PRABA INSIGHT – Setiap tanggal 2 Mei, jagat media sosial dan dunia pendidikan Indonesia mendadak jadi lebih puitis.
Ucapan selamat Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) bertebaran, foto-foto siswa berseragam adat diunggah, dan pidato-pidato penuh semangat digaungkan.
Tapi, di balik semua itu, ada sejarah kelam yang jarang disorot, bahkan cenderung ditutup rapat.
Padahal, seperti kata Ki Hajar Dewantara sendiri, “Pendidikan itu menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada anak.” Maka, mari kita tuntun ingatan kolektif kita pada sejarah yang jarang dibicarakan.
Ki Hajar Dewantara: Bapak Pendidikan Nasional yang Pernah Diusir Belanda
Nama Ki Hajar Dewantara tentu tak asing. Ia adalah pencetus Hari Pendidikan Nasional, yang juga ditetapkan bertepatan dengan hari lahirnya: 2 Mei 1889.
Tapi siapa sangka, pria bernama asli Raden Mas Soewardi Soerjaningrat ini dulunya justru diasingkan oleh pemerintah kolonial karena tulisannya yang kritis.
Dalam sebuah artikel legendaris berjudul Als Ik Een Nederlander Was (Seandainya Aku Seorang Belanda), Soewardi dengan getir mengkritik kebijakan pemerintah kolonial yang merayakan kemerdekaannya di tanah jajahan.
Tulisannya begitu menohok hingga ia harus “liburan paksa” ke Belanda selama beberapa tahun.
Tapi, justru di sanalah ia belajar ilmu pendidikan dan merumuskan filosofi pendidikan yang kemudian jadi dasar berdirinya Taman Siswa sebuah gerakan pendidikan alternatif bagi rakyat jelata yang saat itu tak bisa mengakses sekolah kolonial.
Pendidikan Kolonial: Mesin Cetak Pegawai, Bukan Pemikir
Sebelum Taman Siswa berdiri, pendidikan di Indonesia adalah alat kekuasaan. Sekolah-sekolah seperti Europeesche Lagere School (ELS) dan Hollandsch-Inlandsche School (HIS) dibuat bukan untuk mencerdaskan bangsa, tapi untuk mencetak pegawai rendahan yang bisa melayani kepentingan pemerintah kolonial. Kurikulumnya menekankan kepatuhan, bukan keberanian berpikir.
Pendidikan bukan tempat anak-anak bertanya “mengapa”, tapi diajarkan untuk mengangguk tanpa tanya.
Bahkan dalam buku pelajaran, Belanda digambarkan sebagai penyelamat, bukan penjajah.
Narasi inilah yang dilawan oleh Ki Hajar Dewantara dan tokoh-tokoh pendidikan lainnya seperti Douwes Dekker dan Tjipto Mangunkusumo yang tergabung dalam Tiga Serangkai.
Warisan Kelam Itu Masih Ada?
Meski kita sudah merdeka lebih dari 79 tahun, jejak pendidikan kolonial ternyata belum sepenuhnya hilang. Sistem pendidikan kita masih sering mengutamakan nilai ujian daripada kemampuan berpikir kritis.
Kurikulum gonta-ganti seperti tren TikTok, sementara nasib guru honorer masih seperti subplot sedih dalam sinetron Ramadan.
Tak hanya itu, akses pendidikan juga masih jadi masalah besar. Di pelosok negeri, anak-anak masih harus berjalan berkilo-kilo meter untuk sekolah.
Di kota, anak-anak dituntut ikut les sejak TK agar bisa masuk SD favorit. Ini pendidikan atau kompetisi masuk surga?
Hari Pendidikan Nasional: Rayakan, Tapi Jangan Lupa Berkaca
Hari Pendidikan Nasional seharusnya bukan sekadar seremoni. Ia adalah momen reflektif untuk menengok kembali semangat asli Ki Hajar Dewantara: memerdekakan manusia lewat pendidikan. Bukan memenjarakan dalam angka, ranking, dan akreditasi.
Maka, saat kita mengunggah kutipan “Ing ngarso sung tulodo, ing madyo mangun karso, tut wuri handayani”, jangan cuma berhenti di caption Instagram.
Jadikan itu kompas dalam membangun pendidikan yang benar-benar membebaskan. Karena sejatinya, pendidikan adalah senjata paling ampuh untuk mengubah dunia asal tidak dilucuti oleh birokrasi dan kebijakan yang salah arah.
Penulis : Ivan