OPINI :
Oleh Dinno Brasco
(Pengurus Pusat GP ANSOR & Cand. Magister Universitas Paramadina)
“They cannot represent themselves, They must be represented”
—Karl Marx,
The Eighteenth Brumaire of Louis Bonaparte
PRABA INSIGHT – Mohon izin ya Bang Haji, nyruput kopi sambil sharing sebuah kisah dan cerita.
Kisah tentang sejarah keren, aduhai, dan mantap. Perihal kisah
Hadratussyaikh K.H Hasyim Asy’ari, tentang Indonesia, tentunya tentang
kamu dan cinta Tanah Air, yaitu kisah anak bangsa memperingati Hari Santri
Nasional, 22 Oktober. Pernahkah Anda mendengar kisah Resolusi Jihad 1945
yang dimaklumatkan Hadratussyaikh? Pastinya pernah denger dong! Pendiri
NU dan tokoh bangsa yang menyelamatkan bayi Republik.
Saya mau cerita saat muda waktu sowan ke mabes PBNU, saat masuk ruangan
pribadi Gus Dur. Melihat sebuah lukisan yang luar biasa dan begitu inspiring.
Tertulis dalam lukisan, pahatan tulisan: Jejak-jejakmu merahimi kebangkitan.
Ya, tentang merahimi kebangkitan. Dirimu, diri kita memang harus bangkit
dari kebodohan menuju kearifan, hijrah dari keterpurukan menuju
kreativitas, dari pesimisme menuju optimisme. Indonesia yang gini-gini aja
menjadi maju, bangkit dan ngeri, tentunya dengan Visi Asta Cita sebagai
bintang penuntun. Katanya orang pinter, tentunya pejabat sih!Rakyat kita saat ini berjumlah lebih dari 270 juta. Bukan hanya kuantitas dan
jumlah, tapi kualitas, pikiran, dan inovasi. Seperti yang pernah disampaikan
aktor Bollywood bernama Amitabh Bachan mertuanya Aishwarya Rai
Bachchan dalam orasi film berjudul The Pad Man yang juga dibintangi Akhsay
Kumar. “Jumlah 1,5 milyar penduduk India adalah juga 1,5 milyar pikiran dan
inovasi,”begitu kata Om Bachan. Luar biasa!
Saat ini dengan perasaan haru-biru, kita mengenang Resolusi Jihad. 22
Oktober 1945 yang diserukan oleh Hadratussyaikh K.H Hasyim Asy’ari dan
barisan santrinya. Apalagi dioperasi oleh Trans TV yang ingin
‘menghancurkan nama Santri dan Kiai.’ Kan kakeane mereka, jamaah Si anak
Singkong.
Hadratussyaikh meminta rakyat dan santri untuk mempertahankan bayi
Republik ini menjadi contohnya yang paling membahana, kata putri Gus Dur,
Alissa Wahid. Akibatnya, 200 ribu rakyat dan santri gugur dalam jihad di
medan laga Surabaya, 10 November 1945. Namun, Republik ini terselamatkan
dari penjajah baru alias garong NICA yang kembali menancapkan kaki di bumi
Nusantara. Semua itu berkat perjuangan rakyat bersama santri-Kiai.
SENANDUNG PENJARAHAN
Kisah kita berawal ketika gerombolan manusia berekor dari dunia lain
menjajah manusia lainnya. Mereka ingin menguasai, memenuhi, menjarah
kembali dan menghancurkan penggalan surga di bumi. Sebelum itu terjadi,
para kiai dan santri bangkit bersaksi, berkorban untuk sebuah kemerdekaan
negeri, demi rakyat dan ilahi.
Dalam bahasa Bung Karno, mereka para penjajah tidak punya rezeki di
negaranya, akhirnya memetakan negara, bahkan dunia untuk dirampok dan
dijarah. Perjanjian Tordesillas adalah bukti nyatanya, membagi dunia hanya
milik Spanyol dan Portugis. Indonesia, Asia, Afrika, Timur-Tengah adalah
targetnya. Bener-bener parah mereka. Barbar soal harta dunia dan
menghabisi kemanusiaan, sebagai kini yang terjadi di Palestina yang
dilakukan serigala Israel.Begitulah yang terjadi pada sejarah bangsa kita dulu. Kisah fatwa Resolusi
Jihad 45 yang digerakkan oleh pendiri NU, yaitu Hadrattussyaikh adalah
untuk membela, mempertahankan bayi Republik. Sebuah perlawanan suci
melawan para penjarah bangsa. Ya, tentang Resolusi Jihad 45!
