PRABA INSIGHT – Panggilan dari Kejaksaan Agung seharusnya jadi prioritas. Tapi tidak bagi Jurist Tan, mantan staf khusus eks Mendikbudristek Nadiem Makarim, yang lagi-lagi mangkir dari panggilan penyidik Jampidsus.
Alasannya? Masih ada urusan keluarga. Kalau begitu, boleh dong kita tanya balik: laptop Rp 9,9 triliun itu urusan siapa?
“Hari ini sudah dijadwalkan pemeriksaan terhadap yang bersangkutan sebagai saksi berdasarkan surat kuasa hukumnya.
Tapi, sampai sekarang yang bersangkutan belum hadir,” ujar Kapuspenkum Kejagung, Harli Siregar, di Jakarta, Selasa (19/6), seperti dikutip dari Antara.
Jurist bukan dipanggil buat ngopi bareng jaksa, tapi untuk diperiksa sebagai saksi kasus dugaan korupsi pengadaan laptop Chromebook buat program digitalisasi pendidikan.
Proyek ini nilainya bukan recehan: Rp 9,9 triliun. Iya, triliun. Bukan juta, bukan miliar. Duit yang kalau dijadikan voucher Shopee bisa bikin flash sale tiap detik sampai tahun depan.
Siapakah Gerangan Jurist Tan?
Jurist Tan bukan orang baru di dunia startup. Ia disebut-sebut pernah ikut membidani lahirnya Gojek, dan punya gelar master kece dari Yale University.
Jadi, bukan sembarang orang. Tapi sayangnya, saat ini yang bersangkutan lebih sering jadi berita karena absen, bukan aksi.
Dalam kasus Chromebook ini, nama Jurist muncul barengan Fiona Handayani, sesama eks stafsus Kemendikbudristek.
Rumah mereka bahkan sudah digeledah penyidik Jampidsus pada 21 Mei lalu. Menurut Harli, mereka bukan cuma pelengkap penderita mereka punya peran penting dalam perkara ini.
“Dari informasi yang diperoleh penyidik, yang bersangkutan punya andil dalam kasus ini,” kata Harli, 28 Mei 2025.
Dari Kajian ke Kongkalikong?
Menurut penyidik, Jurist dan Fiona diduga membantu menyusun analisis yang membuat Chromebook jadi pemenang tender.
Padahal, ada kajian tahun 2018–2019 yang menyebut Chromebook nggak cocok buat Indonesia.
Kenapa? Karena internet di banyak daerah Indonesia masih kayak sinyal HP di toilet kadang ada, seringnya enggak.
Kajian itu justru menyarankan laptop berbasis Windows, yang bisa dipakai offline dan lebih fleksibel. Tapi entah kenapa, kajian itu belok arah.
Ujung-ujungnya, yang diadakan tetap Chromebook. Dan inilah yang bikin jaksa curiga: siapa yang belokin kajiannya?
Lebih janggal lagi, Chromebook itu sangat tergantung pada koneksi internet karena berbasis cloud computing.
Di negara yang internetnya belum merata, pakai Chromebook ibarat beli mobil listrik di kampung yang belum ada PLN.
Nadiem: “Bukan Ubah Kajian, Tapi Tujuan Kajian Beda”
Di sisi lain, Nadiem Makarim, sang eks menteri, membantah keras bahwa kajian diganti-ganti.
Menurutnya, kajian pertama memang fokus buat daerah 3T, sedangkan kajian kedua untuk daerah yang sudah punya infrastruktur internet yang bagus.
Jadi, katanya, bukan kajian yang diganti, tapi fokusnya yang beda.
Sayangnya, tetap saja publik kebingungan. Kalau memang ada dua kajian, kenapa yang direkomendasikan Chromebook, padahal kajian sebelumnya sudah menyebut itu tak cocok?
Dan pertanyaan paling penting: kenapa sampai sekarang orang-orang yang disebut dalam kasus ini masih sibuk urusan pribadi ketimbang urusan negara?
Dari Laptop Sekolah ke Drama Nasional
Kasus Chromebook ini bukan cuma soal perangkat teknologi, tapi juga soal akal-akalan birokrasi, manipulasi kajian, dan potensi kerugian negara yang jumlahnya bikin rakyat mengelus dada sambil lihat saldo e-wallet.
Saat publik berharap pendidikan makin digital dan canggih, yang terjadi justru program digitalisasi yang lebih mirip proyek pencitraan.
Laptop-nya mahal, tapi tidak bisa dipakai maksimal. Duitnya banyak, tapi manfaatnya minim.
Dan para aktornya? Masih bolak-balik mangkir. Dengan alasan yang semakin hari semakin absurd.
Penulis : Andi Ramadhan| Ivan