PRABA INSIGHT- Cita-cita jadi karyawan tetap sekarang bukan cuma milik fresh graduate yang doyan pakai totebag dan ngopi di coworking space. Para driver ojol juga pengin.
Tapi seperti halnya cinta bertepuk sebelah tangan, keinginan itu belum tentu dibalas oleh negara.
Menteri UMKM Maman Abdurrahman tampaknya mencoba jadi juru realita di tengah euforia harapan.
Dalam acara Recruitment Digital di Gedung Smesco, Jakarta Selatan, Selasa (17/6/2025), beliau menuturkan dengan nada kalem tapi menohok: dari sekitar 5 juta driver ojol di Indonesia, yang mungkin bisa diangkat jadi karyawan tetap itu… ya paling cuma 15-20 persen saja.
“Kalau mereka di-treatment sebagai pekerja, prediksi kita kurang lebih sekitar 15-20 persen saja yang bisa terakomodasi,” kata Maman.
Alias, kalau ada 10 driver ojol yang bermimpi digaji tetap, dapet BPJS, dan punya jatah cuti tahunan ya hanya satu atau dua yang kemungkinan dikabulkan. Yang lain? Ya tetap ngegas di jalanan, di tengah panas, debu, dan hujan.
Masalahnya, menurut Maman, bukan cuma soal ekonomi, tapi juga soal ijazah.
Banyak driver ojol yang belum lulus SMP atau SMA, sedangkan status karyawan tetap biasanya butuh minimal… ya, setidaknya kertas yang disebut ijazah itu.
“Banyak juga yang nggak tamatan SMP, nggak tamatan SMA. Artinya secara pendidikan mereka belum proper waktu itu. Nah, ini juga kita harus lindungi dan kita harus berjaga,” ujar Maman dengan kalimat yang terdengar seperti pelukan tapi rasanya kayak tamparan.
Bukan cuma pendidikan, waktu kerja juga jadi alasan. Maman menyebut sebagian besar ojol itu pekerja paruh waktu.
Kerja buat nambahin uang jajan anak, bayar cicilan motor, atau biar bisa tetap nongkrong meski dompet ngos-ngosan.
“Sebagian besar rata-rata mereka yang masuk sebagai mitra, ojol mitra di sini adalah mereka yang lebih mengejar pekerjaan paruh waktu,” jelasnya.
Solusinya? Daripada memaksa mereka masuk skema karyawan tetap yang ujung-ujungnya mungkin cuma bikin aplikasi ojol bangkrut karena beban gaji dan THR lebih baik anggap saja mereka sebagai pelaku UMKM.
“Jadi satu-satunya jalan adalah dengan meng-treatment mereka menjadi UMKM,” lanjutnya.
Ya, negara memang jago mengubah narasi. Dari “buruh informal” jadi “mitra UMKM”.
Dari “kerja serabutan” jadi “wirausaha mandiri”. Dari “ngojek buat bertahan hidup” jadi “pelaku ekonomi digital grassroots.”
Begitulah. Mimpi jadi karyawan tetap mungkin masih jauh, tapi setidaknya sekarang kalian bisa bangga bilang: “Saya ini UMKM berbasis aplikasi, Pak. Bukan sekadar tukang ojek.”
Penulis : Andi Ramadhan | Editor: Ivan