PRABA INSIGHT- Harapan ribuan pencari kerja di Bekasi berubah jadi kekacauan massal.
Job fair “Bekasi Pasti Kerja” yang digelar di President University Convention Center, Jababeka, Selasa (27/5), diserbu lautan manusia sejak subuh.
Alih-alih pulang membawa kerjaan, banyak dari mereka malah pingsan karena desak-desakan.
Acara ini awalnya tampak menjanjikan: kolaborasi Pemkab Bekasi dan pihak swasta, ratusan lowongan kerja dari puluhan perusahaan, dan tentu saja… harapan segunung dari para pelamar yang sudah lama berjibaku dengan status pengangguran. Tapi kenyataan di lapangan? Jauh dari ekspektasi.
Pagi masih buta, antrean sudah membentang seperti ular naga panjang. Jam menunjukkan pukul lima subuh, tapi lokasi sudah padat oleh pelamar kerja yang membawa CV, ijazah, dan tentu saja doa.
Saat pintu dibuka, antrean berubah jadi arus manusia. Panitia kalang kabut, petugas keamanan kewalahan, dan suasana mendadak jadi chaos.
Puluhan pencari kerja tumbang. Pingsan. Tak kuat berdiri. Mereka ditidurkan di pinggir ruangan dan diberi oksigen seadanya.
Menurut data resmi Pemkab Bekasi, daya tampung maksimal hanya 25 ribu orang.
Tapi yang datang? Lebih banyak dari itu. Jauh lebih banyak. Wajar saja jika suasana mirip konser K-pop gratisan.
“Gue ke sini dari jam setengah tujuh pagi. Tapi tadi katanya jam lima aja udah rame,” ujar Firman, warga Cikarang yang ikut mengantre sambil keringatan.
Ada pula Dika (25), yang sejak lulus sekolah tahun 2019 belum sekalipun mencicipi dunia kerja.
“Udah nyoba apa aja. Tapi rata-rata minta duit dulu. Buat nyogok. Duit dari mana?” keluhnya sambil menatap langit-langit ruangan seolah meminta jawaban dari Tuhan.
Dika juga pernah terjebak iming-iming agensi kerja yang menjanjikan penempatan. Uang sudah setor, kerjaan nihil. “Cuma janji-janji doang. Ujung-ujungnya ditinggal,” tambahnya getir.
Ia berharap pemerintah tak sekadar hadir dalam bentuk pameran kerja semacam ini, tapi benar-benar hadir—dalam bentuk regulasi dan sistem yang berpihak.
“Kami butuh lapangan kerja nyata, bukan hanya expo yang bikin tambah stres,” ujarnya lirih, hampir putus asa.
Job fair ini sejatinya inisiatif mulia. Tapi ketika jumlah pelamar jauh melampaui kapasitas, dan janji kerja berubah jadi kekecewaan kolektif, publik mulai bertanya: ini acara bantu rakyat, atau sekadar formalitas?
Bagi ribuan pelamar kerja yang datang, acara ini bukan sekadar kunjungan iseng. Ini soal harapan hidup. Tentang bagaimana mereka bisa keluar dari lingkaran pengangguran yang tak kunjung berakhir.
Dan jika satu-satunya hal yang didapat dari job fair adalah lelah, keringat, serta pingsan berjemaah maka sudah waktunya pemerintah mengevaluasi: apakah solusi yang ditawarkan masih relevan, atau justru memperpanjang penderitaan?
Penulis: Andi Ramadhan