PRABA INSIGHT-Bayangkan kamu kerja dari pagi sampai malam, diterpa panas dan hujan, sambil bawa penumpang atau nasi padang ke kantor orang.
Tapi tiap hari, hidupmu ditentukan bintang lima dan rating pelanggan yang ngambek cuma gara-gara kamu nggak nyapa. Selamat datang di dunia para “mitra” ojek online pekerja paling fleksibel sekaligus paling terbuang.
Ya, sejak ojek online merajai jalanan kota, hidup jadi lebih gampang. Tapi jangan salah, di balik semua kemudahan itu, ada jutaan pengemudi yang hidupnya makin rumit.
Mereka bukan karyawan. Tapi juga bukan freelance. Mereka disebut “mitra” status absurd yang jadi dalih untuk menolak tanggung jawab.
Dari Startup Keren ke Kapitalisme Tanpa Tanggung Jawab
Awalnya semua manis: Gojek muncul bawa solusi. Grab menyusul, persaingan sehat. Tapi makin lama, yang sehat cuma aplikatornya.
Keuntungan mereka meroket, masuk bursa, akuisisi sana-sini. Sementara para pengemudi makin banyak yang tumbang, entah karena tarif makin murah, insentif makin susah, atau akun mereka di-suspend tanpa ampun.
Kalau buruh pabrik masih punya serikat, buruh digital cuma bisa curhat di grup WhatsApp dan ngopi sambil mikir: “Hari ini bisa makan, nggak ya?”
“Mitra” Katanya, Tapi Kok Lebih Mirip Anak Tiri?
Aplikator suka ngeles: “Mereka itu bukan pekerja, mereka mitra.” Oke, mari kita cek definisi kemitraan menurut UU No. 20 Tahun 2008 tentang UMKM. Di situ jelas tertulis:
“Kemitraan adalah kerja sama antara usaha besar dan UMKM dengan prinsip saling menguntungkan dan disertai pembinaan serta pengembangan.”
Sekarang kita tanya: apakah pengemudi ojol diberi pembinaan, dilibatkan dalam keputusan bisnis, atau bahkan tahu bagaimana aplikator menentukan tarif dan algoritma?
Yang mereka dapat justru sebaliknya: perubahan sistem sepihak, potongan yang tak transparan, hingga ancaman suspend kapan saja. Ini bukan kemitraan ini eksploitasi berjubah inovasi.
Aksi Jalanan, Tapi Negara Masih Sibuk “Mengobservasi”
Sejak 2016, para pengemudi sudah turun ke jalan berkali-kali. Mereka bukan cari viral, mereka cari keadilan. Tapi respons pemerintah lebih sering berupa “sedang dikaji”, “perlu diskusi lintas sektor”, dan favorit netizen “akan dibentuk tim kecil”.
Dalam UU No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas, ojek online bahkan nggak dianggap sebagai transportasi umum. Jadi kalau celaka di jalan saat narik? Negara pura-pura nggak kenal.
Di luar negeri, seperti Inggris, Mahkamah Agung sudah menyatakan pengemudi sebagai pekerja yang berhak atas cuti, upah minimum, dan perlindungan kerja. Di Indonesia? Baru sampai tahap webinar dan janji kampanye.
Platform Tajir, Driver Terpinggir
Lucu, ya. Teknologi yang katanya memerdekakan justru menciptakan kelas pekerja baru yang makin tak berdaya.
Mereka dikontrol oleh sistem, dipaksa kejar target, tapi nggak pernah punya suara dalam pengambilan keputusan.
Aplikator dapat investor. Pengemudi dapat bintang.
Aplikator IPO. Pengemudi PO: *isi sendiri*
Negara Harus Turun, Jangan Cuma Jadi Penonton
Kalau negara masih diam, berarti negara ikut menikmati sistem yang timpang ini. Sudah saatnya dibuat regulasi tegas yang menyatakan: jika platform mendapat untung dari kerja para “mitra”, maka mereka wajib memberi perlindungan, jaminan, dan kejelasan status.
Ojek online bukan masalah inovasi vs regulasi. Ini soal kemanusiaan.
Karena di balik setiap order yang kamu klik, ada pengemudi yang mungkin belum makan, motor belum lunas, dan rating tinggal satu koma sembilan.
Penulis : Irfan A.