PRABA INSIGHT – Gaza kembali berdarah. Tapi bukan karena serangan udara skala besar atau perang terbuka melainkan saat warga sipil cuma ingin satu hal: tepung.
Selasa pagi, 11 Juni 2025, suasana mencekam terjadi di timur Kota Khan Younis, Gaza Selatan.
Ratusan warga Palestina berkumpul di sepanjang jalan utama, menanti bantuan makanan dari Gaza Humanitarian Foundation (GHF) organisasi bantuan yang katanya disokong Israel dan Amerika Serikat.
Namun, alih-alih pulang membawa sekarung gandum, mereka justru dihujani peluru.
Sedikitnya 51 orang tewas dan lebih dari 200 lainnya terluka. Sebagian besar adalah warga sipil, termasuk anak-anak yang bahkan belum sempat mencicipi roti pagi.
Tepung yang Ditukar dengan Nyawa
Menurut juru bicara Pertahanan Sipil Gaza, Mahmud Bassal, tragedi bermula ketika pesawat nirawak Israel menembaki kerumunan warga.
Beberapa menit kemudian, tank-tank ikut “berkontribusi” dengan menembakkan peluru ke arah kerumunan.
Target mereka? Orang-orang yang cuma ingin membawa pulang bahan pangan.
“Banyak yang terbunuh saat mencoba mengangkut bantuan. Ini bukan serangan biasa. Ini pembantaian,” kata Yousef Nofal, salah satu penyintas.
Mohammed Abu Qeshfa, korban selamat lain, mengaku hanya bisa selamat karena mukjizat. “Peluru seperti hujan. Suara tank, suara orang berteriak, darah di mana-mana,” ujarnya seperti dilansir dari Al-Jazeera.
Sementara itu, petugas medis di Rumah Sakit Nasser menyebut banyak korban yang bahkan tak bisa diidentifikasi. “Tubuh mereka hancur. Tercabik-cabik,” ujar salah satu dokter di sana.
Bantuan Rasa Penjajahan
GHF, organisasi yang didukung penuh oleh Israel dan AS, memang mulai aktif membagikan bantuan sejak Israel membuka blokade sebagian pada akhir Mei.
Tapi jangan buru-buru berprasangka baik karena banyak lembaga kemanusiaan internasional menolak ikut campur.
PBB dan berbagai NGO besar memilih minggir. Alasannya jelas: GHF dianggap menabrak prinsip-prinsip kemanusiaan, karena mengizinkan Israel mengatur akses distribusi bantuan. Ibaratnya, maling yang mengatur siapa boleh masuk dapur.
Dan tragedi ini bukan yang pertama. Sejak GHF beroperasi, sudah lebih dari 300 warga Palestina tewas dan lebih dari 2.000 luka-luka hanya karena mencoba mengakses bantuan makanan.
Israel Bungkam, Dunia Berteriak
Seperti biasa, pemerintah Israel memilih mode bisu. Tidak ada komentar, tidak ada klarifikasi. Sementara itu, PBB akhirnya buka suara.
“Saya mendesak penyelidikan segera dan tidak memihak terhadap serangan mematikan terhadap warga sipil yang putus asa untuk mencapai pusat distribusi makanan,” kata Volker Turk, Komisaris Tinggi PBB untuk HAM.
Sayangnya, desakan ini terdengar seperti pengumuman pelajaran saat sekolah libur. Bagus di atas kertas, tapi tak punya dampak nyata di lapangan.
Antrean Panjang di Tengah Neraka
Tragedi Selasa kemarin menjadi hari paling berdarah di lokasi distribusi bantuan GHF. Sebelumnya, rekor kelam terjadi sehari sebelumnya, Senin, saat 38 orang tewas di Rafah, wilayah selatan Gaza.
Satu fakta yang menyakitkan: semua korban tewas bukan karena mereka menyerang, tapi karena mereka lapar.
Gaza bukan sekadar medan perang. Ia kini menjelma menjadi laboratorium penderitaan, tempat di mana roti lebih mahal daripada hidup itu sendiri.
Source: Al Jazeera and news agencies
Penulis : Andi Ramadhan | Editor: Irfan