Bagaimanakah kita membayangkan rakyat Indonesia di Surabaya, 80 tahun
yang lalu, saat mereka menghadapi maut, dengan ketulusan tanpa pamrih,
membela Tanah Air-nya dengan berbekal hubbul wathan minal iman. Sebuah
negeri akan dimakmurkan dengan kecintaannya pada Tanah Air, umiratil
buldan bihubbil awthan, begitulah dawuh suami tercinta Sayyidah Fatimah Az
Zahra, putri tersayang Rasulullah Saw.
Ketika Mayor Jenderal R.C Mansergh, Panglima Tentara Darat Sekutu
mengancam, mengultimatum bangsa Indonesia serta pemimpinnya untuk
menyerah bersama seluruh persenjataannya, terjadilah pertempuran dahsyat,
tawuran massal di kota arek-arek Suroboyo. Santri dan rakyat melakukan
perlawanan sebagai reaksi atas ancaman gerombolan Inggris yang menghina
bangsa dan kemerdekaan Indonesia. Tak kurang dari 200 ribu lebih
‘gladiator-gladiator bangsa’ meninggal dan syahid. Merdeka atau Mati!
begitulah semboyannya. Sebuah pengorbanan tanpa pamrih, membela
martabat, harga diri, dan menyelamatkan bayi republik.
“Sejak Proklamasi 17 Agustus 1945, pondok pesantren menjadi markas-markas
Hizbullah-Sabilillah. Pengajian kitab-kitab telah berganti menjadi pengajian
tentang caranya menggunakan karaben, mortir, dan cara bertempur dalam
medan-medan pertempuran.” Kenang Kiai Saifuddin Zuhri dalam buku Guruku
Orang- Orang Pesantren.
Lihat saja, betapa pasukan gabungan Inggris yang baru saja memenangkan
Perang Dunia II mengalahkan geng militer Roberto (Roma, Berlin, Tokyo, dan
Nazi pimpinan Adolf Hitler). Dengan keahlian dan pengalaman perang,
bertempur, penuh dengan kelengkapan senjata, mereka kewalahan
menghadapi perlawanan santri dan rakyat. Kota Surabaya, bagi pasukan NICA
adalah neraka tergelap dalam hidupnya. Sekali dan selamanya, kami takkan
pernah lagi menginjakkan kaki di bumi Kanjeng Sunan Ampel dan waliyullah,demikianlah isi laporan dari dinas intelijennya. Mereka membawa kisah pilu
saat balik ke negaranya dengan seribu bara api, trauma di jiwanya.
Sejak saat itu hingga kini zaman digital, santri setia bersumpah memperingati
kepahlawanan, patriotisme dan berusaha mengambil hikmah dan teladan dari
sebuah pengorbanan. Tindakan besar dan pikiran selevel raksasa dalam hidup
mereka, mempertahankan kemerdekaan bayi Republik, membuat Indonesia
tetap ada untuk anak cucu dan semua anak bangsa hingga akhir masa.
TENTANG CINTA
Memikirkan itu semua, adalah sebuah kebahagiaan. Perubahan besar apakah
yang dilakukan santri? Mereka adalah didikan mulia Hadratussyaikh KH.
Hasyim Asy’ari, Kiai Wahab Chasbullah, Kiai Wahid Hasyim dan lainnya.
Percikan cahaya langit seperti apa yang mengubah santri yang katanya
“moderat dan kompromistis” menjadi gerakan revolusioner dan radikal,
menjebol tembok besar imperialisme. Sebagaimana kata sejarawan Thomas
Carlyle, ”And I said thegreat man always act like a thunder. He stormed the sky,
while other are waiting to be stormed.”
Tekad membela agama dan Tanah Air Indonesia yang dipicu oleh Resolusi
Jihad 1945, kemudian diperkuat lagi dengan Pidato Hadratussyaikh KH.
