PRABA INSIGHT- Kabar mengejutkan datang dari Washington, D.C. Sabtu (15/3/2025), Voice of America (VOA) resmi menutup pintu operasionalnya. Lembaga penyiaran yang selama delapan dekade jadi “jendela Amerika” ke dunia ini bubar jalan.
Tak ada seremoni. Tak ada pidato perpisahan. Yang ada hanya surat pemutusan kerja yang mendarat di meja karyawan, dari reporter, editor, sampai manajer senior. Semua diberi waktu cuma 60 menit untuk mengosongkan meja kerja lebih cepat dari waktu promo diskon online yang sering bikin orang panik checkout.
Jurnalis VOA, Eva Mazrieva, mengunggah suasana haru itu lewat video singkat. Para pegawai tampak buru-buru memasukkan dokumen, foto keluarga, dan mug favorit ke dalam kardus. “Setelah 157 hari dirumahkan, hari ini kami diberi waktu satu jam untuk mengambil barang. End of Us? #savevoa,” tulis Eva.
Dampaknya tak main-main: sekitar 1.300 orang kehilangan pekerjaan, termasuk 1.000 jurnalis. Untuk pertama kalinya sejak 1942, dunia harus menerima kenyataan bahwa VOA tidak lagi bersiaran.
Dari Radio Perang Dunia ke Layar Kosong
VOA lahir pada masa Perang Dunia II, tumbuh menjadi corong resmi Amerika Serikat di era Perang Dingin, dan sempat dianggap simbol kebebasan pers oleh sebagian negara berkembang. Kini, semuanya berakhir begitu saja, dalam waktu hanya sejam.
Banyak yang menyebut tutupnya VOA sebagai akhir sebuah era: era ketika informasi dari radio berlogo elang itu dianggap “suara otoritatif” tentang dunia. Pertanyaannya sekarang, siapa yang akan mengisi kekosongan ruang itu?
Apakah BBC, Al Jazeera, atau justru media sosial yang sudah lebih dulu jadi medan tempur informasi?
Yang jelas, untuk para mantan pegawai VOA, kenangan tentang 80 tahun siaran harus muat dalam satu kardus.