PRABA INSIGHT- Punya rumah sendiri di zaman sekarang? Buat sebagian orang, itu impian yang makin ke sini makin mirip mitos. Apalagi buat profesi wartawan yang kerjanya liputan ke sana-sini, tapi sering kali tinggal di kosan ukuran 3×3 yang bahkan colokan sama kasur aja harus gantian dipakai.
Tapi tenang, kabar gembira datang dari Kementerian PUPR. Lewat kerja sama dengan asosiasi wartawan, sebanyak 100 unit rumah subsidi disiapkan khusus buat para jurnalis yang belum punya hunian.
Program ini jadi bukti bahwa negara akhirnya ingat kalau wartawan juga manusia, bukan cuma mesin penulis berita.
Wartawan Juga Punya Hak Atas Atap
Selama ini, wartawan sering jadi saksi pembangunan proyek perumahan, dari rumah subsidi sampai apartemen mewah. Tapi sayangnya, mereka lebih sering cuma bisa menulis dan memotret bukan punya.
Nah, dengan program ini, wartawan yang selama ini cuma bisa ngeliput peresmian rumah, sekarang punya peluang buat berdiri di depan rumah sendiri, bukan rumah narasumber.
Lokasi rumah subsidi ini berada di Perumahan Samesta Sentraland, Tenjo, Kabupaten Bogor. Jangan salah dulu. Tenjo mungkin terdengar jauh di telinga anak Jakarta, tapi posisi perumahan ini strategis banget karena deket sama Stasiun KRL Tenjo.
Buat jurnalis yang kerja di Jakarta tapi nggak sanggup beli rumah di Depok, BSD, apalagi SCBD, ini pilihan paling realistis.
Perumahannya juga bukan asal bangun. Konsepnya transit oriented development (TOD), alias ngandelin kemudahan transportasi umum. Jadi kamu bisa ngirit bensin dan waktu tempuh, sekaligus ikut kampanye pengurangan emisi karbon. Ciee, wartawan ramah lingkungan.
Apa Saja Syaratnya?
Jangan takut, syaratnya masih manusiawi. Tapi tetap harus lengkap, biar nggak diserobot sama yang cuma ngaku-ngaku jurnalis tiap ada seminar gratisan:
1. Belum punya rumah sama sekali. Kalau udah punya rumah di nama istri, nama simpanan, atau atas nama mertua—tetap nggak bisa. Harus atas nama sendiri.
2. Gaji maksimal. Kalau kamu single dan penghasilanmu di bawah Rp6 juta per bulan, kamu eligible. Kalau sudah menikah, batasnya Rp 8 juta per bulan.
3. Punya NPWP dan KTP aktif. Bukan KTP expired yang tinggal difotokopi buat formalitas.
4. Bisa menunjukkan slip gaji, surat keterangan kerja dari media, dan rekening koran 3 bulan terakhir.
5. Terdaftar aktif di media resmi, baik cetak, online, maupun elektronik. Kalau cuma aktif di grup WhatsApp wartawan, maaf belum cukup.
Cara Daftarnya Gimana?
Proses pendaftaran bisa dilakukan melalui asosiasi profesi wartawan, seperti PWI (Persatuan Wartawan Indonesia), atau langsung ke pengembang yang ditunjuk, yakni PT Summarecon Agung Tbk. Kamu tinggal kumpulkan dokumen, isi formulir, dan ikut proses seleksi.
Oh iya, jangan kira karena ini rumah subsidi terus bangunannya abal-abal. Summarecon itu nama besar di dunia properti. Jadi meskipun harga subsidi, kualitasnya tetap diperhitungkan.
Ada dua tipe rumah yang ditawarkan: tipe 27/60 dan 30/60. Cukup buat keluarga kecil, atau minimal buat kamu dan rak buku penuh kliping liputan.
Kok Bisa Ada Program Kayak Gini?
Ini semua bagian dari inisiatif pemerintah buat meningkatkan akses perumahan bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR), termasuk jurnalis.
Menurut Direktur Jenderal Pembiayaan Infrastruktur Pekerjaan Umum dan Perumahan Kementerian PUPR, Herry Trisaputra Zuna, para wartawan berhak dapat fasilitas pembiayaan perumahan dari negara.
“Wartawan ini kan termasuk MBR juga. Jadi kita bantu lewat skema FLPP (Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan),” ujarnya.
Skema FLPP ini memungkinkan jurnalis mengakses KPR dengan bunga tetap 5 persen, tenor panjang sampai 20 tahun, dan cicilan yang bersahabat (mulai Rp900 ribuan per bulan). Mungkin ini satu-satunya hal yang tetap di tengah inflasi.
Akhirnya, Wartawan Bisa Nulis Berita Sambil Nyicil Rumah Sendiri
Selama ini banyak wartawan yang cuma bisa jadi pengamat—liput kenaikan harga properti, tapi gaji tetap stagnan. Lewat program ini, harapannya mereka bisa punya rumah sendiri, bukan cuma jadi tamu tetap di rumah indekos atau kontrakan tahunan.
Karena rumah bukan cuma bangunan, tapi tempat pulang. Tempat menulis ulang naskah berita sambil rebahan. Tempat meregangkan punggung setelah seharian liputan demo, seminar, atau acara pemotongan pita.
Dan yang paling penting: ini bentuk penghargaan nyata dari negara buat profesi yang kerja siang malam tapi kadang masih ditanya, “Emang wartawan bisa hidup dari nulis?”