PRABA INSIGHT- Malam itu, Kamis (13 Februari 2025), Aipda Abdul Rahman tidak sedang menonton sinetron bersama keluarga.
Ia malah berada di atas motor dinasnya, menyusuri jalanan Medan Marelan, mengantongi surat perintah tugas dari Kapolsek. Tugasnya malam itu: menghalau tawuran.
Tapi siapa sangka, tugas negara yang ia emban selama 32 tahun sebagai anggota Polri justru berakhir dengan tragedi. Bola mata kanannya pecah dihantam batu.
Bukan karena kecelakaan, bukan juga karena tembakan penjahat kelas kakap. Tapi karena sekelompok remaja yang tawuran di jalan Young Panah Hijau, Medan Marelan.
Ya, di tanah yang katanya menjunjung nilai gotong royong, justru Aipda Abdul Rahman mendapat hadiah batu di wajahnya ketika mencoba mendamaikan anak-anak kampung yang seharusnya sedang sibuk menabung buat masa depan.
Dari Brimob ke Bhabinkamtibmas, Lalu ke Ruang Operasi
Sejak 1993, Aipda Abdul Rahman sudah mengenal disiplin barak. Ditempa di satuan Brimob, ia kemudian bertugas sebagai Bhabinkamtibmas di Desa Pematang Johar, Polsek Medan Labuhan, di bawah jajaran Polres Pelabuhan Belawan. Kariernya sunyi dari sensasi, tapi tidak dari pengabdian.
Tragisnya, malam itu ia justru jadi korban saat sedang mencegah bentrok antar remaja dua kelurahan: Pekan Labuhan dan Labuhan Deli.
Sesampainya di lokasi, ia bahkan belum sempat turun dari motor. “Saya baru mengimbau secara lisan, langsung dilempari batu,” kenangnya saat ditemui di Mapolsek Medan Labuhan, Sabtu (11/5/2025).
Mata kanannya langsung berdarah. Ia masih sempat balik ke markas dan melaporkan kejadian itu.
Malam itu juga, Abdul Rahman dilarikan ke RS Delima, kemudian dirujuk ke RS Bhayangkara Medan, dan akhirnya ke rumah sakit mata SMEC di Jalan Iskandar Muda.
Diagnosa dokter: bola mata kanan pecah, cacat permanen.
Bertugas dengan Ikhlas, Menanggung Luka dengan Tabah
Meski sudah cacat seumur hidup, Aipda Abdul Rahman tetap bersyukur. “Sebagian biaya pengobatan saya tanggung sendiri, tapi saya dan keluarga sudah ikhlas,” ujarnya.
Bantuan datang dari beberapa atasan, mulai dari Kapolsek hingga Kapolres masa itu. Tapi tetap saja, tak ada yang bisa mengganti penglihatan yang hilang.
Kini, ia masih rutin kontrol ke RS SMEC. Mata yang dulu jadi jendela patroli kini tinggal kenangan.
Tapi semangatnya sebagai bhayangkara tidak surut.
“Saya hanya berharap ke depan hidup saya dan keluarga diberi kebaikan,” katanya, sambil mengusap wajah yang pernah terkena amuk batu.
Negara, Apakah Kamu Dengar?
Cerita Aipda Abdul Rahman bukan sekadar kisah polisi dilempari batu. Ini adalah cermin betapa pengabdian bisa dibalas dengan kekerasan.
Negara harus hadir, bukan hanya dalam bentuk penghargaan, tapi juga perlindungan dan jaminan masa depan yang layak.
Karena kalau mereka yang menjaga keamanan harus menanggung luka sendirian, lantas siapa yang bisa diandalkan saat negara butuh penjaga malam?