Hasyim Asy’ari, pada Pembukaan Muktamar NU ke-16 dan yang pertama
setelah perang, pada 26- 29 Maret 1946 di Purwokerto, “… Sesungguhnya
pendirian umat adalah bulat untuk mempertahankan kemerdekaan dan
membela kedaulatannya dengan segala kekuatan dan kesanggupan yang ada
pada mereka, tidak akan surut seujung rambut pun.”
Deklarasi Resolusi Jihad 21-22 Oktober 1945 merupakan kelanjutan gerakan
dari hasil pertemuan Bung Karno dengan Hadratussyaikh K.H Hasyim
Asy’ari. “Resolusi itu menunjukkan bahwa NU (Nahdlatul Ulama) mampu
menampilkan diri sebagai kekuatan radikal yang tak disangka-sangka dalam
sejarah,” kata Martin Van Bruinessen. Maka dari itu, berkobarlah Pidato Bung
Tomo di bumi Surabaya, “Dan kita akan memberikan tanda revolusi, merobek
usus setiap makhluk hidup yang berusaha menjajah kita kembali!” AllahuAkbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar! Santri dan rakyat bersatu takkan bisa
dikalahkan. Gerak melawan penjajah NICA adalah fardu ‘ain. Setiap nyawa
200.000 yang wafat, air mata yang tertumpah hanyalah cinta Indonesia, Tanah
Air dan tumpah darah kita.
Sebuah kisah negeri yang teraniaya, terjarah dan terjajah dari masa ke masa.
Do’a, dan cinta Hadratussyaikh terhadap bangsanya takkan pernah luntur dan
surut seujung rambut pun. Resolusi Jihad NU adalah jawabannya. Karena
perlawanan kepada penjajah dan penjarah bangsa adalah perintah agama.
Inilah yang membangkitkan nasionalisme rakyat dan ummat Islam Indonesia.
Semangat menjemput kematian, syahid dalam melawan penjajah, terpatri di
jiwa generasi terkini. Belajar dari generasi pendahulu, baginya kematian
adalah obyek kesadaran. Kematian membuat hati jadi lapang seperti manusia
shaleh dalam sejarah.
WHAT I’VE DONE?
Sedih juga, sekian lamanya perjuangan kiai dan santri tidak masuk buku
pelajaran sejarah. Bahkan, ngga’ ada dalam cerita level anak-anak TK/SD.
Bahkan tidak ada di materi kuliah mahasiswa. Tragis memang. Propaganda
hitam dan kesunyian perjuangan santri harus dikubur bersama waktu hingga
berakhirnya dunia. Monumental history, sebuah perjuangan kiai- santri harus
dihilangkan dalam peta bumi republik, layaknya usaha untuk membunuh
nyamuk menghabiskan energi kalau perlu dengan belati. Apalagi dengan
kelakuan jahat Trans TV yang jancuk !
Sungguh benar ucapan filsuf Socrates dalam buku berjudul Republic, sungguh
mendebarkan, bagaimana caranya membangun mentalitas para pengawal
negara,“….Tugas kita yang utama adalah mengawasi fabel dan legenda serta
menolak semua yang tidak memuaskan.” Demi mencetak karakter anak- anak
dan putra bangsa, “…Harus kita perintahkan seluruh ibu dan inang pengasuh
agar menceritakan dongeng-dongeng yang telah kita setujui saja.”Sekecil apa pun peristiwa hidup apalagi sejarah perjuangan kiai dan santri itu
wajib ditulis dan dikisahkan kepada anak cucu. Siapa yang dapat menulis
kisahnya sendiri, ia tidak akan lekang dan sirna di makan zaman dan cuaca.
Kisahnya terus abadi menjadi warisan berharga dan bintang penuntun bagi
generasi berikutnya yang mewarnai kehidupan bangsa, anak-cucu, murid dan
kader-kadernya. Maka dari itu, benar juga apa yang disampaikan filsuf Soren
Kierkegaard, “Seorang tiran mati dan kekuasaannya berakhir. Ketika sang
martir gugur ke bumi, kisahnya baru dimulai.” Inilah kisah Resolusi Jihad 45
yang baru saja diakui dan dimulai. Kisah santri baru dimulai Bang Haji !
