PRABA INSIGHT- Ada hal-hal yang sulit dicerna logika manusia waras. Misalnya, kenapa di abad ke-21, saat kita bisa video call lintas benua, tapi seorang dokter masih bisa dibunuh di tempat kerjanya sendiri. Itulah yang terjadi di Gaza, Rabu (2/7/2025) kemarin.
Dr Marwan al-Sultan, satu dari segelintir dokter jantung di Gaza, tewas dalam serangan udara Israel. Bersama keluarganya, ia meninggalkan rumah sakit yang kini bukan cuma kekurangan alat medis, tapi juga kehilangan orang yang tahu cara menanganinya.
Kalau boleh jujur, dr Marwan bukan cuma dokter biasa. Dia adalah Direktur Rumah Sakit Indonesia di Gaza Utara. Sosok yang tetap berdiri walau bom jatuh tiap jam, dan listrik mati lebih sering daripada hidup. Ironisnya, dia meninggal bukan karena gagal operasi, tapi karena perang yang bahkan tak memberinya kesempatan menyelamatkan diri.
Menurut Healthcare Workers Watch (HWW), dr Marwan adalah tenaga kesehatan ke-70 yang tewas dalam 50 hari terakhir. Ya, 70 orang, dalam 50 hari. Kalau dihitung-hitung, rata-rata lebih dari satu nyawa hilang tiap harinya. Yang mati bukan prajurit, tapi orang yang pekerjaannya nolongin orang.
“Ini lebih dari sekadar tragedi kemanusiaan. Ini pembantaian intelektual dan keahlian yang dibangun bertahun-tahun,” kata Muath Alser, Direktur HWW, dikutip The Guardian. “Sistem kesehatan Gaza sedang dimusnahkan secara sistematis, dan dunia? Dunia cuma bilang prihatin.”
Ribuan Pasien Jantung Gaza Kini Kehilangan Harapan
Di Gaza, yang tersisa sekarang mungkin cuma satu atau dua ahli jantung. Salah satunya ya dr Marwan, yang kini sudah tiada. Direktur RS al-Shifa, dr Mohammed Abu Selmia, sampai bilang, “Kami kehilangan seorang cendekiawan. Dia tidak tergantikan. Ribuan pasien jantung bakal menderita.”
Kesalahan dr Marwan? Satu saja: dia memilih jadi dokter di Gaza. Kalau dia pindah ke negara lain dan buka praktik pribadi, mungkin hidupnya lebih tenang. Tapi ya namanya orang baik, kadang malah cepat dipanggil Tuhan.
Indonesia Marah, Tapi Dunia Masih Sibuk Scroll Sosmed
Pemerintah Indonesia ikut berduka. Lewat Kementerian Luar Negeri, Indonesia mengecam keras serangan Israel. “Indonesia turut berduka atas wafatnya dr Marwan dan mengutuk serangan Israel tersebut,” tulis Kemlu RI di X (Twitter versi baru). Indonesia juga mendesak gencatan senjata segera. Tapi yah, kayak biasa, suara kita kayak teriakan di ruang kosong: lantang, tapi tak didengar siapa-siapa.
Dr Marwan sendiri sebelumnya sempat curhat ke The Guardian. Ia bilang, situasi di RS Indonesia makin parah sejak serangan Israel meningkat Mei lalu. Tapi walau situasinya kayak neraka, dia dan timnya tetap berusaha nyelamatin nyawa orang. Sekarang? Tim itu kehilangan komandan utamanya.
Tenaga Medis Gaza: Dibunuh, Ditangkap, atau Mati Lelah
Kalau mau jujur lagi, dr Marwan bukan korban pertama, dan sepertinya bukan yang terakhir. Menurut data PBB, sejak Oktober 2023, sudah lebih dari 1.400 tenaga kesehatan tewas di Gaza. Mereka meninggal di rumah sakit, di ambulans, bahkan di sekolah yang katanya jadi tempat aman.
Lebih parah lagi, ratusan dokter dan perawat Gaza masih ditahan Israel tanpa proses hukum. Beberapa dilaporkan disiksa, dipukuli, bahkan hilang kabar. Salah satunya Dr Hussam Abu Safiya, Direktur RS Kamal Adwan, yang sudah ditahan sejak Desember 2024.
Gaza: Tempat di Mana Dokter Pun Tak Aman
Akhirnya, pertanyaan sederhana muncul: kalau dokter saja dibunuh, siapa lagi yang bisa nolong warga Gaza?
Di tempat lain, orang sibuk nonton drama Korea atau scrolling TikTok. Sementara di Gaza, orang-orang berjuang bertahan hidup tanpa tahu besok masih bisa bangun atau tidak.
Penulis : Alma Khairunnisa| Editor:Ivan