KOLOM ANGKER – Profesi perias pengantin biasanya dikaitkan dengan wangi melati, tawa keluarga, dan riasan yang mengubah seseorang menjadi secantik bidadari. Tapi bagi sebagian perias, pekerjaan ini seperti berjalan di antara dua dunia: dunia manusia… dan dunia yang lain.
Di balik denting gamelan dan aroma kemenyan yang samar, ada cerita-cerita yang tidak pernah diceritakan secara gamblang. Cerita yang dibungkam karena terlalu ganjil untuk dipercaya manusia, tapi terlalu nyata untuk dilupakan. Dan salah satu cerita paling mencekam itu datang dari seorang perias senior: Ibu Sudarsih, atau yang dikenal sebagai Mbak Dar.
Ia sudah merias sejak remaja mewarisi keahlian, sekaligus ritual yang dijaga oleh neneknya. Puasa, sesaji, larangan-larangan aneh… semua dijalani. “Agar selamet. Agar yang dirias auranya keluar,” kata neneknya dulu. Tapi siapa sangka, ritual itu justru membawanya menemui sesuatu yang tidak seharusnya ia lihat.
Dan cerita yang akan kau baca ini adalah pengalaman paling gelap dalam hidupnya.
Panggilan Subuh yang Membawa Celaka
Pertengahan September 1992. Masih dini hari, dingin menusuk kemudian bercampur kabut tebal pegunungan Sumpiuh. Mbak Dar dan asistennya, Rohimah, mengendarai Honda Astrea menanjaki hutan pinus Banjar Penepen. Jalannya licin, terjal, dan gelap terlalu sepi untuk sebuah desa yang katanya akan menggelar pesta pernikahan besar.
Saat tiba, rumah yang dituju tampak sangat tenang. Terlalu tenang.
Tarub memang terpasang, tetapi udara di sekeliling terasa berbeda dingin, kosong, seperti ditinggalkan sesuatu yang belum beres.
Setelah disambut seorang perempuan setengah baya, mereka langsung dibawa masuk ke kamar rias. Di dalamnya, duduk seorang perempuan berambut panjang mengenakan kebaya putih. Diam. Menunduk. Tidak bergerak. Hanya bayangan tubuhnya yang memantul samar pada cermin besar di depannya.
“Wajahnya… pucat sekali,” gumam Mbak Dar.
Pucat bukan karena lelah. Tapi seperti… kering dari kehidupan.
Tapi perempuan itu tersenyum kecil. “Saya habis sakit, Mbak.”
Senyum itu… lebih seperti gerakan otot, bukan ekspresi manusia.
Keheningan yang Tidak Normal
Selama merias, suasana terlampau hening. Tidak ada suara keluarga. Tidak ada suara kursi diseret. Tidak ada tawa saudara. Tidak ada langkah orang mondar-mandir.
Seakan seluruh rumah itu hanya berisi tiga orang: perias, asisten, dan pengantin.
Bahkan ketika mempelai pria masuk, wajahnya sulit dibaca. Ia hanya berdiri diam sampai dirias, lalu pergi tanpa sepatah kata. Sambil pergi, ia tidak menginjak lantai… langkahnya terlalu ringan. Terlalu sunyi.
Dan anehnya, begitu mempelai pria keluar, sunyi kembali mencengkeram.
Hanya suara bedak diusap.
Napas tertahan.
Dan gelegak ngeri yang merayap dari belakang leher.
Baru setelah riasan selesai, tiba-tiba rumah seketika ramai: suara orang bicara, kursi digeser, teriakan anak kecil… seperti ada tombol yang menyalakan kehidupan secara mendadak.
Aneh. Tapi Mbak Dar menepisnya.
Hingga seseorang masuk kamar dan berkata, “Sudah jam sepuluh, mulai sekarang.”
Jam sepuluh?
Padahal Mbak Dar baru merias dua jam.
Tapi ketika dilihat, jam tangannya benar. Tiba-tiba waktu melompat.
Kembali Lagi Setelah Senja Dan Segalanya Berubah
Siang itu, Mbak Dar pergi sebentar ke Kemranjen. Saat ia kembali, hujan mengguyur, jalan licin, gelap, dingin. Mereka terlambat.
Tapi yang paling aneh adalah… mereka tidak bisa menemukan desa itu lagi.
Jalan yang sama.
Hutan pinus yang sama.
Tapi rumah yang dicari hilang.
Lebih dari tiga jam mereka berputar, menyusuri jalan yang sama berulang-ulang, tetapi desa itu seperti ditelan bumi.
Hingga hampir tengah malam, mereka menyerah. Sampai bertemu beberapa warga berjalan membawa obor.
Ketika ditanya lokasi rumah Pak Sarkim, mereka menjawab:
“Rumah yang pernikahannya nggak jadi itu? Setelah belokan, Mbak… tapi buat apa ke sana? Sudah nggak ada apa-apa.”
Pernikahan… tidak jadi?
Dengan jantung berdegup keras, Mbak Dar mengikuti petunjuk itu. Rumahnya akhirnya terlihat gelap, penuh orang, tapi bukan pesta… melayat.
Arwah yang Minta Dirias
Semua orang berpakaian hitam. Wangi melati yang menguar pagi tadi kini berubah menjadi bau anyir yang menusuk.
Di teras, bibinya pengantin menangis tersedu. Dengan suara serak ia berkata:
“Mbak Darsih… kok baru datang. Maaf… kami lupa memberi kabar.
Pernikahannya batal…
Sumarsih meninggal kecelakaan kereta semalam. Bersama calon suaminya.”
Dunia Mbak Dar runtuh seketika.
“…Tapi saya merias dia tadi pagi,” suaranya hampir tak keluar.
Sang bibi hanya menatapnya lama, dengan wajah ketakutan—seolah mengira Mbak Dar sedang bercanda.
“Mbak… jenazah Sumarsih baru dimakamkan Ashar tadi.”
Telinga Mbak Dar berdenging. Matanya kabur. Di ujung pandangannya, ia melihat kamar tempat ia merias pagi itu.
Pintu kamar terbuka sedikit.
Dalam remang-remang, cermin besar berdiri tegak.
Di permukaannya…
ada bekas usapan bedak.
Bekas jari.
Bekas seseorang yang duduk lama di depannya.
Dan di bawah cermin, tergeletak setangkai melati segar bukan yang layu.
Seolah ada yang baru saja pergi.
Setelah Hari Itu…
Mbak Dar jatuh sakit berhari-hari. Demam. Mengigau. Setiap kali ia memejamkan mata, ia melihat Sumarsih duduk di kursinya, tersenyum dengan wajah pucat, bibir membiru… dan tangan dingin.
“Terima kasih, Mbak…
aku ingin cantik saat kau melihatku…
untuk terakhir kalinya…”
Cermin di rumah Mbak Dar ditutup kain putih selama berminggu-minggu.
Dan sampai hari ini, ia bersumpah tidak pernah ingin kembali ke Banjar Penepen.
Karena ia tahu:
yang ia rias hari itu bukan pengantin manusia.
Itu adalah arwah yang kembali untuk menuntaskan ‘janji hari bahagianya’.
Penulis : Ristanto | Editor : Ivan
Disclaimer: Tulisan ini bersifat fiktif dan terinspirasi dari cerita rakyat serta legenda urban di masyarakat. PRABA INSIGHT senantiasa menjunjung nilai jurnalistik berimbang dan menyajikan informasi yang dapat dipercaya.