Kenang-kenanglah, kiai dan santri pernah dijadikan target operasi sadis Orde
Baru pimpinan Jenderal Soeharto. Kiai dan santri yang turut mendirikan
Indonesia, disingkirkan atas nama ideologi pembangunan ala kapitalisme
global. Mungkin Trans TV terinspirasi.
History doesn’t repeat itself, but it sure does rhyme, sejarah tak mengulangi
dirinya, tapi sungguh ia punya pola yang sama. Karena sesungguhnya, seperti
sejarah, justru saat kekuatan lahiriah melemah, tumbuh kekuatan akbar dari
kuasa batiniah kiai-santri yang sekian lama ditindas oleh struktur jahat
kekuasaan.
Di masa kini, setiap tanggal 22 Oktober, semua anak negeri bersuka cita, hari
santri diperingati di segala penjuru negeri. Kaum santri bangkit bersaksi di
desa-desa dan kota-kota besar. Jejak-jejak pengorbanan kiai-santri dalam
sejarah, dalam keabadian, dalam kisah Indonesia, selamanya.
Perjuangan Hadratussyaikh dan santri kini diakui negara, mengakui identitas
dan perjuangannya. Tak aneh jika Pemerintah mengeluarkan Keppres No. 22
Tahun 2015 yang menetapkan tanggal 22 Oktober sebagai Hari Santri
Nasional. Keppres ini menjadi pengakuan sejarah atas komitmen kebangsaan
para santri mewakafkan hidupnya untuk mempertahankan dan mewujudkan
cita-cita kemerdekaan Indonesia.
Tahukan kita cita-cita bangsa? Tentunya tahu betul! Ngga’ banyak, hanya 4
(empat), yaitu melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah
darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupanbangsa, menjaga ketertiban dunia berdasarkan perdamaian dan keadilan
sosial. Apa bisa diwujudkan cita-cita tersebut? Hanya Presiden Prabowo dan
anak buahnya yang bisa menjawabnya. Tentunya dengan senjata rahasianya
yaitu secangkir kopi. “Pria harus ngopi,” katanya 08.
MASA LALU=MASA KINI
“Kemarin sudah berlalu, kawan. Sekarang, saatnya mengatakan hal-hal baru.”
Demikian dawuh Sang sufi maulana Jalaluddin Rumi untuk kita.
Kita pernah baca buku judulnya Mossad yang ditulis oleh Dennis Eisenberg,
dikatakan bahwa bangsa Yahudi Israel berpegang dalam ayat-ayat
pergerakan, “Akan tiba waktunya bagi suatu negara kecil yang berdaulat, yang
lapisan pertahanannya adalah pengetahuan.” Kalimat yang dibuat oleh Charles
Proteus Steinmetz, ilmuwan Yahudi kelahiran Jerman, sungguh mengilhami
seluruh rakyat Israel hingga detik ini bisa jadi negara kuat dan digdaya. Bisa
jadi dia adalah Nabi palsu, karena nubuatnya itu, dengan ketepatan dan
mengejutkan dunia Islam dan Barat. Israel yang kuat hanya bisa diatasi
mentalitas Iran, bukan mentalitas Korea ala Bambang Pacul.
Adalah nyonya Golda Mayer, mantan Perdana Menteri Israel pertama dalam
memoarnya berjudul Malice, bercerita fase penting kehidupannya. Perempuan
itu harus bekerja keras, bergerak selama 16 jam sehari. Demi cita-citanya,
perjuangannya, prinsipnya ia lalui demi mewujudkan negara Yahudi, Israel
Raya. Sukses bener, menjadi negara hebat di muka bumi, bersama Ben Gurion.
Katanya sih, padahal dibombardir pasukan Ayatullah Ali Khamenei, mereka
keok dan angkat tangan juga! Ampunnn!
