PRABA INSIGHT – Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN) sekarang kondisinya mirip baju yang kebanyakan dicuci: makin lama makin menciut. Dari yang dulu gagah seluas 81.793 hektare, kini tersisa tinggal 12.561 hektare hutan alami. Sisanya? Ya, seperti biasa: hilang entah ke mana, tapi kita semua bisa menebak penyebabnya.
Kepala Balai TNTN, Heru Sutmantoro, bilang pihaknya sedang berusaha ngebut menyelamatkan apa yang masih bisa diselamatkan. Tim percepatan pemulihan ekosistem bakal memperkuat pengamanan, merapikan kembali hulu sungai, dan tetap menjalankan sosialisasi rencana relokasi warga. Meski, tentu saja, rencana itu disambut dengan penolakan karena siapa sih yang mau direlokasi tiba-tiba?
Heru mengingatkan satu hal penting: gajah juga butuh ruang hidup yang layak, bukan sekadar jadi ikon lucu di poster konservasi. Merujuk The Elephant Sanctuary in Tennessee, satu ekor gajah butuh makan 68–90 kg per hari. Itu baru makanannya. Belum lagi kebiasaan mereka yang bisa jalan dan makan sampai 20 jam—lebih produktif dari kita yang kadang ngedumel kerja delapan jam saja.
Selain rakus dalam hal makan, gajah juga punya peran serius di ekosistem. Mereka penyebar benih alami, sekaligus produsen pupuk organik berjalan. Iya, kotoran mereka itu literal gold buat hutan.
Secara ekologis, gajah Asia butuh wilayah jelajah 200–1.000 km². Kalau dikonversi, minimal 20.000 hektare untuk satu gajah. Satu, ya. BUKAN satu kawanan. Jadi, bisa bayangkan bagaimana kacaunya kalau habitatnya menyusut segede itu?
Penyempitan lahan karena alih fungsi membuat gajah liar makin terdesak, salah tingkah, dan tidak bisa memenuhi kebutuhan ruang hidupnya. Mau jalan saja sudah seperti cari kos-kosan murah di kota besar: sempit, rebutan, dan kadang-kadang bikin stres sampai ngamuk.
Tesso Nilo butuh pemulihan, dan para gajah butuh ruang. Kalau tidak, kita tinggal menunggu babak berikutnya: konflik manusia satwa yang sebenarnya bisa dicegah kalau hutannya tidak dipreteli habis-habisan.
Penulis: Ristanto | Editor: Ivan







