Menu

Mode Gelap
Thee Marloes Rilis “Harap dan Ragu”: Lagu Baru Buat Kamu yang Sering Dipukul Kenyataan Waktu KPU Bilang Semua Dokumen Capres Terbuka, Tapi Arsip Jokowi Masih Dicari HAT 190 Tahun di IKN Dibatalkan MK, Ternyata Begini Nasib Tanah dan Investasi 20 November, Istana Siap-siap Digruduk Ojol & Kurol! Empat Tuntutan FDTOI Ini Bukan Main-Main Polemik Nasab Bani Alawi: Haidar Alwi Minta Publik Kembali ke Ilmu, Bukan Emosi Forum Pemerhati Bangsa: Ketika Pancasila Jadi Slogan, Radikalisme Pun Ikut Pamer Eksistensi

News

Edward Sitorus dan Kritik Lembut nan Pedas untuk Program Populis Pemerintah

badge-check


					CEO Batavia International Edward Sitorus di Jakarta, Kamis (9/10/2025), menyoroti efektivitas program Makan Bergizi Gratis (MBG) (Foto: Istimewa) Perbesar

CEO Batavia International Edward Sitorus di Jakarta, Kamis (9/10/2025), menyoroti efektivitas program Makan Bergizi Gratis (MBG) (Foto: Istimewa)

PRABA INSIGHT – Jakarta — Kalau politik adalah panggung, maka janji populis sering kali jadi sorotan lampu paling terang. Tapi, di tengah gegap gempita program pemerintah yang katanya “pro-rakyat”, CEO Batavia International, Edward Sitorus, muncul membawa satu pertanyaan sederhana tapi menohok: “Benarkah rakyat kecil benar-benar merasakan hasilnya?”

Dalam pernyataannya di Jakarta, Kamis (9/10), Edward tidak sedang berusaha jadi oposisi, apalagi cari sensasi. Ia hanya melakukan hal yang seharusnya: bicara jujur. “Program makan siang gratis dan janji-janji populis lain belum benar-benar dirasakan merata. Jangan sampai kebijakan ini hanya jadi simbol politik tanpa manfaat konkret bagi rakyat kecil,” ujarnya.

Nah, ini bagian yang menarik. Kita semua tahu, Program Makan Bergizi Gratis (MBG) belakangan jadi semacam ikon—semangat baru pemerintahan untuk memastikan anak-anak bangsa tumbuh sehat dan cerdas. Tapi, kata Edward, ikon saja tidak cukup. “Setiap kebijakan harus punya arah dan dampak nyata,” katanya menambahkan.

Disiplin Anggaran, Jangan Cuma di PowerPoint

Edward juga menyoroti hal yang sering kita dengar tapi jarang kita lihat hasilnya: disiplin anggaran. Menurutnya, utang boleh naik, tapi harus jelas peruntukannya. Jangan sampai rakyat yang disuruh “ngencengin ikat pinggang” malah bingung uangnya lari ke mana.

“Setiap rupiah yang dibelanjakan harus punya arah dan dampak nyata. Transparansi fiskal bukan pilihan, tapi keharusan,” tegas Edward.

Dan di sini kita mungkin spontan tepuk tangan karena siapa pun pasti setuju, negara besar bukan diukur dari seberapa banyak proyeknya, tapi seberapa jujur cara menjalankannya.

Koordinasi Pemerintah: Jangan Seperti Grup WhatsApp yang Sepi Admin

Masalah berikutnya, menurut Edward, ada pada koordinasi antar lembaga. Ia menilai banyak program yang jalan sendiri-sendiri, seolah tiap kementerian punya “semesta paralel” sendiri. “Visi pembangunan harus satu arah. Tanpa koordinasi yang kuat, kebijakan mudah tumpang tindih dan tidak efektif,” ujarnya.

Kalimatnya sederhana, tapi menyentil. Karena memang, tanpa koordinasi yang rapi, kebijakan sebaik apa pun bisa berakhir seperti rencana reuni sekolah: ramai di grup, tapi sepi di hari-H.

Demokrasi Jangan Cuma Jadi Pajangan

Edward juga menyinggung hal yang agak “sensitif”—soal ruang demokrasi yang makin sempit. Ia bilang, kritik publik seharusnya dipandang sebagai vitamin, bukan racun.

“Kritik itu vitamin bagi demokrasi, bukan ancaman. Pemerintah harus membuka ruang dialog, bukan menutupnya,” katanya.

Pernyataan yang rasanya makin langka di tengah zaman ketika komentar kritis kadang lebih cepat dihapus daripada ditanggapi.

Kembali pada Rasionalitas Publik

Menutup pernyataannya, Edward tidak sedang menghakimi, tapi mengingatkan. Ia bilang, bangsa yang kuat bukan yang menolak kritik, tapi yang mampu menimbangnya dengan kepala dingin.

“Kebijakan publik harus berbasis data dan manfaat, bukan sekadar popularitas. Indonesia tidak boleh kehilangan rasionalitas di tengah hiruk-pikuk politik,” tutupnya.

Dan di situ letak poin utamanya: pemerintah boleh populis, tapi harus tetap rasional. Karena rakyat tidak hidup dari narasi, melainkan dari nasi—dan kalau bisa, nasi bergizi gratis yang benar-benar sampai ke meja mereka. (Van)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Baca Lainnya

KPU Bilang Semua Dokumen Capres Terbuka, Tapi Arsip Jokowi Masih Dicari

18 November 2025 - 12:02 WIB

HAT 190 Tahun di IKN Dibatalkan MK, Ternyata Begini Nasib Tanah dan Investasi

18 November 2025 - 11:53 WIB

20 November, Istana Siap-siap Digruduk Ojol & Kurol! Empat Tuntutan FDTOI Ini Bukan Main-Main

18 November 2025 - 08:11 WIB

Forum Pemerhati Bangsa: Ketika Pancasila Jadi Slogan, Radikalisme Pun Ikut Pamer Eksistensi

16 November 2025 - 12:01 WIB

Haidar Alwi: “Jika Negara Ingin Dihormati, Berdirilah Bersama Pekerja”

13 November 2025 - 15:11 WIB

Trending di News