OPINI
1. Pendahuluan
Perkembangan teknologi informasi telah memasuki era yang disebut Gelombang Ketiga, sebagaimana dikemukakan oleh futuris Alvin Toffler.
Gelombang ini ditandai dengan dominasi informasi dan data sebagai sumber daya utama, menggantikan peran industri dan agrikultur di masa sebelumnya.
Dalam konteks ini, data bukan lagi sekadar aset tambahan, melainkan telah menjadi komoditas strategis yang mempengaruhi hajat hidup manusia, kebijakan negara, dan struktur kekuasaan global.
Dalam situasi tersebut, perlindungan terhadap data menjadi esensial, tidak hanya sebagai isu privasi dan ekonomi, tetapi sebagai isu pertahanan dan kedaulatan negara.
Negara yang gagal melindungi data warganya akan tergadaikan kedaulatannya oleh korporasi global dan negara adikuasa melalui instrumen teknologi dan hukum internasional.
II. Data Sebagai Komoditas Strategis
- Transformasi Data dalam Ekonomi Global
Menurut Shoshana Zuboff dalam The Age of Surveillance Capitalism (2019), data kini menjadi bahan mentah utama dalam model ekonomi baru yang disebut kapitalisme pengawasan.
Korporasi global seperti Google, Amazon, dan Facebook tidak hanya mengumpulkan data, tetapi juga memprediksi dan memanipulasi perilaku manusia.
- Implikasi Keamanan dan Pertahanan
Data nasional memiliki fungsi strategis dalam bidang militer, politik, dan ekonomi. Kebocoran atau penguasaan data oleh pihak asing berpotensi mengancam kedaulatan dan stabilitas negara.
Serangan siber yang menargetkan sistem data nasional (seperti yang terjadi pada AS, Estonia, dan Ukraina) telah diakui sebagai bentuk “perang generasi kelima”.
III.Hak Kekayaan Intelektual (Intellectual Property Rights/IPR) dan Kedaulatan Negara
- Konflik Kepentingan antara IPR dan Kedaulatan
Hukum kekayaan intelektual, terutama yang diatur dalam rezim global seperti Agreement on Trade-Related Aspects of Intellectual Property Rights (TRIPS), seringkali menjadi alat dominasi negara maju atas negara berkembang.
Penguasaan paten dan hak cipta atas teknologi data dan algoritma oleh perusahaan asing menjadikan negara berkembang sekadar konsumen, bukan pemilik teknologi.
- Teori Relevan
Teori Ketergantungan (Dependency Theory): Negara berkembang terjebak dalam ketergantungan struktural kepada negara maju melalui dominasi ekonomi dan teknologi.
Teori Cyber-Sovereignty: Ditekankan oleh Tiongkok dan Rusia, teori ini menyatakan bahwa negara berhak penuh atas regulasi dan proteksi data dalam wilayah kedaulatannya.
- Hak Kekayaan Intelektual Global vs Kepentingan Nasional
TRIPS dan WIPO mewajibkan negara-negara untuk menghormati kekayaan intelektual global. Namun, dalam praktiknya, hal ini seringkali menghambat inovasi lokal dan kemandirian teknologi.
Negara yang tidak memiliki teknologi sendiri harus membayar lisensi mahal untuk perangkat lunak, sistem AI, dan pengelolaan big data Yang semuanya dikendalikan oleh entitas asing.
IV. Aspek Hukum Nasional dan Internasional
- Hukum Nasional:
UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) dan perubahannya dalam UU No. 19 Tahun 2016.
UU No. 27 Tahun 2022 tentang Perlindungan Data Pribadi (PDP): Mengatur hak subjek data dan kewajiban pengendali/pemroses data. Menjadi tonggak penting dalam perlindungan data domestik.
UU No. 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta dan UU No. 13 Tahun 2016 tentang Paten: Menjadi dasar perlindungan kekayaan intelektual dalam negeri.
- Hukum Internasional:
TRIPS (Trade-Related Aspects of Intellectual Property Rights): Di bawah WTO, mengatur perlindungan minimum atas HKI yang harus dihormati negara anggota.
Konvensi Bern, Konvensi Paris, dan perjanjian WIPO: Mendorong harmonisasi perlindungan HKI secara internasional.
GDPR (General Data Protection Regulation) – Uni Eropa: Standar tertinggi perlindungan data pribadi yang mempengaruhi kebijakan global.
V. Negara Tanpa Kedaulatan: Sebuah Peringatan
Negara yang tidak mampu:
Mengelola data nasional secara mandiri,
Mengembangkan teknologi pengolahan data sendiri,
Melindungi HKI warganya secara efektif,
akan menjadi negara boneka digital, di mana semua kebijakan ekonomi, politik, hingga sosial dikendalikan oleh algoritma yang dibangun dan dikuasai entitas asing.
Jika negara tidak siap berperang ,baik secara hukum, teknologi, maupun diplomasi untuk melindungi data dan kekayaan intelektualnya, maka kedaulatan tinggal sejarah.
VI. Rekomendasi dan Kesimpulan
- Pembangunan Kemandirian Teknologi
Investasi besar-besaran dalam riset dan pengembangan teknologi nasional (AI, blockchain, cybersecurity).
Mendorong lembaga pendidikan dan startup lokal dalam menciptakan teknologi data mandiri.
- Perlindungan Data sebagai Instrumen Pertahanan
Pembentukan Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) sebagai garda depan pertahanan digital harus diperkuat.
Mekanisme audit dan kontrol terhadap lalu lintas data lintas batas (cross-border data flow).
- Reformasi Hukum IPR
Penyesuaian hukum kekayaan intelektual nasional agar lebih pro-kedaulatan.
Advokasi perubahan sistem TRIPS agar lebih adil bagi negara berkembang
Kesimpulan
Di era gelombang ketiga, data adalah nyawa negara. Jika negara tidak menjaga dan melindunginya, maka kita bukan hanya akan kehilangan kekayaan, tetapi juga kedaulatan.
Perlindungan kekayaan intelektual tidak boleh dipisahkan dari strategi geopolitik dan pertahanan negara. Inilah medan perang baru, dan negara harus siap.
SI VIS PACEM PARRA BELLUM