Begitu juga dengan Menteri Pertahanannya yang legendaris, bermata satu,
Moses Dayan namanya. Di bukunya berjudul The Sword and Rule, ia berkisah
harus terbang dari daerah satu ke daerah lain, kota, negara satu ke negara
lain, pagi siang dan malam. Secara sembunyi-sembunyi, bawah tanah, ataupun
terang-terangan bergerak demi cita-citanya. Ia ingin membentuk dan
memperkuat negara Israel. Ia setia dengan pergerakannya sebagai bangsa
Yahudi.Sayang sekali memang, orang seperti mereka, justru lebih bisa menunjukkan
keuletan dan tekadnya seperti ini. Sebaliknya kita semua, justru jadi pemalas,
tidar-tidur. Kita semua terlena, lalai, kaum milenial dan sebagai kaum
Muslimin dan Muslimat yang sama sekali tidak pernah berbuat apa pun, meski
satu jam saja. Kita semua larut dalam main-main, makan, minum, tidur dan
menghabiskan waktunya dengan sia-sia, percuma. “Waktu adalah pedang,”
demikian Sayyidina Ali, menantu Sang Nabi bertutur kepada kita.
Kita bangsa Indonesia telah kalah dengan tekad dan cita-cita orang Yahudi
kulit putih Eropa. Belum lagi kita kalah dengan bangsa Cina, India, Barat,
Rusia, Latin, Turki, Korsel, Iran dan bangsa lainnya dari langkah progresivitas
sejarah, terutama bidang medis, sains, teknologi dan ekonomi. Bahkan,
dibilang oleh sebagaian orang sebagai bangsa gagal (the failed state). Itulah
tantangan terbesar dan terberat di masa kini, era baru digital.
Bagaimana Indonesia di tangan Mr. Prabowo? Akan maju atau mundur
Indonesia Bang?
SIAPAKAH SEBENARNYA SANTRI?
Ulama pinisepuh KH. A. Mustofa Bisri (2016) pernah menyampaikan, bahwa
santri adalah siapa pun yang berakhlak, tawadhu’ kepada Allah Swt, sesama
manusia, serta melihat Tanah Air sebagai rumahnya. Gus Mus sapaan akrab
K.H A. Mustofa Bisri mengartikan siapa pun yang berakhlak, rendah hati,
mengamalkan nilai-nilai agama Islam yang santun adalah santri. Menghormati
yang tua dan mengayomi yang muda. Pun santri adalah ia yang dalam jiwanya
paling dalam tertanam semangat nasionalisme. Mencintai Tanah Air yang
menjadi tempat ia lahir dan disemayamkan kelak.
Jelas dan terang benderang perjuangan santri dalam berbangsa-bernegara,
tidak dapat diragukan lagi. Santri tidak hanya sibuk mengaji ilmu agama, ilmu
akhirat, tetapi juga terlibat dalam perjuangan fisik, mengusir penjajah,
menghalau penjarah bangsa dan merumuskan dasar negara, Pancasila. Santri
pun konsisten mengamalkan nilai-nilai Pancasila secara murni dan
konsekuen, jadi working ideology.Santri mesti menjadi teladan dalam berlaku sejuk, damai dalam meniti
kebaikan. Berlaku adil, menjaga persatuan, ukhuwwah wathaniyyah,
ukhuwwah islamiyyah, dan ukhuwwah insaniyyah. Mampu bersaing dalam
berbagai disiplin ilmu modern. Santri harus memperkenalkan kepada dunia,
bahwa Pancasila tidak hanya diberlakukan sebagai haluan berbangsa-
bernegara, tetapi juga cahaya peradaban Indonesia untuk dunia. Santri jadi
pemersatu seluruh anak semua bangsa dari operasi siluman devide it impera.
Santri harus berkarya nyata menuju Indonesia Maju.
Di masa kini, terdapat 270.000 ribu lebih basis pesantren, yang harus
dikuatkan kembali di era kekinian. Karena pesantren adalah pembentuk
negara modern bernama nation state of Indonesia. Santri era kekinian harus
bertempur kembali menghadapi tantangan dan ancaman baru di tengah
raksasa-raksasa dunia baik dari Barat dan Timur. Belum lagi menghadapi
tantangan ekonomi umat dan krisis global. Bagaimana santri membangun
kemandirian dan berdikari menegakkan kepala dan bangsa di dalam
pergaulan dunia. Berat juga ya jadi santri! Yang pasti, santri di penjuru negeri
mesti berkarya, sebagai the inovator.
Misi santri masa kini seperti yang dilukiskan dalam metafora pakar sejarah
Arnold Toynbee,”Harus memberikan jawaban yang tetap pada tantangan yang
sudah berubah”. Makkk !
