PRABA INSIGHT- Di dunia per-ojolan, ada satu pepatah yang sepertinya makin relevan: “Yang hemat siapa, yang melarat siapa.”
Beberapa hari terakhir, suasana makin panas. Bukan karena cuaca atau orderan sepi, tapi karena para pengemudi Grab ramai-ramai turun ke jalan. Mereka menggelar aksi protes bukan karena drama sinetron, tapi karena drama Grab Hemat, layanan baru yang katanya sih dirancang buat bantu konsumen di tengah ekonomi yang sedang nyungsep.
Masalahnya? Ya klasik. Tariiiiif.
Tarif Grab Hemat ini memang lebih miring. Tapi yang ikut “dimiringkan” ternyata bukan cuma harga, melainkan juga penghasilan driver. Para ojol bilang, tarif makin tipis, target makin tinggi, tapi tenaga tetap dari manusia, bukan AI.
Lelah jadi double. Insentif makin susah dicapai. Dan yang paling ironis: konsumen senang karena bayar lebih murah, tapi driver yang ngebut di jalanan justru makin megap-megap.
Menanggapi gejolak ini, pihak Grab nggak diam saja. Lewat pernyataan resmi, Tyas Widyastuti, sang Director Mobility & Logistics Grab Indonesia, menjelaskan:
“Grab Hemat merupakan layanan baru yang kami rancang untuk membantu masyarakat mendapatkan transportasi terjangkau di tengah kondisi ekonomi yang penuh tantangan. Kami memahami kekhawatiran mitra, dan kami sangat menghargai masukan mereka. Kami akan terus berdiskusi secara terbuka dan aktif dengan para mitra pengemudi untuk memastikan keberlangsungan dan keseimbangan ekosistem.”
Kalimatnya diplomatis, khas korporat. Kalem, sejuk, dan sarat janji-janji manis yang biasa muncul menjelang quarterly meeting.
Tapi buat para driver, “ekosistem berkelanjutan” itu artinya apa? Kalau tiap hari harus narik belasan orderan buat nutup bensin dan cicilan motor, itu bukan ekosistem. Itu marathon finansial.
Yang mereka mau: tarif yang fair, sistem yang nggak makan korban, dan perusahaan yang nggak cuma peduli rating aplikasi. Karena bagaimanapun, yang bikin aplikasi hidup itu bukan cuma algoritma, tapi manusia yang beneran hidup dari jalanan, bukan dari presentasi PowerPoint.
Jadi, kalau Grab masih mau “hemat”, semoga juga mulai “ingat”. Karena diskon buat pelanggan nggak seharusnya dibayar mahal oleh para driver.
Semoga aja, setelah ini, Grab nggak cuma kasih “jawaban”, tapi juga kasih “perubahan”. Soalnya, telinga boleh dua, tapi perut driver cuma satu. Dan sayangnya, itu nggak bisa diisi pakai apresiasi.