KOLOM ANGKER – Malam itu hujan menetes pelan, seperti jarum-jarum dingin yang menusuk kulit. Lampu jalan di pinggiran kota berkelip redup, seperti hampir padam, seolah enggan menerangi malam.
Andre berdiri sendirian di halte kecil, tubuhnya letih usai lembur. Waktu sudah menunjukkan pukul 11.45 malam. Ia tahu, bis terakhir jurusan Jogja–Semarang biasanya lewat tepat tengah malam.
“Jangan sampai ketinggalan…” gumamnya, menarik jaket tipis yang basah kuyup.
Tiba-tiba, dari kejauhan, terdengar suara ban berdecit panjang. Dua cahaya bulat menembus gelap, mendekat perlahan. Sebuah bis tua berhenti tepat di depannya. Catnya kusam, jendela penuh embun kotor, dan yang paling aneh… papan jurusan di depannya kosong.
Seorang kernet tua menunduk membuka pintu. Suaranya parau, serak seperti dari tenggorokan berdebu.
“Semarang… Semarang…”
Andre menghela napas lega. Tanpa curiga, ia melangkah masuk.
Begitu kaki menapaki lantai bis, hawa dingin menusuk tulangnya. Bukan dingin AC, melainkan dingin lembap seperti masuk ke dalam liang. Kursi-kursi tampak penuh, penumpangnya duduk diam membisu, wajah mereka buram tak jelas.
Andre duduk di kursi tengah. Di sampingnya, seorang ibu menggendong anak kecil. Wajah anak itu pucat pasi, matanya kosong menatap lurus ke depan, tanpa kedipan.
Bis melaju perlahan. Namun jalanan terasa berbeda. Biasanya ramai truk malam, kini sunyi, hanya hitam pekat membentang.
Andre mencoba menyalakan ponselnya, tapi layar langsung mati. Padahal tadi baterai masih empat puluh persen.
Setengah jam berlalu. Tak ada pom bensin, tak ada warung, hanya hutan gelap tak berujung. Andre mulai resah. Ia melangkah ke depan, bertanya pada kernet yang duduk kaku di dekat pintu.
“Mas, ini jalurnya lewat mana? Kok sepi sekali…”
Kernet menoleh perlahan. Senyumnya dingin. Bibirnya pucat membiru, giginya hitam keropos.
“Tenang… sebentar lagi sampai.”
Bulu kuduk Andre meremang. Ia kembali menoleh ke samping. Kursi ibu dan anak itu… kosong. Bahkan seluruh kursi kosong.
Padahal tadi jelas penuh penumpang.
Degup jantungnya menggila. Telapak tangannya dingin. Dari arah belakang, terdengar suara samar—tangisan lirih, tawa cekikikan, dan bisikan berulang memanggil namanya.
“Andreeee… ikut… ikut…”
Ia menoleh. Kursi paling belakang bergetar hebat, seakan ada sesuatu merangkak dari bawahnya. Lalu muncul kepala seorang pria. Rambutnya panjang basah, wajahnya hancur berlumuran darah, matanya melotot keluar.
Andre terlonjak berdiri.
“Astagfirullahaladzim!!!”
Sekejap, bis berhenti mendadak. Lampu padam. Gelap gulita.
Ketika lampu menyala lagi, semua kursi kembali terisi penuh. Tapi kali ini wajah-wajah itu terlihat jelas.
Ada penumpang tubuhnya gosong hangus, wanita bergaun merah dengan wajah berlumur darah, lelaki tanpa kepala duduk tegak di kursi depan. Semua menoleh ke arah Andre.
Serentak… mereka tersenyum.
Kernet berdiri, suaranya berat bergema seperti dari perut bumi.
“Penumpang baru… sudah tiba.”
Dari arah depan, sopir bis menoleh. Wajahnya bukan manusia, melainkan tengkorak kering dengan mata kosong menyala merah.
Bis kembali melaju. Tapi jalannya bukan lagi aspal. Itu lorong panjang berkabut, dindingnya dipenuhi tangan-tangan hitam yang meraih, mencoba menyeret Andre keluar dari kursinya.
Andre gemetar hebat. Nafasnya tersengal.
“Ya Allah… aku salah naik bis apa ini…”
Dalam ketakutan, bibirnya refleks melafalkan ayat Kursi—doa yang diajarkan ibunya sejak kecil. Suaranya lirih, namun bergetar penuh keyakinan.
Seketika, penumpang-penumpang itu menjerit melengking. Tubuh mereka mengepul asap, satu per satu menghilang. Sopir tengkorak meraung, bis bergetar liar. Andre terhuyung, berlari ke pintu.
Pintu terbuka sendiri. Angin malam menghempas keras. Tanpa pikir panjang, Andre melompat.
Gelap.
Fajar Menyingsing
Andre terbangun di pinggir jalan. Tubuhnya penuh luka, pakaiannya kotor bercampur lumpur. Jam menunjukkan pukul 05.30 pagi.
Ia mendapati dirinya kembali di dekat halte tempat ia naik semalam. Namun di samping halte itu, berdiri bangkai bis tua, berkarat, dengan papan nama “Semarang”. Warga sekitar bercerita, bis itu sudah hancur jatuh ke jurang dua puluh tahun lalu, menewaskan semua penumpangnya.
Sejak itu, kadang… bis itu muncul kembali, menjemput orang-orang yang tak tahu.
Andre terduduk, menangis, sujud di tanah. Ia sadar, malam tadi nyawanya hampir tergadai. Jika ia tak melompat, mungkin kini ia sudah duduk bersama penumpang abadi, tersenyum di kursi bis kematian.
Pesan
Hati-hati ketika menunggu kendaraan larut malam. Tak semua bis menuju terminal. Ada yang menuju tempat terakhir… liang lahat.
Penulis : Ris Tanto