SANTRI SEDUNIA BERSATULAH!
Sahabat fillah dimana pun berada.
Di era digital ini, dunia pesantren sedang berada di antara patahan sejarah.
Santri kini bukan hanya penjaga tradisi, tetapi juga agen perubahan sosial,
teknologi, dan kemanusiaan. Mereka tidak cukup hanya ngaji kitab kuning,
tetapi juga perlu melek digital, memahami dinamika global, dan menjadi duta
Islam yang damai di dunia maya. Sebagaimana diungkapkan Gus Dur
(Abdurrahman Wahid) dalam bukunya “Islamku, Islam Anda, Islam Kita”,
santri adalah penjaga moral bangsa.Gus Dur menulis bahwa pesantren adalah benteng kebudayaan dan
kemanusiaan yang melahirkan generasi penuh kasih, bukan kebencian. Di
tengah dunia yang mudah terpecah oleh politik identitas dan hoaks digital,
semangat Gus Dur menjadi sangat relevan: santri harus hadir sebagai penebar
damai, bukan pemecah belah bangsa kayak Trans TV!
Nurcholish Madjid dalam karya monumentalnya “Islam, Kemodernan, dan
Keindonesiaan” menegaskan bahwa Islam adalah agama kemajuan, bukan
hambatan bagi modernitas. Baginya, santri sejati adalah mereka yang terbuka
pada ilmu pengetahuan dan rasionalitas, tanpa kehilangan spiritualitas. Di era
kecerdasan buatan (AI) dan inovasi teknologi, semangat ijtihad intelektual
Cak Nur menjadi inspirasi agar santri berani berpikir kritis, kreatif, dan
berwawasan global.
Buya Syafii Maarif dalam bukunya “Islam dalam Bingkai Ke-Indonesiaan dan
Kemanusiaan” mengingatkan bahwa kecerdasan moral jauh lebih penting
daripada sekadar kecerdasan intelektual. Buya percaya, santri harus menjadi
intellectual moral force — kekuatan moral yang membimbing arah bangsa.
Dalam konteks santri kekinian, itu berarti menjaga etika di ruang digital,
berani jujur, dan berpihak pada kemanusiaan, bukan pada kepentingan politik
sesaat.
Jalaluddin Rakhmat, dalam bukunya “Meraih Cinta Ilahi” dan “Psikologi
Agama”, menekankan pentingnya spiritual intelligence (kecerdasan spiritual).
Ia mengajarkan bahwa ilmu tanpa kasih sayang akan kering, dan dakwah
tanpa empati akan kehilangan makna. Santri masa kini harus menjaga
keseimbangan antara intelektualitas dan kelembutan hati. Dunia digital boleh
serba cepat, tapi nilai-nilai santri tetap harus berakar pada cinta, adab, dan
akhlak. Empati adalah kompas psikologi bagi santri.
Nilai-nilai dari keempat Maha guru bangsa ini, Gus Dur, Cak Nur, Buya Syafii,
dan Kang Jalal sesungguhnya merupakan jantung peradaban pesantren.
Mereka mengajarkan bahwa santri sejati adalah yang mampu memadukan
iman, ilmu, dan amal, serta menebar manfaat lintas batas. Kini, dengan
hadirnya media sosial dan teknologi, santri bisa menjangkau dunia tanpa
batas. Hari ini, panggilan itu terasa makin kuat: Santri sedunia, bersatulah!Satukan langkah untuk menghadapi tantangan zaman dari krisis global
sampai genosida Palestina, dari dunia maya hingga dunia nyata. Dunia sedang
menunggu wajah Islam yang teduh, cerdas, dan menyejukkan. Wajah santri
yang bersatu dalam cinta ilmu dan kemanusiaan.
Saat ini adalah era revolusi digital, era medsos, abad yang beda dengan abad
19, abad 20, sebuah abad yang dibanjiri informasi. Tapi minus empati dan
kasih sayang kepada sesama, sebuah abad kemarahan (the age of anger)
seperti yang dipaparkan Pankaj Misra, penulis hebat dari India. Francis Lim
dalam Filsafat Teknologi yang saya pahami, bahwa ada kecenderungan anarkis
manusia saat ini, tidak sadar, abai, tega banget, katakanlah sadis alias kejam
tentang hubungannya dengan manusia yang lain, alam, bahkan dengan
Pencipta Alam. Manusia sudah dikendalikan teknologi, bukannya
mempermudah hidupnya, mengendalikan teknologi. Parah!
