tanah digital yakni korporasi pemilik platform digital tersebut.

Analisis Masalah

1. Goodwill dan Teori Akuntansi:

Dalam laporan keuangan perusahaan digital, seperti platform transportasi online, goodwill sering muncul sebagai aset tak berwujud hasil dari akuisisi atau ekspektasi keuntungan di masa depan.

Goodwill mencerminkan reputasi, basis pengguna, dan ekosistem mitra. Namun, nilai goodwill ini dibangun dari kontribusi besar mitra pengemudi, tanpa keterlibatan langsung mereka dalam kepemilikan atau pengambilan keputusan.

Mereka membantu membangun merek, mempertahankan pelanggan, dan menjaga kualitas layanan semua unsur pembentuk goodwill namun tidak memperoleh bagian dari aset tersebut.

Menurut Prinsip Akuntansi Berterima Umum (GAAP) dan IFRS (International Financial Reporting Standards), goodwill harus diuji penurunan nilainya (impairment), tetapi tidak ada mekanisme distribusi nilai goodwill kepada kontributor utamanya yang bukan pemegang saham, dalam hal ini mitra pengemudi.

2. Teori Manajemen: Eksploitasi dalam Ekosistem Digital.

Dalam teori manajemen stakeholder, idealnya semua pihak yang memberikan kontribusi terhadap kesuksesan perusahaan harus mendapatkan kompensasi yang adil.

Namun dalam praktiknya, platform digital menerapkan manajemen berbasis kontrol algoritma yang tidak transparan, sering kali menekan mitra dalam bentuk pengurangan insentif, penalti sepihak, dan penghapusan akun tanpa prosedur yang adil (due process).

Teori eksploitasi digital (digital labor exploitation) menjelaskan bahwa tenaga kerja dalam ekosistem digital sering kali tidak diakui sebagai pekerja formal, namun dipaksa untuk mengikuti aturan ketat platform tanpa hak-hak dasar sebagai pekerja. Ini adalah bentuk perbudakan modern dalam wujud digital.

3. UUD 1945 dan Prinsip Anti-Penjajahan

Pasal Pembukaan UUD 1945 menyatakan bahwa “penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan peri kemanusiaan dan peri keadilan.”

Ketika mitra pengemudi dipaksa tunduk pada kekuasaan algoritma, tanpa transparansi, keadilan kontraktual, atau kompensasi layak, maka yang terjadi adalah bentuk penjajahan digital. Ini bertentangan dengan amanat konstitusi Republik Indonesia.

4. Kewajiban OJK dan Bursa Efek Indonesia

Sebagai regulator sektor keuangan, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Bursa Efek Indonesia (BEI) tidak boleh hanya menjadi penjaga stabilitas keuangan, tetapi juga harus menjamin etika bisnis dan tata kelola perusahaan (good corporate governance).

Perusahaan digital yang go public memperoleh keuntungan dari pasar modal Indonesia, namun tidak memberi manfaat langsung kepada para mitra pengemudi yang menjadi fondasi operasionalnya.

Hal ini dapat menciptakan distorsi nilai ekonomi dan ketidakadilan struktural dalam ekosistem keuangan nasional.

OJK harus mewajibkan keterbukaan informasi mengenai model hubungan kerja platform dan mitra, termasuk pembagian nilai tambah (value sharing).

BEI pun harus mengkaji ulang kelayakan pencatatan saham perusahaan yang mengeksploitasi tenaga kerja berbasis kemitraan tanpa perlindungan sosial.

5. Hak atas Kekayaan Intelektual (HAKI) dan Hak Kolektif.

Menurut Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta dan konvensi internasional seperti WIPO (World Intellectual Property Organization), kontribusi yang menghasilkan nilai ekonomi dalam bentuk merek, sistem kerja, atau data pengguna jika berasal dari kontribusi kolektif seharusnya diakui secara hukum.

Mitra pengemudi membantu membangun ekosistem merek dan basis data pengguna, namun tidak memiliki kontrol atau kepemilikan atas produk intelektual yang mereka bantu ciptakan.

Hal ini membuka ruang bagi pembentukan lembaga hak kolektif digital, yang memperjuangkan agar mitra platform digital, termasuk di sektor transportasi, mendapat pengakuan hukum dan ekonomi atas kontribusi kreatif dan data yang mereka hasilkan.

Kesimpulan dan Tuntutan

Situasi saat ini menunjukkan bahwa mitra transportasi online telah menjadi budak goodwill mereka membangun nilai perusahaan, namun tidak menikmati hasilnya.

Ini adalah bentuk penjajahan digital, yang bertentangan dengan amanat UUD 1945 dan prinsip keadilan ekonomi.

Otoritas Jasa Keuangan dan Bursa Efek Indonesia harus segera:

1. Mengkaji ulang kebijakan pencatatan dan keterbukaan informasi perusahaan digital di pasar modal.

2. Mewajibkan audit independen terkait hubungan kerja dan distribusi nilai ekonomi dengan mitra pengemudi.

3. Mendukung regulasi baru yang mengakui hak ekonomi mitra dalam bentuk profit-sharing, saham partisipatif, atau sistem koperasi digital.

4. Berkoordinasi dengan Kementerian Hukum dan HAM serta WIPO untuk membentuk kerangka pengakuan HAKI kolektif bagi pekerja digital.

 

Referensi Hukum dan Teori.

  • Undang-Undang Dasar 1945, Pembukaan dan Pasal 28D.
  • UU No. 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta.
  • UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.
  • IFRS 3: Business Combinations.
  • GAAP: Goodwill Accounting Standards.
  • OECD Guidelines for Multinational Enterprises.
  • WIPO Convention (1967).
  • Teori Stakeholder (R. Edward Freeman), Teori Digital Labor (Scholz, 2012), serta Teori E
  • Eksploitasi Algoritma (Zuboff, 2019).

 

Penulis : SAGU AGUSTINUS.S.H.

PEMERHATI PERTAHANAN DIGITAL

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Baca Lainnya

Sustainibox dari MIND ID: Ketika Suvenir Pameran Bisa Bikin Kamu Mikirin Masa Depan Bumi

5 Juni 2025 - 06:05 WIB

Lagu Nuansa Bening Kini Jadi Nuansa Pening: Vidi Aldiano di gugatan Rp24,5 M dan Rumah Pribadinya Terancam di sita

4 Juni 2025 - 07:47 WIB

Kasus Pemerasan 4 Miliar Nikita Mirzani dan Assistennya Siap disidangkan

2 Juni 2025 - 08:12 WIB

“Judi Online: Industri Gelap yang Ditoleransi Diam-diam?”

28 Mei 2025 - 16:03 WIB

Miss England Cabut dari Miss World: “Kami Disuruh Ngobrol Sama Pria Kaya, Seperti Pelacur Bermahkota”

27 Mei 2025 - 09:14 WIB

Trending di Prabers