PRABA INSIGHT- Kalau soal kemerdekaan, nama Soekarno-Hatta selalu jadi idola. Foto mereka dipajang di setiap ruang kelas, pidatonya diulang tiap 17 Agustus. Tapi coba tanya generasi sekarang: “Tan Malaka itu siapa?”
Kemungkinan jawabannya: entah penyanyi indie, entah nama kafe.
Padahal, Tan Malaka itu sosok yang sudah ngomong “Republik Indonesia” 20 tahun sebelum Proklamasi 1945. Gila, ya? Kita sibuk mikirin nasi bungkus, dia udah mikirin bentuk negara.
Anak Minang yang Lebih Cepat Dari Zamannya
Lahir di Pandan Gadang, Sumbar (1897), Tan Malaka tumbuh dengan tradisi Minangkabau yang terkenal cerdas dan cerewet. Bersekolah di Belanda bikin dia kenal sosialisme, nasionalisme, sampai ide anti-kolonialisme. Tapi Tan bukan tipe intelektual yang cuma duduk manis di kafe. Dia keliling dunia: Belanda, Rusia, Jerman, China, Filipina, Malaya. Hidupnya penuh penyamaran, penjara, sampai nyaris kayak film Netflix.
Di tahun 1925, Tan menulis buku “Naar de Republiek Indonesia” alias Menuju Republik Indonesia. Isinya? Visi negara tanpa raja, hak rakyat, pendidikan, dan keadilan sosial. Singkatnya: blueprint republik jauh sebelum proklamasi. Kalau ada startup yang namanya “Republik Indonesia”, Tan Malaka adalah foundernya.
James Bond + Karl Marx = Tan Malaka
Karena ide-idenya bikin pusing Belanda, Tan hidup kayak mata-mata. Gonta-ganti nama samaran, sembunyi di negara asing, kadang ngajar, kadang revolusi. Bedanya dengan James Bond? Kalau Bond senjatanya pistol, Tan senjatanya buku catatan dan ide politik.
Ironi: Dibunuh oleh Negaranya Sendiri
Setelah proklamasi, Tan pulang dengan niat bantu republik yang dulu dia impikan. Tapi politik Indonesia memang penuh plot twist. Alih-alih disambut, Tan malah dianggap ancaman. Tahun 1949, ia ditembak mati tanpa pengadilan oleh tentara Republik di Kediri.
Yes, Bapak Republik ditembak oleh republiknya sendiri. Plot paling absurd dalam sejarah kita.
Pahlawan Nasional, Tapi Terlambat
Baru tahun 1963, Presiden Soekarno kasih gelar Pahlawan Nasional. Itu pun kayak kasih “ucapan ulang tahun” pas lilinnya udah padam. Sampai hari ini, nama Tan Malaka tetap kalah populer dibanding Soekarno atau Hatta. Jarang nongol di buku pelajaran, apalagi di film.
Padahal kalau Tan masih hidup sekarang, bisa jadi dia seleb Twitter yang followers-nya sejuta. Atau dosen idola yang kuliahnya viral di TikTok.
Sudah Saatnya Kita Ingat Lagi
Tan Malaka bukan pahlawan biasa. Dia bukan tukang orasi, tapi penulis ide besar. Dia bukan pencari jabatan, tapi penantang arus. Kemerdekaan Indonesia bukan cuma hasil bambu runcing, tapi juga hasil pena, pikiran, dan keberanian melawan “mainstream”.
Jadi, kalau tiap 17 Agustus kita cuma teriak “Merdeka!”, mungkin ada baiknya juga kita bisikin: “Terima kasih, Tan Malaka.”(van)