PRABA INSIGHT- JAKARTA- Halaman depan Gedung DPR RI kembali penuh sesak. Massa aksi datang dengan semangat tinggi, membawa toa, spanduk, dan orasi yang kadang lebih panas dari cuaca Jakarta siang bolong.
Di tengah sorotan kamera dan riuh rendah teriakan demonstran, muncul suara tenang dari Nurul Arifin, anggota Komisi I DPR RI Fraksi Golkar. Pesannya sederhana, tapi sarat makna: demo boleh, tapi jangan bikin rusuh.
“Saya berharap semoga demo ini bisa berjalan dengan baik, tidak destruktif, tapi kondusif. Ketika menyalurkan aspirasi, kita juga perlu mikir kepentingan masyarakat yang lain,” kata Nurul di Kompleks Parlemen, (25/08)
Antara Hak Demokrasi dan Gedung yang Jadi Simbol
Demo adalah hak rakyat. Itu kalimat yang selalu muncul di buku-buku pendidikan kewarganegaraan. Tapi di lapangan, sering kali hak itu berbenturan dengan pagar kawat berduri dan aparat yang berjaga. Nurul menegaskan DPR bukan menutup telinga terhadap suara rakyat. Aspirasi, katanya, tetap akan mereka perjuangkan.
“Semoga kami bisa bekerja lebih baik sesuai keinginan masyarakat. Saya pribadi sudah menyampaikan kepada teman-teman untuk lebih bicara kepada nurani, karena kondisi sekarang sedang tidak biasa-biasa saja,” ujarnya.
Pernyataan Nurul terasa seperti pengingat: rakyat boleh marah, boleh teriak, boleh mengibarkan spanduk besar, tapi jangan sampai kaca gedung DPR yang pecah ikut jadi simbol “aspirasi”. Sebab, biasanya kaca bisa cepat diganti, tapi luka sosial dan politik yang melatarbelakangi demo jauh lebih susah diperbaiki.
Demo Itu Bahasa Politik Rakyat
Kalau mau jujur, demo di depan DPR sudah jadi semacam ritual politik di Indonesia. Setiap kali rakyat merasa suara mereka tak sampai, jalan tercepatnya adalah turun ke jalan. Poster-poster sindiran dan orasi keras pun jadi bahasa komunikasi yang paling efektif, meski sering bikin macet dan bikin warga lain mengeluh.
Nurul tampaknya paham hal itu. Karena itu, ia berusaha menjaga dua sisi: memberi ruang untuk rakyat menyuarakan pendapat, sekaligus mengingatkan agar demo tidak berakhir dengan kerusakan.
“Semoga semuanya bisa berjalan damai. Aspirasinya harus kami dengar dan akan kami perjuangkan,” kata Nurul lagi.
Antara Janji dan Kenyataan
Masalahnya, publik sering kali skeptis. Kata “akan diperjuangkan” sudah terlalu sering terdengar, sampai-sampai jadi seperti backsound wajib setiap kali ada demo. Rakyat menunggu bukti nyata, bukan sekadar pernyataan manis yang kadang lebih enak didengar ketimbang kenyataan lapangan.
Di sinilah posisi Nurul jadi menarik. Ia tak hanya minta rakyat menjaga ketertiban, tapi juga menegaskan bahwa DPR punya kewajiban moral untuk mendengar suara rakyat. Bukan sekadar formalitas. (Van)