Malam itu, langit seperti mengunci bulan. Tak ada cahaya selain lampu truk yang menyala redup karena kabel dinamo yang mulai soak.
Bayu, sopir truk ekspedisi yang sudah malang melintang di jalur Pantura, terpaksa melewati Alas Roban seorang diri. Rekannya, Anto, baru saja turun di Kendal karena demam tinggi mendadak.
“Kayak diganggu,” katanya singkat sambil menggigil, sebelum akhirnya tertidur sepanjang siang.
Bayu tak sempat berpikir panjang. Deadline pengiriman semen ke proyek tol harus sampai pagi itu juga.
Ia pikir, cuma lewat hutan kok. Sudah biasa. Tapi dia lupa satu hal: malam itu adalah Jumat Kliwon.
Langkah Pertama ke Dunia Lain
Begitu memasuki mulut hutan, hawa terasa berubah. Udara yang tadinya panas mendadak lembap dan menusuk tulang.
Daun-daun tak bergerak. Tapi suara seperti bisikan terdengar dari balik pepohonan, seolah hutan bernafas.
Bayu melihat jam. 00:11.
Tiba-tiba radio hidup sendiri, padahal tadi mati. Suaranya bukan lagu, tapi gamelan pelan… diiringi nyanyian perempuan tua yang mendayu.
Liriknya tidak jelas, seperti bahasa Jawa kuno, tapi merasuk. Suara itu membuat tangan Bayu gemetar memegang kemudi.
“Sing lewat kene kudu salam… ojo sombong, ojo nesu…”
(‘Yang lewat sini harus sopan… jangan sombong, jangan marah…’)
Bayu merinding. Dia mencoba mematikan radio. Tidak bisa. Radio tetap menyala. Volume naik sendiri.
Bayu spontan membanting setir. Truk nyaris menabrak pohon beringin besar di tikungan. Untung masih selamat.
Tapi setelah itu… ia mulai melihat penumpang.
Penumpang Tak Diundang
Mulanya, hanya bayangan samar di kaca spion. Seperti ada perempuan duduk di jok sebelah.
Rambutnya panjang menjuntai, menutupi wajah. Tapi Bayu tahu dia tidak mengangkut siapa-siapa.
Saat memberanikan diri melirik ke kiri, tak ada siapa-siapa.
Namun aroma bunga kamboja dan tanah basah memenuhi kabin. Di kursi penumpang, terlihat bekas dudukan yang basah, seolah baru saja diduduki.
Dan entah kenapa, jok itu seperti menyisakan jejak darah tipis…
Bayu tak tahan. Ia membuka kaca jendela. Saat itu, suara perempuan menyusup masuk:
“Matur nuwun wis ngeterke aku tekan kene…”
(‘Terima kasih sudah mengantar aku sampai sini…’)
Bayu menginjak rem sekuat tenaga. Truk berhenti mendadak. Napasnya memburu. Lututnya lemas.
Tapi jalan di depannya… tidak berubah. Masih jalan yang sama. Masih hutan. Padahal ia merasa sudah menyetir hampir sejam.
Lalu dia sadar… jam di dashboard masih menunjukkan pukul 00:11. Tidak bergeser sedetik pun sejak tadi.
Perjalanan Tanpa Waktu
Bayu turun dari truk. Ia menyalakan rokok untuk menenangkan diri. Tapi rokok itu tidak menyala. Korek yang ia bawa tiba-tiba patah dua. Hutan sunyi.
Tak ada suara jangkrik. Tak ada angin. Hanya ada kabut yang makin tebal dan… suara anak kecil menangis dari arah belakang truk.
Ia menoleh. Seorang anak perempuan berdiri di tengah jalan.
Pakaian putihnya robek. Mata hitam legam. Wajahnya datar. Ia menunjuk ke arah alas.
“Bapak saya… masih di sana. Temani, ya.”
Bayu lari. Dia masuk kembali ke truk, menyalakan mesin, dan tancap gas. Tapi keanehan belum selesai. Di setiap tikungan, ia kembali ke tikungan yang sama.
Pohon beringin itu muncul terus menerus. Padahal dia yakin, ia sudah berkali-kali melewati tikungan itu.
Sampai akhirnya ia berhenti dan memejamkan mata sambil komat-kamit membaca doa.
Kembali ke Dunia
Ketika Bayu membuka mata, langit sudah mulai terang.
Ia terbangun di jok truk, dengan truknya terparkir rapi di pos jaga pintu keluar Alas Roban. Seorang petugas jalan raya membangunkannya.
“Pak, udah subuh. Truk sampeyan dari semalem nganggur di sini. Ndak jalan-jalan sama sekali.”
Bayu kaget. “Tapi saya nyetir terus, Pak. Saya lewat hutan itu. Saya lihat tikungan, perempuan, anak kecil…”
Petugas itu hanya tersenyum pahit. “Alas Roban kadang begitu, Pak. Bukan soal Anda lihat setan… tapi bisa jadi Anda yang dilihat setan.”
Hutan Alas Roban Tak Pernah Kosong
Alas Roban menyimpan lebih dari sekadar jalan setapak dan tikungan maut. Di antara pohon-pohon tua itu, ada dunia lain yang kadang terbuka pada malam-malam tertentu.
Dunia yang tak mengenal waktu. Dunia yang menyimpan arwah penasaran, korban kecelakaan, dan makhluk-makhluk gaib yang menjaga wilayahnya.
Bukan cuma soal percaya atau tidak. Tapi kalau kau nekat lewat sana saat hujan dan malam gelap, setidaknya ucapkan salam.
Karena bisa jadi, kamu bukan satu-satunya penumpang dalam perjalanan itu.
Penulis : Irfan