PRABA INSIGHT – JAKARTA – Akhir Oktober 2025, kabar dari Papua bikin telinga banyak orang berdiri. Katanya, PT Freeport Indonesia dan INALUM bakal melakukan restrukturisasi besar-besaran. Istilah halusnya sih peremajaan sistem manajemen. Tapi di balik kabar itu, ada satu hal yang bikin banyak orang di Tanah Papua tersenyum: munculnya nama Frans Pigome, putra asli Papua Tengah, yang disebut-sebut bakal jadi Presiden Direktur Freeport.
Wacana ini langsung jadi bahan obrolan dari warung kopi di Timika sampai kantor kementerian di Jakarta. Soalnya, kalau benar terjadi, ini bukan cuma soal pergantian jabatan tapi simbol penting: anak negeri akhirnya bisa jadi tuan di atas negerinya sendiri.
Menurut Agustinus R. Kambuaya, anggota DPD/MPR RI asal Papua yang dikenal vokal di bidang sumber daya alam, isu ini memang menarik tapi tetap harus dilihat dalam konteks yang lebih luas. Ia bilang, meski restrukturisasi adalah urusan internal Freeport dan INALUM, pemberdayaan SDM asli Papua harus menjadi roh dari setiap langkah manajemen.
“Sebagai senator asal Tanah Papua yang membidangi sumber daya alam, saya menyampaikan pandangan ini agar menjadi rujukan dan inspirasi dalam mendorong semangat keberpihakan kepada sumber daya manusia asli Papua,” ujar Agustinus Kambuaya.
Menurutnya, investasi itu bukan tujuan akhir. Itu cuma cara menuju kemandirian. Tujuan besarnya adalah bagaimana rakyat Papua bisa berdiri di tanahnya sendiri dengan kemampuan penuh bukan sekadar penonton di rumahnya sendiri.
“Investasi bukan tujuan tetapi hanya pilihan pendekatan pembangunan, karena itulah tujuan kita untuk menjadi tuan di atas negeri sendiri melalui proses alih modal, alih teknologi, dan alih pengetahuan,” tegasnya.
Kambuaya mengingatkan, selama lebih dari 50 tahun bekerja dalam arus besar industri tambang Freeport, anak-anak Papua sudah banyak belajar. Mereka bukan lagi sekadar tenaga kerja tapi juga pengendali sistem manajemen, produksi, bahkan paham betul soal teknologi tinggi yang dijalankan perusahaan tambang raksasa itu.
Jadi, kalau sekarang muncul wacana Frans Pigome memimpin Freeport, menurut Kambuaya, itu bukan kebetulan tapi hasil dari perjalanan panjang.
“Frans Pigome salah satu anak negeri wilayah Papua Tengah yang telah lama berkiprah bersama Freeport tentu mengetahui dan memahami alur kerja produksi, distribusi, dan bisnis dari Freeport,” ujarnya.
Ia menambahkan, sebagai bagian dari masyarakat pemilik gunung emas, Frans bukan hanya punya hak secara moral, tapi juga punya kemampuan teknis yang mumpuni.
“Sebagai pemilik gunung emas yang punya hak sekaligus sebagai karyawan Freeport yang memahami perjalanan Freeport tentu menjadi modal dan alasan kuat bahwa waktunya anak negeri menjadi tuan di atas negerinya sendiri,” lanjutnya.
Selain Frans, Kambuaya juga menyinggung satu nama lain: Florentinus Beanal, pemuda produktif asal Nemangkawi. Menurutnya, Florentinus layak diberdayakan sebagai Komisaris Freeport.
“Sudah waktunya anak negeri Papua, lebih khusus mereka yang berasal dari tujuh suku pemilik gunung emas yang Tuhan anugerahkan kepada mereka, menjadi pemimpin atas anugerah Tuhan itu,” kata Kambuaya.
Ia menilai, menempatkan anak-anak muda Papua di posisi strategis bukan sekadar simbol politik, tapi langkah konkret untuk membangun jembatan antara kepentingan korporasi dan masyarakat adat.
“Frans Pigome dan Florentinus Beanal bisa menjadi jembatan yang menghubungkan titik temu antara interest korporasi Freeport dan masyarakat adat,” tandasnya.
Kalimat itu sederhana, tapi mengandung pesan dalam: sudah waktunya anak negeri memimpin negeri sendiri. Gunung emas itu milik mereka. Dan kini, dunia menunggu saat di mana suara Papua bukan cuma terdengar tapi juga memimpin dari pusat kendali. (Van)






