PRABA INSIGHT – JAKARTA – Kalau ada yang mengira kerja memeriksa laporan pelanggaran HAM itu cuma duduk manis membaca dokumen sambil menyeruput kopi, Andreas Harsono dengan halus akan membantah. Dalam keterangannya (1/12), penulis sekaligus pegiat HAM ini menjelaskan bahwa dunia verifikasi itu jauh lebih ribet daripada menebak alur sinetron.
Buat Andreas, akurasi itu hukum alam. Sebelum sebuah laporan diumumkan ke publik, semuanya harus diverifikasi, diplester, dan dijahit rapi. Prinsip pertama yang mereka pakai: cover both sides. Sayangnya, kenyataan di lapangan kadang tidak seindah brosur kampanye. Dua pihak bisa memberikan keterangan yang saling bantah-bantahan seperti kusir debat di kolom komentar.
“Metode Human Rights Watch mewajibkan kami harus datang ke lapangan serta lakukan verifikasi kepada para korban, mencari dokumen, dan seterusnya,” ujar Andreas. Intinya: tak ada laporan yang lahir dari rebahan.
Pelanggaran HAM vs Kejahatan Sipil: Jangan Salah Kamar
Andreas kemudian meluruskan satu kesalahpahaman yang sering muncul: mengira semua tindakan kekerasan otomatis masuk kategori pelanggaran HAM. Padahal tidak semudah itu, Ferguso.
“Pelanggaran hak asasi manusia adalah kriminalitas yang dilakukan oleh aparat negara. Bila kejahatan dilakukan oleh kelompok sipil maka ia adalah kejahatan biasa. Ia adalah tugas polisi buat mencari bukti, mendakwa mereka, serta diputuskan di pengadilan. Dua isu ini adalah dua bidang yang berbeda,” katanya.
Intinya: jangan salah kotak. Kejahatan sipil masuk ranah kepolisian, pelanggaran HAM adalah urusan negara mempertanggungjawabkan tindakannya.
Standar Internasional: Bukan Pesanan Negara Tertentu
Ditanya soal penggunaan standar hukum internasional, Andreas menampik anggapan bahwa lembaga HAM internasional itu cuma kepanjangan tangan negara tertentu. “Rujukan yang kami pakai adalah hukum internasional buatan Perserikatan Bangsa-bangsa. Artinya, ia juga mengikutkan semua negara lewat konsultasi dan rapat,” ucapnya.
Jadi, bukan standar bikinan dapur politik satu negara saja melainkan kulkas besar yang disepakati 197 negara dan teritori. Sebuah resep global yang seharusnya cukup layak dipercaya.
Kalau Salah, Ya Ralat: Tidak Drama
Soal risiko data keliru, Andreas menjawab dengan sederhana: ralat itu hal biasa. Tidak perlu baper apalagi bikin sinetron.
“Ralat adalah praktek yang biasa dalam jurnalisme. Bila salah harus ralat. Makin lama ralat dilakukan makin besar dampaknya pada reputasi organisasi kami. Minta maaf adalah bagian mendasar dalam jurnalisme,” ujarnya.
Di dunia HAM, ketepatan dan kejujuran justru jadi penopang. Salah? Akui. Benar? Pertahankan. Sesuai dengan prinsip hidup yang sering gagal kita terapkan dalam percintaan.
Laporan HAM Digunakan Banyak Pihak: Hal yang Tak Bisa Dikontrol
Andreas juga mengingatkan bahwa laporan HAM itu ibarat buku panduan yang terbuka untuk siapa saja. Mau dipakai aktivis? Silakan. Aparat hukum? Monggo. Wartawan? Sudah biasa.
“Laporan Human Rights Watch sering dipakai oleh banyak pihak, sesuatu yang lazim, dari masyarakat sipil sampai aparat hukum, dari media sampai masyarakat adat,” kata Andreas.
Soal dipakai untuk tujuan apa, ya itu urusan masing-masing pengguna. Tugas penyusunnya hanya memastikan data, proses, dan metodologinya tidak melenceng.
Dengan penjelasan tersebut, Andreas menegaskan kembali tiga hal yang sering dianggap remeh: objektivitas, disiplin verifikasi, dan standar internasional. Tiga hal yang menjadi fondasi utama dalam kerja advokasi HAM sebuah pekerjaan yang ternyata jauh dari sekadar menulis laporan, dan lebih mirip perjalanan panjang mencari kebenaran yang tidak gampang digoyang politisasi. (Van)