Kemajuan teknologi digunakan untuk menaklukkan isi dan makhluk semesta,
perang dan propaganda demi kehendak kuasa, bukan menebar cinta kasih
Tuhan dan memperkuat Indonesia. Lapar akan kenikmatan dan silau dengan
pernak-pernik cahaya teknologi yang memukau iman serta imun. Semakin
cangih zaman, tapi pikiran makin sempit, semakin barbar manusia-manusia
Israel contohnya.
Tahu kan bro dan sista tantangan dan ancaman kita terkini di era baru digital?
Kata Jared Cohen dan Eric Schmidt dalam Era Baru Digital,”bagaimana
peluang teknologi dan konektivitas akan melawan kekejaman, penderitaan
dan kehancuran dunia kita. Hal terbaik yang bisa kita lakukan ialah
mendorong konektivitas dan peluang teknologi untuk kemakmuran ekonomi,
HAM, pendidikan, dan keadilan sosial.”
Dengan senjata dzikir, pikir, dan amal saleh, itulah warisan terbesarnya para
Nabi, para revolusioner sebagaimana Hadratussyaikh, dan para santri. Di era
kekinian, sudah waktunya kita terjun di tengah masyarakat, memberikan
kesadaran baru tentang Indonesia yang kita impikan bersama-sama. Kita
buktikan cinta dan empati kita pada sesama. Melepaskan orang dari beban
kehidupan yang mengimpitnya dan membebaskan orang dari belenggu-belenggu yang memasung kebebasannya. Singsingkan lengan bajumu para
penikmat Kopi!
Cinta Tanah Air adalah sebuah keimanan, akidah, dan jihad. Marilah kita
resapi syair Kiai Wahab Hasbullah agar tetap macho, keren, dan ganteng
maksimal berbuat untuk negara-bangsa. “Wahai bangsaku, wahai bangsaku,
cinta Tanah Air bagian dari iman. Jangan kalian jadi orang terjajah. Wahai
bangsaku yang berpikir jernih, dan halus perasaaan. Kobarkan semangat,
jangan jadi pembosan.”
Sebuah pesan untuk generasi milenial, gen-Z dan umat Islam Indonesia
terkini, untuk selalu mencintai negeri. Kita serap dan ambil berkah para kiai
dan santri yang pernah berjuang mati- matian demi sebuah negeri yang bisa
kita nikmati hari ini dan nanti. Untuk anak-cucu antum.
Senantiasa sayang, marilah kita semua belajar hidup dari Hadratussyaih KH.
Hasyim Asy’ari, jalan hidupnya hanya untuk to pave the road to Allah. Meraih
kemuliaan dan kejayaan sebagaimana orang-orang mulia dalam panggung
sejarah. Hadratussyaikh Sang Kiai yang harum nama besarnya, menjulang
tinggi di angkasa raya. Manusia hebat beneran! Yang namanya tak sekedar ada
di baliho dan spanduk acara-acara Bung !
Sudah 80 Tahun bangsa kita merdeka, negara gini-gini aja, bahkan kedodoran
hadapi tantangan dan ujian misalnya bagaimana hadapi wabah corona.
Lihatlah Korsel maju, Barat, China, Jepang, India, Turki juga turut meraih
kemajuan. Kita harus maju dalam sejarah masa kini dan masa depan. Sesekali
para penyelenggara negara, baca bukunya Fareed Zakaria perihal pengalaman
negara-negara melawan pandemi.
Sayangnya, pejabat negara hanya tahunya baca buku rekening saja. Tentunya
dengan kontemplasi dan perjuangan menghadapi tantangan abad 21, semua
anak bangsa gotong royong memajukan Indonesia. Pejabat model beginian,
dibuang ke laut aja Bang! Karena mereka jadi parasit negara, jadi jamur rakyat
kayak di film Korea. Manusia dicengkeram kerakusan, kata Bang Iwan Fals.AKHIRUL KALAM
Hadratussyaikh adalah seorang ulama peduli umat dan bangsa serta
mempunyai pemikiran-pemikiran moderat. Artinya, sebagai ulama ia pasti
mempunyai umat yang harus diperhatikan dan diarahkan ke tujuan yang
seimbang atau moderat. Dan sebagai seorang yang dilahirkan di negeri ini, ia
mempunyai keinginan kuat untuk memperjuangkan cita-cita bangsa.
