PRABA INSIGHT – Kadang, hidup di Indonesia tuh kayak main Monopoli, tapi kamu nggak pernah kebagian rumah, apalagi hotel.
Giliran jalan, malah mampirnya ke pajak. Nah, data terbaru dari World Bank – Macro Poverty Outlook edisi April 2025 bikin hati makin cenat-cenut.
Dalam laporan itu, Indonesia resmi dinobatkan sebagai negara dengan persentase penduduk miskin terbesar kedua di dunia, yakni 60,3%. Cuma kalah dari Zimbabwe yang duduk manis di peringkat satu dengan 84,2%.
Yes, 60,3 persen itu berarti lebih dari separuh rakyat Indonesia hidup dalam kemiskinan. Bukan miskin gaya-gayaan ala sobat indie yang ngopi sambil curhat soal kapitalisme, tapi beneran miskin: kesulitan makan tiga kali sehari, nggak punya akses layanan kesehatan layak, dan bahkan kesusahan sekadar bayar sekolah anak.
Yang bikin tambah nyesek, angka kemiskinan kita ini jauh di atas negara-negara yang sering kita anggap “kurang berkembang”. Nih, catet:
- El Salvador: 25,1%
- Brasil: 20,9%
- Iran: 19%
- China: 11,9%
- Thailand: 7,1%
- Turki: 5,2%
Sungguh, ini bukan kompetisi yang pengen kita menangkan. Tapi kenyataannya, Indonesia justru tampil “gemilang” di arena kemiskinan dunia.
Padahal, negara ini sering digadang-gadang sebagai raksasa ekonomi Asia Tenggara. Eh, raksasanya ternyata kelaparan.
Lha, Kok Beda Sama Data BPS?
Kalau buka data Badan Pusat Statistik (BPS) sih kelihatannya adem ayem. Per Maret 2024, BPS mencatat persentase penduduk miskin Indonesia cuma 9,36%, setara dengan sekitar 25,8 juta orang. Turun tipis dari tahun sebelumnya.
Tapi tunggu dulu. Perbedaan ini muncul karena metodologi penghitungan yang beda. Versi BPS pakai indikator garis kemiskinan nasional yang (jujur saja) relatif rendah: sekitar Rp550 ribu per bulan per kapita.
Artinya, kalau kamu punya penghasilan Rp600 ribu sebulan, kamu dianggap tidak miskin. Padahal? Makan ayam sebulan sekali pun belum tentu bisa.
Sementara itu, World Bank menggunakan standar international poverty line sebesar USD 3,65–6,85 per hari (dalam PPP), yang secara riil menggambarkan daya beli dan kondisi hidup yang layak.
Dari sinilah muncul angka 60,3% tadi yang jauh lebih mencerminkan kenyataan pahit di lapangan.
Banyak yang Disubsidi, Tapi Rakyat Masih Kudu Nasi Kecap
Kalau pemerintah sibuk promosi pertumbuhan ekonomi, rakyat di lapangan justru sibuk cari promo Indomaret.
Katanya ekonomi tumbuh, tapi yang kaya makin kaya, yang miskin makin ngutang. Kesenjangan makin nganga, kayak bekas gigitan mantan yang belum bisa kamu lupain.
Pertumbuhan ekonomi memang penting, tapi tanpa distribusi yang adil, ujung-ujungnya cuma numpang lewat di laporan kementerian dan pidato kenegaraan.
Di dunia nyata? Rakyat masih bertanya, “Minyak goreng literan kapan turun lagi?”
Solusi atau Cuma Slogan?
Dengan kondisi ini, jelas bahwa kebijakan sosial kita butuh upgrade. Nggak cukup cuma bagi-bagi bantuan yang viral di TikTok.
Yang dibutuhkan adalah reformasi struktural, bukan cuma retorika. Perlu penataan ulang sistem jaminan sosial, pendidikan, dan kesehatan publik. Pokoknya jangan sampai orang miskin cuma jadi komoditas menjelang pemilu.
📊 Sumber Data:
- World Bank – Macro Poverty Outlook April 2025: World Bank EAP Report
- BPS – Maret 2024: “Profil Kemiskinan di Indonesia Maret 2024”, Badan Pusat Statistik bps.go.id
Penulis : Irfan