PRABA INSIGHT – JAKARTA – Kalau dulu ngurus SIM rasanya kayak ikut lomba lari estafet pindah-pindah loket, nunggu nomor antrean, plus bonus wajah bete di balik kaca loket sekarang urusannya beda. Terima kasih pada SuperApp Presisi, aplikasi yang bikin Polri tampil agak tech savvy. Dari SIM, SKCK, sampai laporan pengaduan, semua bisa lewat gawai. Tilang manual pun makin langka, diganti kamera ETLE yang sudah berjaga di 28 provinsi.
Data Kementerian PANRB mencatat, sampai Agustus 2025 sudah ada 8,2 juta orang yang aktif pakai aplikasi ini, dengan tingkat kepuasan 82 persen. Survei Litbang Kompas juga bilang, kepercayaan publik pada Polri naik jadi 73 persen. Lumayan, lima poin dari tahun lalu.
“Ini perkembangan yang positif. Polri kini semakin modern, transparan, dan dekat dengan masyarakat,” kata Haidar Alwi, analis politik dan hukum, dalam sebuah diskusi publik di Jakarta, Selasa (30/9/2025).
Dari Polri ke Kejaksaan: Plot Twist Reformasi
Haidar memang kasih jempol buat Polri, tapi ujung-ujungnya ia lempar sorotan ke kejaksaan. Alasannya? Sederhana tapi nyebelin: kewenangan ganda. Bayangin, satu lembaga bisa jadi penyidik sekaligus penuntut. “Polri sudah berbenah, tetapi kejaksaan masih menyisakan persoalan mendasar. Kewenangan ganda membuat proses hukum rentan tidak objektif,” ujar Haidar.
Contoh paling gampang: kasus Pertamina dengan kerugian negara sampai Rp 12 ribu triliun. Angkanya bikin kepala cenat-cenut, tapi hasil asset recovery? Minim. Dari sini Haidar nyindir, “loh, ada yang nggak beres nih.”
Belajar dari Luar Negeri
Menurut Haidar, sudah saatnya Indonesia mencontoh negara lain. Di Amerika Serikat, misalnya, FBI cuma nyidik, sementara Department of Justice yang nuntut. Gampang, jelas, dan—yang paling penting—tidak bikin benturan kepentingan. Beberapa negara Eropa juga pakai model serupa.
“Pemisahan fungsi penyidikan dan penuntutan menjadi kebutuhan mendesak untuk menjaga check and balance,” tegasnya.
Diskusi di Kafe, Bukan di Aula Serius
Pandangan Haidar ini ia sampaikan di forum diskusi bertajuk “Transformasi Polri dalam Perspektif Publik, Antara Prestasi Kapolri & Aspirasi Masyarakat Sipil” yang digelar Haidar Alwi Institut. Bukan di aula hotel bintang lima, melainkan di sebuah kafe di kawasan Jakarta Pusat. Jadi, lebih ngepop.
Yang hadir lumayan beragam: Komjen Pol (Purn) Anang Iskandar, Irjen Pol (Purn) Ronny F. Sompiri, Brigjen Pol (Purn) Adeni Muhan DP, akademisi Dr. Moh. Mansur, plus sejumlah aktivis muda.
Anang Iskandar menilai Polri memang sudah di jalur reformasi yang benar. Tapi ia kasih catatan: jangan berhenti di tengah jalan.
“Masyarakat menilai Polri dari pola besar penegakan hukum, bukan sekadar kasus per kasus,” ujarnya.
Diskusinya hidup. Aktivis muda nyuruh Polri lebih sering ngobrol sama masyarakat sipil, purnawirawan Polri cerita soal integritas di tengah tekanan politik, dan semua sepakat: reformasi ini jangan putus di tengah jalan.
Forum pun merekomendasikan beberapa hal: bikin ruang dialog rutin antara Polri dan publik, gaspol digitalisasi pelayanan, dan perkuat integritas dari atas sampai bawah.
Haidar menutup diskusi dengan kalimat yang cukup manis, meski agak klise:
“Polri akan kuat hanya jika mendapat kepercayaan rakyat. Itulah fondasi dari transformasi yang sejati,” katanya.
Dan di situ semua peserta mengangguk-angguk, mungkin sambil nunggu refill kopi. (Van)