Kita semua wajib bersaksi, Hadratussyaikh, kiai, santri, dan pejuang negeri
yang turut menggerakkan Resolusi Jihad 45 bisa disimpulkan dengan tiga
kata, “Ia lahir, berjuang, dan syahid.” Bahwa the great man, manusia besar
selalu seperti halilintar yang membelah langit, dan manusia yang lain hanya
menunggu dia seperti kayu bakar.
Hadratussyaikh adalah sebuah contoh utama, teladan mulia di bumi pertiwi.
“Siapa yang melihat pada cermin sejarah, membuka lembaran yang tidak
sedikit dari ihwal bangsa-bangsa dan pasang surut zaman serta apa yang
terjadi pada mereka. Hingga saat-saat kepunahannya akan mengetahui bahwa
kejayaaan yang menggelimangi mereka, kebanggaan yang mereka sandang.
Dan kemuliaan menjadi perhiasan mereka. Tidak lain adalah berkat apa yang
secara kukuh mereka pegangi, yaitu mereka bersatu dalam cita-cita, seiya-
sekata, searah setujuan, dan pikiran mereka seiring,” demikian dawuhnya.
Bangsa yang keren dan top markotop adalah bangsa yang mampu bersatu
padu mengayomi ribuan keragaman suku, budaya, etnik dan agama.
Hadratussyaikh K.H Hasyim Asy’ari telah mengajarkan kita bagaimana
melawan, walaupun mereka gajah, sedangkan kita hanya semut. Kita lawan
mereka dengan cara kita. Bahkan, bagaimana kancil menghadapi serigala,
semua sudah diajarkan tetua para kiai dan santri di masa penjajahan. Semua
tergantung diri kita saat ini. Jejak-jejakmu merahimi kebangkitan.
Selamat Hari Santri nasional, sebagaimana ucapan Karl Marx, dalam karya
pembuka Edward W. Said, Orientalism,
”They cannot represent themselves, they
must be represented.” Saatnya santri mempresentasikan diri mereka sendiri,
yang selama ini dipresentasikan orang lain dengan cara yang kurang tepat dan
tidak jelas. Santri tetap mencintai negeri, menggapai ridha ilahi. Karena santriadalah kita, untuk Indonesia. Saatnya santri berkarya kembali di era kekinian.
Negeri tercinta ini wajib kita warnai dengan passion, bakat, skill, inovasi,
kreativitas, dan cinta kita memajukan negara dan menjaga kemanusiaan.
Santri adalah kita, bangkit memajukan dan mencerahkan bangsa yang saat ini
dilanda wabah. Seperti maunya grup band Korea Blackpink: Light up the sky,
tentunya langit cerah Indonesia. Ngeri !
Akhirnya, saya tutup dengan puisi indah dari sang penyair celurit emas, Kiai
Zamawi Imron judulnya Tanah Air Sajadah: Karena Tanah Air adalah ibunda
kita/Siapa mencintainya jangan menodainya dengan dosa/Siapa
menghormatinya jangan mengotorinya dengan darah/Tanah Air adalah
sajadah/Tempat bersujud mengagungkan Allah.
Di zaman now, marilah kita kenang, walaupun dengan deg-degan, dengan
setia kobarkan apa yang dikatakan Ayahandanya Gus Dur, Kiai Wahid
Hasyim,”Membaca sejarah itu penting, tetapi membuat sejarah itu lebih
penting.”Cinta Tanah Air adalah bagian dari Iman. Yuk, lanjutkan Resolusi
Jihad 45, perjuangan Hadratussyaikh KH. Hasyim Asy’ari dan santri, barisan
mujahidnya di zaman kekinian. Rabbi fanfa’na bibarkatihim wahdinal husna
bihurmatihim
Sruputan Secangkir kopi senja hari ini terasa agak beda,
ternyata lupa karena belum lantunkan Al-fatihah kepada Sang cinta.